Kedaulatan Rakyat, Analisis, 7 Maret 2015
Semuanya bermula ketika Pansus Raperdais Pengisian Jabatan Guberur dan Wakil menemui Sultan HB X, putri-putri, adik-adik beserta beberapa perangkat Kasultanan dan Pakualam IX di Keraton. Pada waktu itu, Sultan mengusulkan agar daftar riwayat hidup dipangkas tanpa menyertakan kata “istri” seperti termaktub dalam UU Keistimewaan (UUK) yang dianggap mencegah kemungkinan perempuan menjadi Gubernur DIY.
Bola politik berkembang liar, apalagi ada menantu Sultan, KRT Purbodiningrat, sebagai wakil ketua pansus. Padahal, pada masa pembahasan Raperdais periode sebelumnya, tidak muncul isu pemangkasan riwayat hidup. Paling tidak ada dua poros besar yang berkembang.
Poros pertama menghendaki bahwa jenis kelamin tidak dapat menjadi basis diskriminasi jabatan gubernur. Secara implisit dan eksplisit, hal ini mengindikasikan bahwa pemimpin tertinggi keraton Yogyakarta yang selama ini dipimpin oleh Sultan yang selalu laki-laki dapat berubah. Lebih spesifik lagi, poros ini mendorong GKR Pembayun, putri pertama Sultan untuk menjadi pemimpin tertinggi Keraton sekaligus Gubernur.
Poros kedua berada di posisi berseberangan. Tradisi keraton Mataram Islam yang selama lima abad selalu dipimpin dengan garis keturunan laki-laki tidak seharusnya dirubah. Jika ditarik dalam spektrum yang lebih luas, seluruh kerajaan Islam di Indonesia, Asia Tenggara dan Asia menggunakan garis keturunan laki-laki. Garis keturunan laki-laki adalah “paugeran” paling utama yang dipegang selama ini. Poros ini juga spesifik hanya menunjuk beberapa orang mengingat syarat utama menjadi Sultan adalah putra laki-laki Sultan. Dalam buku “Serat Raja Putra Ngayogyakarta Hadiningrat” karangan KRT Mandoyokusumo (1980), Sultan HB IX berputra 15 orang dari 22 keturunannya. Saat ini, pemilik gelar tertinggi adalah adik HB X dari ibu KRA Windyaningrum yaitu KGPH Hadiwinoto, adik-adik lainnya masih bergelar GBPH.
DPRD DIY sebenarnya tidak perlu merisaukan usulan pemotongan daftar riwayat hidup gubernur jika taat pada asas urutan perundangan-undangan. Aturan yang lebih rendah, seperti Perdais bertugas untuk menjelaskan secara lebih detail aturan UUK. Jika UUK menyebutkan kata “antara lain”, maka tugas Perdais untuk memberikan detail terkait apa yang dimaksud “antara lain” tersebut. Jadi, apabila UUK Pasal 18 ayat (1) huruf (m) hanya menyebutkan “saudara kandung”, maka kewajiban Perdais untuk menambahkan dengan misalnya “saudara tiri”, pengalaman organisasi dls. Perdais tidak berwenang untuk mengurangi atau memotong apa yang sudah disebutkan dalam UUK, tetapi justru menjabarkannya.
Lalu bagaimana kita memahami pendapat Sultan HB X terkait pemangkasan riwayat hidup di Raperdais?
Salah satu kesalahan umum dalam upaya memahami polemik ini adalah dengan melakukan analisis politik rumit untuk persoalan yang sebenarnya sederhana. Logika membenturkan kedua poros pendapat di atas tidak hanya kurang produktif, tetapi juga kurang sesuai dengan kenyataan yang terjadi di lingkungan internal keraton. Sultan menempatkan putri-putrinya sebagai wakil dari adik-adiknya karena mereka dianggap memiliki potensi yang belum pernah ada dalam tradisi Mataram Islam. GKR Pembayun misalnya, adalah Wakil Pangageng Tepas Krido Mardowo yang berada di bawah posisi GBPH Yudhaningrat. Pada posisi lainnya, GKR Condrokirono, putri kedua, sekarang menjadi semacam “Setneg” di keraton di Kawedanan Hageng Panitra Pura menggantikan alm. KGPH Joyokusumo. Wakil GKR Condrokirono adalah adik Sultan GBPH Condrodiningrat. Walaupun perbedaan pendapat tajam, hal itu tidak dapat begitu saja dimaknai sebagai perpecahan keraton. Sampai sekarang, tidak ada siapapun yang berani melawan titah Sultan.
Sebaliknya, kita tidak pernah memahami tugas terberat dari seorang Sultan adalah menentukan pengganti. Sultan sadar betul bahwa kehancuran aristokrasi, lebih banyak disebabkan oleh konflik internal daripada serangan eksternal. Sultan HB X sedang melakukan proses panjang pencarian tersebut yang tidak hanya melalui mekanisme kasat mata, tetapi juga tidak kasat mata. Dalam kantongnya, terdapat list beberapa nama yang jumlahnya tidak banyak. Sultan harus memastikan bahwa penerusnya, tetap akan mengemban misi dan prinsip seluruh Sultan-Sultan sebelumnya serta mendapatkan legitimasi dari rakyat. Sultan harus memastikan “Tahta untuk Rakyat” tidak berakhir di tangan penerusnya. Sehingga polemik ini dapat dimaknai bahwa Sultan sedang “testing the water” daftar nama-nama penerusnya. Jika ternyata “airnya bergejolak”, bisa jadi memang Sultan hanya sedang mencari data.