Pertama di Jakarta, Pertama di IALF

Jakarta selalu menakutkan banyak orang, terutama bagi banyak pendatang seperti saya yang ketiban sampur harus kursus bahasa dan persiapan kultur di IALF. Pesan Bang Napi yang beberapa kali terlihat di RCTI di kala break makan siang mau tak mau membuat semua orang waspada terhadap situasi Jakarta. Walaupun saya sudah terlampau sering pergi ke Jakarta untuk berbagai urusan, biasanya hanya beberapa hari, dan itupun tidak jauh juh dari hotel, taxi dan ruang rapat. Inilah pertama kalinya Jakarta memaksa saya untuk tinggal agak lama sampai kos segala.

 

Banyak orang bilang jika ingin menjadi orang penting di negeri ini, cepat-cepatlah datang ke Jakarta. Jakarta menjadi tempat bagi penyelesaian urusan yang sebenarnya ”sepele” untuk daerah, tapi demi menjaga citra pejabat daerah, harus tetap datang ke Jakarta. Tetapi lebih sering, ketukan palu pejabat di Jakarta (baca: central) menimbulkan beban dan derita jutaan orang di daerah-daerah (baca: peripheries). Sekedar ilustrasi, Kalimantan dapat banjirnya dan kayunya dinikmati Jakarta, Aceh dapat konfliknya, gasnya ke Jakarta, Papua perang saudaranya, emasnya ke Jakarta.

 

 

Pendeknya, Jakarta bagi saya hanya menyisakan sedikit dari rasa kemanusiaan manusia. Di Jakarta, tidak hanya roti yang bisa berbicara (baca: Bread Talk), tetapi lebih dari itu, uang menentukan segalanya. Memasuki Jakarta kali ini untuk menentukan langkah penting, setidaknya dua tahun kemudian yang Insya Allah di Australia, penuh dengan syak wasangka. Persis seperti prasangka beasiswa ”boomerang” yang saya terima. Penerima beasiswa mendapatkan benefits dengan ilmu yang pasti akan banyak manfaatnya, Australia tidak sedikitpun dirugikan karena toh seluruh penerima beasiswa akan membelanjakan uangnya di Australia, tempat mereka belajar. Persis seperti cara kerja boomerang, kembali ke pelemparnya, plus diplomasi internasional yang tidak ternilai harganya. Aniway, everybody happy.

 

 

Dengan semangat everybody happy inilah, saya memantapkan jalan ke IALF dari Karet Belakang (baca: Karbela), kampung yang paling diuntungkan di seluruh Jakarta oleh beasiswa boomerang dengan maraknya kos-kosan dan warung calon mahasiswa Australia. IALF sendiri terletak di lantai 6 (karena lantai di bahasa Inggris disebut ”level” , saya membayangkan sedang bermain Nintendo setiap melihat angka naik lift). Di level ini, Handphone tidak boleh dinyalakan, walaupun kebanyakan hanya men”silent” saja dering mereka (seharusnya hal ini dicontoh seluruh ruangan penting di Indonesia, termasuk seluruh ruangan kelas mahasiswa di UGM). Nah, larangan menyalakan HP ini membuat hari pertama saya menjadi menarik.

 

 

Dua jam setelah pembukaan, HP saya tertinggal di toilet. SMS terakhir saya kirimkan ke adik saya yang kebetulan membalas. Oleh si penemu HP, SMS adik saya dibalas seperti ini :

 

 

”mas yg pny hp ini namanx sapa ADS brp bulan?Hpnx ktngglan d toilet.sampean tmanx kn?”

 

 

…dan kemudian HP saya kembali ke tangan saya setelah melalui sekian petugas di IALF keesokan harinya.

 

 

Dari sebuah HP 400 ribuan yang dengan tidak sengaja diputarkan Allah ke sekian orang, banyak cerita yang bisa diungkap.

 

 

Buat saya, Jakarta boleh jadi tidak seperti apa yang Bang Napi sampaikan setiap hari. Jakarta, bagaimanapun, tetap menyimpan keunikannya tersendiri. Sebuah kebaikan yang hanya bisa dirasakan oleh penghuninya. Jakarta tetap menjadi magnet, bukan hanya karena di Jakarta 74% perputaran uang Indonesia berlangsung, tetapi Jakarta menarik sebab terjadi sebuah romantika kehidupan dengan kesetimbangan yang indah. Itu sebabnya ketika saya pulang malam itu setelah perpustakaan tutup, di atas jembatan penyeberangan lampu-lampu rem mobil-mobil yang terjebak macet terlihat begitu indahnya.

 

 

Selain itu, Jakarta masih memiliki miniatur-miniatur negara maju yang sebisa mungkin, mengadopsi sistem mereka di gedung-gedungnya. Sebuah gambaran ideal seperti cerita-cerita para nabi. Kejujuran laki-laki yang mengembalikan HP dan karyawan IALF (orang Indonesia) memberikan harapan bahwa bangsa ini memang bisa maju suatu saat nanti. Karena masalahnya bukan di ”orang Indonesia” tetapi ”sistem di Indonesia”.

 

Mari.. singsingkan lengan baju, mambangun Ibu Pertiwi

 

Dirgahayu Republik Indonesia ke 46 62.