PERTAMA
Menjamurnya Spa membuat saya berpikir keras. Walaupun belum pernah spa, dari beberapa brosur Club Arena yang dicetak di Cakrawala, sebuah perusahaan milik mas Agus Heri, saya melihat sekilas tentang perempuan yang tengkurap di bak mandi dilengkapi dengan banyak bunga yang mengambang. Sekejap sempat terpikir bahwa ini adalah mandi kembang, sebuah mandi gaya khas beberapa budaya di Jawa. maklum orang jawa gak gaul yang tidak kenal spa. Setelah diteliti lebih detail, Club Arena yang merupakan EO spa di hotel-hotel memastikan itu bukan mandi kembang, tapi SPA!
KEDUA
Pada saat saya berjalan lewat di koridor Galeria Mall, ada bau-bauan yang menusuk hidungku yang memang agak sensi. Sepintas (sekali lagi) saya kira ada kemenyan yang dibakar di sekitar situ, tapi akal sehat berbicara, masa sih bakar kemenyan di Mall. Tenyata, di jalan tersebut (island istilah mallnya), sedang dijajakan apa yang disebut sebagai AROMATHERAPHY yang terdiri dari beragam bentuk, mulai dari sesuatu yang mirip penerangan minyak di desa, lilin dan banyak lagi. Saya sekali lagi memastikan itu bukan bau kemenyan tetapi Aromatheraphy!
KETIGA
Liputan Kompas minggu beberapa bulan lalu memberitakan tentang Yoga, (kalau ini saya agak ngerti), sebuah bisnis yang menghasilkan milyaran rupiah per harinya di Indonesia. Sebuah bisnis yang menjanjikan ketenangan bagi yang melalukannya. Wujud gerakan yoga bermacam-macam, salah satunya adalah sebuah meditasi, perenungan terhadap makna hidup. Melihat foto di kompas, saya yakin professional muda yang sedang duduk bersila dengan mata terpejam itu sedang meditasi. Tapi apa bedanya dengan bertapa ala orang jawa? mengapa orang mau mengeluarkan sekian banyak uang untuk diam??
KEEMPAT
KELIMA
……….dan tidak pernah berakhir.
Kita sedang dihadapkan pada sebuah realitas baru (modern lifestyle) yang merupakan tren global. Ketiga contoh di atas bermula dari kegelisahan orang barat terhadap hidup yang dijalaninya sendiri, semakin tidak jelas dan susah menemukan kebahagiaan. Orang yang tidak pernah punya poros untuk setiap rotasi yang dilakukannya, akibatnya bukan rotasi ilahi yang dihasilkan tapi rotasi syaiton. Beberapa novel kemudian membahas tentang hal yang bersifat trasendental yang selama ini dilupakan. Celestine Prophecy dan dua seri lanjutannya yang saya baca pada saat awal kuliah sepuluh tahun lalu adalah penguat dari keyakinan trasendental tersebut. Sukidi, intelektual muda di NU sempat beberapa waktu rajin menulis di Kompas membahas tentang gejala ini.
Ternyata muncul gejala ikutan dari hal itu, tentu saja kapitalisme selalu siap menyusup di setiap isu aktual yang sedang menggejala di dunia. Muncullah produk-produk “penentram jiwa” seperti yang saya sebut di atas. For Body and Soul, katanya. Jadilah jualan tersebut laku keras di pasaran.
Sejauh pengamatan saya, secara esensial tidak ada yang berbeda antara SPA dan mandi kembang. Bagi para penikmatnya, keduanya menjadi sarana stress releasing. Perbedaan paling mendasar tentu saja terletak pada pemaknaan yang selalu identik dengan mistisisme. Sebagian dari para penikmat mandi kembang mungkin memang melakukan hal tersebut tanpa pemahaman yang dalam tentang apa yang sedang dilakukannya. Hanya mengikuti petunjuk sang Guru misalnya. Pada titik ekstrem yang lain, SPA dipelajari secara serius dengan promosi yang luar biasa. Hal yang sama tentu saja untuk beberapa contoh lainnya. Artinya bukan produknya yang penting, tetapi kemasannya yang menentukan jualannya laku atau tidak.
Jangan-jangan memang orang Jawa sudah mempelajari apa yang menjadi tren global tersebut ratusan tahun yang lalu. Keterbatasan budaya tulis (atau tidak ada yang pernah menggalinya saat ini) menjadikannya menjadi sebuah bagian dari masa lalu yang perlu dienyahkan, selalu berkaitan dengan mistik dan “tidak ketemu nalar”. Ironisnya, yang muncul dari barat kemudian selalu hebat, menjadi gaya hidup baru yang untuk ini orang rela mengeluarkan berapa saja.
Jangan-jangan lagi, kita memang mewarisi mental bangsa terjajah. Mental yang selalu minder untuk melihat keunggulan bangsa sendiri. Memandang remeh budaya sendiri yang sejak dulu sudah hebat. Seperti pada posting dulu, Jawa memiliki sistem kalender paling rumit di dunia (AJ) yang saya sendiri tidak paham, bukan karena rumitnya, tetapi karena susah untuk mengakses ilmunya.
Pendeknya, Dari Barat Tidak Selalu Hebat, dan kita harus mulai melihat ke dalam dan berpikir kritis.