PASPOR ku PASPOR mu PASPOR kita semua

Saya sedang memperpanjang paspor yang habis September tahun ini di Kantor Imigrasi Jakarta Selatan. Sebuah berita bagus mengingat saat ini seluruh penduduk Indonesia dapat membuat paspor di kantor Imigrasi manapun dengan melengkapi syarat-syaratnya. Syaratnya pun gampang: asli dan FC dari KK, KTP dan ijasah atau akte atau surat nikah. Berhubung saya sedang “ngluruk“, jadi seluruh persyaratan yang seharusnya bisa salah satu tersebut terlengkapi plus sebuah surat dari lembaga dengan gambar teratai coklat di ujung kiri atas.

Pada hari pertama, rabu 5 September, saya mengurus sendiri ke sana pake busway, sebuah terobosan cerdas Pemkot DKI, sekitar jam 2 siang. Proses pemberkasan hanya 15 menit termasuk antri dan setelah itu saya disuruh kembali lagi 10 September untuk membayar, foto (katanya biometrik) dan sidik jari yang saya lakukan siang ini (sekitar 40an menit seluruhnya) dan saya disuruh kembali lagi 3 hari lagi. Jadi totalnya saya butuh 3 kali bolak-balik dengan setiap proses yang tidak terlalu lama pada setiap kedatangan, walaupun harus tanya petugas kesana kemari karena tidak tercantum prosedur proses dan meja informasi.

Sejak pertama menginjakkan kaki di kantor yang ramai itu, seorang calo menawarkan PASPOR 1 hari jadi yang tentu saja saya tolak. Alasan penolakan saya cukup jelas, pertama, sejak awal saya memang berencana mengurus sendiri, dan siap ngeyel jika dibutuhkan. Buat penerima beasiswa pas-pasan seperti saya, ngeyel hanya modal satu-satunya. Kedua, waktu hari sudah siang dan kantornya tinggal buka dua jam lagi, mana mungkin dia bisa melakukannya ditengah banyak orang yang duduk-duduk sepertinya mengantri itu?

Tapi ternyata alasan kedua tidak terbukti, setelah saya mengikuti seluruh prosesnya yang memaksa saya mengeluarkan ekstra 2×5 ribu. Limaribu pertama untuk blangko yang saya tidak tahu kalau ternyata gratis (tulisan gratisnya ada di dalam dan hanya dijual oleh tukang FC di dekat loket) dan kedua ketika membayar biaya paspor yang seharusnya 270 ribu utk 48 halaman, diminta 275 ribu. Dan sekali lagi, saya tidak teliti melihat kuitansinya, baru saya sadari setelah meninggalkan kasir. Tetapi belakangan saya tahu, bahwa blangko utk lima ribu yang pertama gratis, yang lima ribu untuk map nya, yang masuk ke koperasi karyawan.

Anyway, janji Pemerintah yang ingin bersih sebenarnya bukan mustahil direalisasikan. Proses di Imigrasi menunjukkan kalau birokrat sebenarnya hanya memanfaatkan kelemahan kita sebagai citizen. Gejala ini ditunjukkan dengan begitu banyaknya orang yang duduk-duduk menunggu di Imigrasi. Apa yang mereka tunggu? Jika prosesnya resmi mereka tentu tidak perlu menunggu, persis seperti apa yang saya alami. Dugaan saya, mereka menunggu paspor instan. Hal ini diperkuat dengan orang-orang berseragam Imigrasi yang membawa beberapa blangko paspor yang seharusnya dibawa sendiri oleh aplikan.

Ini terjadi karena warga negara sendiri tidak mau sedikit repot. Semuanya mau instan. Demokrasi mau instan, perbaikan ekonomi mau instan, macet hilang secara instan, banjir hilang secara instan juga.

Pada saat yang bersamaan, mengurus sendiri paspor saja tidak mau. Bayar pajak tidak mau. Antri tidak suka. Jalan kaki gak mau, naik busway ogah, buang sampah sembarangan. Sehingga kesannya menjadi, democracy for you, antri for you dan seterusnya dan seterusnya, dan AKU terima enaknya aja.

Siapa korbannya? Korbannya adalah orang lain yang menghargai proses. Saya yakin, proses pembuatan paspor di Jakarta Selatan seharusnya tidak lebih dari 3 hari, dua hari malah kalau PNS nya mau bekerja dengan sedikit lebih berdedikasi. Dengan karyawan sebanyak itu dan mesin sebanyak itu, hal itu bukan mustahil. Tapi akhirnya saya harus menunggu, karena banyak manusia “instan” yang maunya menang sendiri, maunya didahulukan, yang tentu saja dengan bayar lebih mahal.

Oooooaalaah nasib bangsa Indomie….