PERUT

Jaman kuliah dulu, ketika saya kos di sekitar Klebengan Yogya tahun 1999, setahun setelah krisis, ada warung murah-meriah yang menjadi langganan anak kos. Warung makan itu namanya SADEWA, terletak di pinggir jalan, tempat orang jalan kaki menuju kampus UGM. Pemilik warung sangat terampil meracik menu makanan yang dapat disajikan dengan harga yang semurah-murahnya. Waktu itu, satu porsi nasi dan sayur (yang disajikan oleh pemilik warung) harganya 750 rupiah, es jeruk 200 rupiah dan tempe segitiga 150 rupiah. Pendeknya dengan modal 1500 rupiah bisa memilih menu yang ada, begitu kiriman dari Magelang datang. Jika puasa begini, antri untuk makan sahurnya bisa 30 menit sendiri, itupun kalau tidak kesiangan.

 

Ketika mencoba datang lagi tahun 2006, variasi makanannya tidak banyak berubah dengan harga yang tidak terpaut jauh. Tahun 2006 saya habis 1800 dengan pilihan menu yang 7 tahun sebelumnya hanya bisa dinikmati seminggu sekali, walaupun dengan suasana yang jauh lebih sepi. Tetapi belakangan, ketika lewat lagi, warungnya sudah tutup. Dugaan sementara, tingginya SPP kuliah membuat banyak mahasiswa miskin seperti saya, tidak mampu lagi kuliah, yang bisa dilihat dari jarangnya sepeda ditemukan di kampus Fisipol. Mahasiswa sekarang ogah makan di tempat murah (yang walaupun tidak murahan).

 

 

Tetapi di daerah sekitar pabrik-pabrik mebel di Yogya Selatan, warung kucingan yang bertebaran di sekitarnya tidak mematok harga yang bikin kantong kembang kempis. Dengan 4.000 rupiah, menu yang akan dimakan masih mampu dipilih, 3.000 rupiah kalau mau sedikit irit, itupun telah termasuk segelas teh manis hangat.

 

Di Jakarta sekarang harganya agak tidak cocok dengan kantong saya yang tetap kantong mahasiswa. Rata-rata sekitar 10.000-15.000 rupiah harus disetor untuk menu yang sama sekali tidak istimewa. Kalau mau agak irit, setelah Maghrib banyak sekali tukang nasi goreng yang lewat, dengan harga 5.000 rupiah (termasuk satu butir telur ayam yang dicampur dalam nasi goreng). Tetapi ingat, kualitasnya jauh berbeda, entah minyak gorengnya atau campuran yang lain, yang jelas saya sering sekali batuk setelah menyantap menu ini yang bikin kantong justru tekor karena harus beli obat batuk.

 

Temen kos saya yang kebetulan sedang internship di hotel JW Marriot punya cerita yang sangat kontradiktif. Salah satu menu andalan hotel bintang 5 ini adalah Teriyaki yang dibuat dari Daging Sapi Kobe, impor dari Jepang. Satu porsi Teriyaki dibuat dengan 3 ons daging sapi yang disajikan dengan harga 900.000 per porsinya –plus plus- (daging sapi mentahnya 3 juta rupiah per kilo). GENDENG !!! Itu belum seberapa, menu lainnya adalah Teriyaki yang dibuat dari daging sapi Matsutsaka (semoga spellingnya benar) yang satu porsinya 1.800.000 rupiah –plus plus- (artinya plus pajak dan service 21% atau setara dengan US$ 200 untuk 3 ons daging sapi). DOUBLE-GENDENG !!!! Perlu digaris bawahi, itu baru daging sapi, belum termasuk daging aneh-aneh yang susah dicari; harganya tentu lebih mahal lagi.

 

Konon katanya, sapi bakalan untuk Daging Sapi Matsutsaka hanya minum bir atau sake, dipijit dan diajak jalan-jalan setiap hari dan disembelih di tempat yang terpisah sehingga sapi-sapi Matsutsaka lainnya tidak melihat, demi untuk menjaga agar sapi-sapi itu tidak stress. Sapi ini disembelih dalam kondisi terbius, demi menjaga agar tidak ada otot yang menegang. Sekedar tambahan, hasil riset di Jerman membuktikan bahwa sapi yang dibius ketika disembelih lebih merasa sakit daripada yang tidak. Dalam kondisi sadar, sapi/hewan merasakan kaget dengan tingkat kesakitan yang terus menurun sampai ajal, berbanding terbalik dengan sapi yang dibius.

Kembali ke perut yang menjadi judul posting ini, kapasitas lambung manusia sebenarnya tidak besar, itupun harus dibagi tiga untuk makanan, udara dan air. Sampai saat ini, saya tidak habis pikir dengan sekali menu makan yang semahal itu, toh kapasitas lambungnya kurang lebih sama. Tapi sudahlah, saya tidak hendak mengomentari gaya makan orang lain; dan lagi, rejeki orang kan memang beda-beda.

 

Pendeknya, dunia ini memang menyajikan hampir semua pilihan untuk memenuhi gaya hidup manusia. Mulai dari kelas kucingan pabrik sampai kelas Matsutsaka. Bedanya kontras sekali, satu porsi makan malam kelas Matsutsaka lebih dari 600 kali makan buruh pabrik atau sama dengan kira-kira satu bulan kebutuhan perutnya (karena umumnya buruh pabrik hanya makan 2 kali atau tiga kali dengan harga yang sama untuk 2 kali).

 

Tapi buat saya, sepertinya tidak ada yang bisa mengalahkan masakan lombok ijo dari ikan pindang keranjang buatan istri saya, yang dimasak dengan segenap penyedap rasa yang bernama cinta. Karena konon katanya (mengambil istilah mas Ando), bumbu paling enak untuk setiap masakan adalah cinta yang dimakan bersama seluruh keluarga….