Banyak orang bilang jika ingin menjadi orang penting di negeri ini, cepat-cepatlah datang ke Jakarta. Jakarta menjadi tempat bagi penyelesaian urusan yang sebenarnya ”sepele” untuk daerah, tapi demi menjaga citra pejabat daerah, harus tetap datang ke Jakarta. Tetapi lebih sering, ketukan palu pejabat di Jakarta (baca: central) menimbulkan beban dan derita jutaan orang di daerah-daerah (baca: peripheries). Sekedar ilustrasi, Kalimantan dapat banjirnya dan kayunya dinikmati Jakarta, Aceh dapat konfliknya, gasnya ke Jakarta, Papua perang saudaranya, emasnya ke Jakarta.
Dengan semangat everybody happy inilah, saya memantapkan jalan ke IALF dari Karet Belakang (baca: Karbela), kampung yang paling diuntungkan di seluruh Jakarta oleh beasiswa boomerang dengan maraknya kos-kosan dan warung calon mahasiswa Australia. IALF sendiri terletak di lantai 6 (karena lantai di bahasa Inggris disebut ”level” , saya membayangkan sedang bermain Nintendo setiap melihat angka naik lift). Di level ini, Handphone tidak boleh dinyalakan, walaupun kebanyakan hanya men”silent” saja dering mereka (seharusnya hal ini dicontoh seluruh ruangan penting di Indonesia, termasuk seluruh ruangan kelas mahasiswa di UGM). Nah, larangan menyalakan HP ini membuat hari pertama saya menjadi menarik.
Dua jam setelah pembukaan, HP saya tertinggal di toilet. SMS terakhir saya kirimkan ke adik saya yang kebetulan membalas. Oleh si penemu HP, SMS adik saya dibalas seperti ini :
”mas yg pny hp ini namanx sapa ADS brp bulan?Hpnx ktngglan d toilet.sampean tmanx kn?”
…dan kemudian HP saya kembali ke tangan saya setelah melalui sekian petugas di IALF keesokan harinya.
Dari sebuah HP 400 ribuan yang dengan tidak sengaja diputarkan Allah ke sekian orang, banyak cerita yang bisa diungkap.
Buat saya, Jakarta boleh jadi tidak seperti apa yang Bang Napi sampaikan setiap hari. Jakarta, bagaimanapun, tetap menyimpan keunikannya tersendiri. Sebuah kebaikan yang hanya bisa dirasakan oleh penghuninya. Jakarta tetap menjadi magnet, bukan hanya karena di Jakarta 74% perputaran uang Indonesia berlangsung, tetapi Jakarta menarik sebab terjadi sebuah romantika kehidupan dengan kesetimbangan yang indah. Itu sebabnya ketika saya pulang malam itu setelah perpustakaan tutup, di atas jembatan penyeberangan lampu-lampu rem mobil-mobil yang terjebak macet terlihat begitu indahnya.
Selain itu, Jakarta masih memiliki miniatur-miniatur negara maju yang sebisa mungkin, mengadopsi sistem mereka di gedung-gedungnya. Sebuah gambaran ideal seperti cerita-cerita para nabi. Kejujuran laki-laki yang mengembalikan HP dan karyawan IALF (orang Indonesia) memberikan harapan bahwa bangsa ini memang bisa maju suatu saat nanti. Karena masalahnya bukan di ”orang Indonesia” tetapi ”sistem di Indonesia”.
Mari.. singsingkan lengan baju, mambangun Ibu Pertiwi
Dirgahayu Republik Indonesia ke 46 62.
mas bayu …
slamat datang di jakarta……(ojo lali mampir ning omahku yo…)
jakarta memang ibu dari negara kita dan bukan ibu tiri, tapi memang banyak anak durhakanya.dari yg.anak tiri sampai anak kandungnya sama saja.
bukan berarti durhaka semua, kebetulan mas bayu dipertemukan oleh salah seorang yg mewakili dari seglintir manusia yg berahlak baik dengan jiwa besarnya hp mas bayu dikembalikan ,padahal kalaumau dijual pasti laku paling tidak 150 ribu rupiah sudah dikantong bukan sekedar terima kasih.
ini membuktikan bahwa negara ini masih bisa dirubah untuk menjadi lebih baik dari yg sekarang.
sudah waktunya kita menunjuk siapa yg jadi pimpinan kita, bukan lagi memilih ala paket hemat macam fast food resto.
kalau pimpinanya baik maka kehidupan sosial masyarakatnya sudah pasti membaik.
semoga orang 2 yg berahlak jadi mayoritas bukan lagi minoritas.
hidup…orang…baik…!
MERDEKA..!!!
he…he…he…(serius apa napsu yach..)
weetsss…. dadi cah metropolitan, ki.. selamat, boss.
salam buat Barbara di IALF, she’s a funny and lovely lady.
semoga masih banyak orang baik seperti yg balikin hp anda. mungkin ga mereka bersikap seperti itu karena mereka berada di “lingkungan” orang Barat? where honesty counts. i’ll let you to decide.
tambahan, Bay!!!!
tahun kita ulang tahun yang ke 62, repeat 62!!!!! bukan 46! apa kata dunia?!?!?!?!?
As I promise you, here I come just to give a comment. Sorry for being late visit your site.
Lagi gak sempet komen panjang-panjang, lagi susah ngerjain PR-nya Barbara, yang Cornish. Sorry ya!
Yang jelas sih, Indonesia ulang tahun-nya yang ke-64. Dan biasanya, kalo pake Dirgahayu gak bisa pake yang ke-berapa. Soalnya dirgahayu means “mudah-mudahan berumur panjang,dan hidup”, or something like that lah.
But anyway, pak dosen lebih tau kali ya? And, wellcome to the jungle.
biasanya kesan pertama menentukan selanjutnya. so, kl kesan pertama sdh bagus, insya allah demikian jg utk seterusnya. sukses selalu ya!!!
hihihihi,
Matur nuwun Aji, sebenarnya maksud hati ke 62 kok bisa jadi 46 ya? I still wondering je. Tapi toh maman, masih menganggap ke 64, terpengaruh tulisanku kali ya he he. Jangan-jangan, kita di Indonesia di sini memang harus belajar lebih mencintai Indonesia daripada yang di luar sana seperti Aji dan Mada. Agustus selalu menjadi bulan yang dinantikan oleh banyak Indonesianers di luar negeri. Semacam yearly gathering yang mampu mengembalikan lagi memory Indonesia dirindukan.
Mas Edi, aku pasti mampir (apalagi kalau ada yang jemput hehehehe), maklum orang desa, belum berani pergi jauh, takut ilang hehehehhe.
Thanks berat buat yang udah comments. Keeps comments.
wah..wah…sudah tak bilang to bay, begitu tulisanmu “background”nya jelas, komen2 pasti lgsg bnyk. 😉
tuh, aji aja nonton nagabonar…saking2e cinta merahputih..tur, bilangin aji…bos dino memproduseri samson ama coklat bikin album dg bintang videoclipnya SBY….sangar jan2e jalurmu Jie 😀
kembali ke topik.. selamat dadi wong katrok ning jakarta…katrok ning pinter boso enggres,ora kaya thukul :))
soal 46,62,64..artinya ’61, ’45, ’47 selalu ada kejadian penting di taun2 tsb..silakan buka lagi arsip2 sejarahnya 😀
Yu, Wendy Sahanaya itu yg org Curtin ya?
Iya mas betul. Beberapa kali dia menyebut tentang mengajar di Curtin.
Beberapa pertanyaan dari pernyataan yang belum saya pahami. . .
“Are you saying “Kejujuran laki-laki yang mengembalikan HP dan karyawan IALF (orang Indonesia) memberikan harapan bahwa bangsa ini memang bisa maju suatu saat nanti.Sebuah gambaran ideal seperti cerita-cerita para nabi.” If you are saying this statement. I ll agree with you. HOWEVER..
“Selain itu, Jakarta masih memiliki miniatur-miniatur negara maju yang sebisa mungkin, mengadopsi sistem mereka di gedung-gedungnya.” “Sebuah gambaran ideal seperti cerita-cerita para nabi.” (Apa maksud nya dari pernyataan ini?) What are you saying about Jakarta? Is it an ideal city ? I do not really understand. what do you mean..
Penulis semestinya tegas, berada di posisi mana dia berada. Yang ideal yang mana?Jakarta dengan gedung gedung nya? atau laki laki yang jujur?
“Mari.. singsingkan lengan baju, mambangun Ibu Pertiwi”. Saya kecewa, mengapa tulisan nya berhenti sampai disini. What do you mean with “development”. Apakah membangun itu berarti memiliki miniatur2 negara maju? dan mengadopsi sistemnya. Do you think that all things from developed countries are ideal?” Dalam beberapa hal saya tidak sepakat. Bagaimana cara membangun ibu pertiwi? Dari tulisan terakhir ini, ada kesan saya bahwa membangun itu adalah dengan cara mengadopsi sistem mereka, karena secara tidak langsung betapa pembangunan itu bisa digambarkan dari kerlap kerlip lampu mobil dan gedung-gedungnya yang megah seperti yang tampak ada di negara maju. I do disagree…
Kemudian, dari pernyataan ini, “Karena masalahnya bukan di ”orang Indonesia” . Kemudian masalahnya ada dimana.Jika ada di sistem.., sistem nya harus seperti apa? Untuk membangun ibu pertiwi tidak hanya diperlukan “kejujuran” seperti halnya laki laki yang mengembalikan hp (ini bisa jadi titik awal, memang). Semestinya pertanyaan adalah tidak hanya sampai disitu. Tetapi bagaimana menumbuhkan kesadaran “orang indonesia” itu sendiri akan pembangunan. Kesadaran yang tidak hanya menghamba kepada negara maju, tetapi bagaimana menumbuhkan kepercayaan diri untuk tidak selalu dijadikan sebagai penghuni negara “donor driven”.
All the best ay..
I am waiting for your further stories…
Satu lagi, jika asumsinya benar. berarti, ada kontradiksi dengan cerita sebelumnya.. (“dari barat selalu hebat”).
I will think about it…
Pertama-taman, seluruh tulisan disini tidak mengajak pembaca untuk mendapatkan hasil akhir dari seluruh fenomena yang dibahas. Tulisan-tulisan ini hanya sekedar mengungkap fenomena, menyajikan saran dan pendapat dan mengajak pembaca berdiskusi. Kesimpulan akhir, bagaimanapun juga, tetap di tangan pembaca, hanya sekedar bilang, eh ada ini lho…eh ada itu lho…..
Pembaca mungkin bingung, atas tulisan yang disajikan, yang menurutku tidak ada yang berkontradiksi dan bertabrakan, dalam tulisan maupun antar tulisan. Setiap tulisan dibangun dengan argumen yang jelas.
Jadi jika masih bingung, bukankah itu menariknya tulisan, membuat pembaca menjadi berpikir…. berarti salah satu misi tulisan berhasil. Gitu mom!
Bayu…pengalaman pertamamu di Jakarta itu belum lengkap. Itu baru lengkap kalau kamu sudah mengatakan “kejamnya ibu tiri tak sekejam Ibu Kota” 🙂
Aku hanya ingin mengatakan…Jakarta itu “Kompleks”. Disini begitu mudahnya kita menemukan “Surga” dan “Neraka”. Namun di tengah kekompleksan Jakarta itu, bagi orang yang optimis dan pesimis tetap akan menyayikan syair lagu Kos Plus
“Ke Jakarta ku kan kembali…….walaupun apa yang kan terjadi”.
Persis Kos Plus, bagiku tinggal di jakarta adalah bagaimana kita memandang “apa yang kan terjadi” kok….
Bayu Dardias
Alhamdulillah ris, program kursus tidak mengharuskan untuk tinggal lebih lama dari delapan minggu. Jadi, sepertinya “surga” dan “neraka” yang berbaur itu, berasal dari cerita orang-orang dan bukan internalisasi pengalaman…keep comments