Generasi Friendster

tulisan ini datang dari obrolan di Jambusari bersama mas Ando dan mas Danang

 

Dalam sebuah kesempatan, seorang mahasiswa dengan mobil baru kebingungan mengerjakan skripsi untuk tugas akhirnya. Mahasiswa sebuah perguruan tinggi swasta di Yogyakarta tersebut bukan kebingunan untuk menentukan tema skripsi, metode yang dipilih, atau landasan teori yang menjadi arahan penelitian, tapi tergopoh-gopoh dengan kebingunan tentang persoalan sepele untuk kenalan dengan calon informan.

 

“Bagaimana cara memulainya mas Ando? Apa yang harus aku lakukan untuk bisa kenal dan mendapat informasi?” dan sederet pertanyaan lain yang sama sekali tidak berhubungan dengan tema skripsi sendiri. Pertanyaan yang muncul berupa pertanyan seputar tips-tips untuk mendapatkan informasi yang mau tak mau memaksanya untuk berkenalan dengan orang lain.

 

Buat banyak kaum tua, pertanyaan itu hanya sebagai pertanyaan yang tak selayaknya keluar dari mahasiswa semester akhir. Hanya untuk berkenalan dengan orang yang selama ini tidak pernah ditemui, temen kita tersebut ternyata kerepotan. Lihat saja pengalaman pak Ando yang gondrong, dan nyeni ketika harus “nembung” melihat disain interior hotel Amanjiwo. Toh, walaupun harus bergelantungan di bis yang seenaknya berhenti, nyali untuk bertemu dengan pucuk pimpinan tertinggi tak pudar.

 

Bukankah sekarang adalah jaman friendster? bukankah dengan mudahnya kita berkenalan dengan orang lain tanpa harus bertatap muka? Bahkan untuk mereka yang berada diluar network. Tinggal search, liat foto-foto dan tulisan yang ada, eh jadi deh teman. Bukankah sekarang sangat mudah membuat teman? Setidaknya telah ada fasilitas untuk mencari dan mempertahankan pertemanan. Lalu kenapa teman kita yang aktifis friendster ini kebingungan untuk memulai berkenalan dengan seseorang?

 

Justru disitulah letak masalahnya. Generasi friendster adalah generasi pura-pura. Kita tidak perlu memberikan nama lengkap sebagai persembahan terbaik ibu-bapak yang akan kita bawa sampai mati. Kita cukup memberikan nick name, yang sekali lagi bisa ditulisi apapun, bahkan makian sebagaimana beberapa saat lalu saya menerima email mahasiswa yang barnama “jiamput (first name) diancuk (last name)” yang berisi tugas untuk sebuah matakuliah. Jadi jika kita sudah memaki diri kita sendiri? Trus………………
Atau nama kita terwakili dengan angka, bayu0809, adit12902 atau apapun. Yang walaupun tak separah yang pertama, tapi mereduksi makna kemanusiaan. Setelah proses itu, kepura-puraan tidak berhenti. Ada ratusan juta gambar yang dapat mewakili diri kita di dunia maya, dari yang sesungguhnya sampai gambar yang tidak karuan. segala comment dan tulisan bisa dicopy dari web lainnya.

 

Generasi friendster tidak pernah belajar untuk tampil apa adanya. Generasi friendster tidak pernah belajar gesture, ekspresi dan bahasa yang tepat untuk digunakan ketika berhadapan dengan manusia lainnya. Generasi friendster adalah generasi mimpi dimana kebanggaan ditunjukkan oleh jumlah friends yang terdaftar dalam network. Makanya, ketika berhadapan dengan realitas hidup yang sesungguhnya,kegamangan besar muncul, ditengah semakin merosotnya makna kemanusiaan kita.

don’t know what to do.

 

Jadi, internet dan friendster adalah sarana, yang harus disikapi secara cerdas.