Aplikasi satu ini seperti sebuah game, membuat kecanduan dan menyebabkan orang tidak produktif. Bedanya, Facebook dibungkus dengan backbone yang bagus, menjalin silaturahmi.
Perkenalan dengan facebook dimulai November tahun lalu di tengah deadline menyelesaikan paper akhir di perpustakaan University House, ANU. Awalnya, hanya sekedar iseng melepas lelah dibalik ribuan kata yang harus diedit. Hanya dalam seminggu, jumlah friends mendekati 100 dan sekarang hampir 600 dalam enam bulan. Artinya, terdapat tambahan seratus friends sebulan. Dari angka itu, tak lebih dari 20 orang yang saya add, selebihnya hanya melakukan confirm terhadap request. Selain itu, (paling tidak sampai saat ini) saya cukup selektif meng approved hanya request dari seseorang yang benar-benar dikenal, atau (maaf buat mereka yang ter ignore).
Facebook memang menarik, terutama untuk kondisi saat ini. Facebook adalah pengejawantahan apa yang disebut Friedman sebagai globalisasi 3.0, merubah dunia yang small menjadi tiny yang dimotori oleh actor individual. Dari kota gersang Canberra saya bisa mengupdate kondisi kawan-kawan yang telah tersebar entah ke mana.
Dari sejumlah itu, beberapa kawan meng add saya sebagai kawan pertama mereka di Facebook. Beberapa kawan yang lain memasukkan saya dalam lima besar. Padahal, kami sudah tak bertemu lebih dari 5 tahun. Sepenting itukah saya dalam jaringan pertemanannya atau menjadi teman yang berkesan? Mungkin tidak, hanya sekedar iseng di google.
Selain itu, Facebook dapat sejenak mengendurkan syaraf, terutama saat teman men ‘tag’ kita di salah satu foto jadulnya. Setelah itu, tinggal adu kekuatan ingatan di comments. Seringkali, foto yang di upload itu sama sekali tidak ada dalam ingatan.
Dalam hal upload foto di facebook, temen-temen ini juga bisa dikategorikan menjadi tujuh jenis.
Pertama, Kawan Narsis. Hampir seluruh foto yang diuploadnya adalah foto diri dengan berbagai pose dan berbagai keadaan, di kantor, di rumah, di taman, di dapur dan (terutama) di luar negeri. Paling parah dari golongan ini adalah mereka yang mengupload seluruh foto dirinya yang diambil sendiri dengan handphone generasi baru. Artinya muka Kawan Narsis menghiasi 30 persen foto.
Kedua, Kawan Komunitas. Foto- foto yang diupload adalah foto bersama teman-temannya dalam berbagai keadaan dan kondisi. Menariknya, foto ini dipilih saat penampilan yang empunya facebook berada pada pose terbaik dan mengabaikan kawannya yang lain. Tak peduli kawan sebelahnya sedang merem, yang penting yang empunya facebook tersenyum.
Ketiga, Kawan Publisher. Kawan Publisher seringnya mengupload foto temannya yang lain tanpa ada yang empunya facebook. Dalam setiap acara, Kawan Publisher sibuk memotret acara dan memajangnya di facebook. Kadang dengan persetujuan teman-teman di foto tersebut, tapi lebih sering tidak.
Keempat, Kawan Gaptek yang ditandai dengan upload foto yang tidak jelas, tidak focus, blur, terlalu terang/gelap, terlalu kecil dan seringkali ngawur. Bagi mereka, yang penting adalah momen pada saat foto dibuat tanpa mengindahkan kaidah fotografi dan kenyamanan “mata” bagi yang melihat, tidak jarang foto yang dipublish tidak di rotate dahulu, membuat ‘tengeng‘ kepala yang melihat.
Kelima, Kawan Photographer. Baginya facebook memfasilitasi promosi diri melalui foto. Instead of kawan narsis yang memajang foto diri sendiri ketika di China, Kawan Photographer memajang foto pemandangan, kota terlarang dls.
Keenam, Kawan Pecinta Keluarga. Facebooknya isinya foto anak-anaknya, suami/istrinya dan keluarganya yang seolah tampil bahagia dan sejahtera. Kawan ini ingin menunjukkan pada seluruh mantan-mantannya bahwa sekarang dia menemukan labuhan hatinya. Di setiap lembar foto itu tersimpan pesan untuk mantan-mantannya “untung gue gak jadi sama elu”
Ketujuh, Kawan Pelit, maunya lihat foto orang lain, tak ada selembarpun foto yang diuploadnya.
Hi hi hi hi, iseng aja