Strategi Mengemis

Di hampir seluruh jalanan di Yogyakarta, kita selalu menemukan sejumlah orang mengais rejeki dengan mengemis. Perempatan-perempatan besar dan ramai tak pernah sepi dari kehadiran pengemis. Sasaran mereka pengendara bermobil, entah mobil pinjaman, kreditan, atau mobil majikan, pengemis tak peduli. Pengendara mobil selalu diasumsikan memiliki lebih banyak uang daripada pengendara motor. Walaupun tak jarang pengemis yang meminta ke pengendara motor. Apa boleh buat, rotan tak pernah memberi, siapa tahu dari akar akan jadi rejeki.

 

Pengemis di Yogyakarta, seperti juga profesi lainnya, dituntut untuk berkembang dan kreatif. Mengemispun perlu strategi untuk menarik iba orang lain dan menyedekahkan uangnya, dan dengan begitu, makan malampun tak perlu dipikir terlalu serius lagi. Tulisan ini akan sedikit mengurai tentang strategi yang dipakai pengemis untuk mendapatkan rejeki lebih, yang ternyata berkembang dari waktu ke waktu.

 

Kelompok pertama adalah pengemis tradisional, jenis pengemis ini tidak memiliki strategi khusus untuk mengemis selain tidak membutuhkan modal untuk mengemis. Satu-satunya teknik yang harus dikuasainya adalah berbaju lecek, kotor dan muka yang memelas sambil menengadahkan tangan ke jendela mobil. Beberapa pengemis kelompok ini mencoba mengembangkan strategi dengan tidak memakai alas kaki, tapi apa boleh buat, aspal Yogyakarta sangat tak ramah buat kaki-kaki kasar mereka. Belum lagi tak ada pengendara mobil yang melihat ke kaki mereka. Lambat laun, teknik alas kaki mulai ditinggalkan.

 

Kelompok kedua memanfaatkan difabilitas tubuh (cacat fisik) dan penyakit yang yang mereka miliki sebagai strategi untuk memperoleh iba. Kelompok ini pandai betul memanfaatkan kondisi mereka. Seorang pengemis berpenyakit kusta misalnya, bisa kita temukan di seputaran UGM. Anehnya beliau raib menjelang sore. Tak ada yang mengamati siapa yang mengantar dan menjemputnya hingga tahu-tahu bisa nongkrong di UGM. Dengan gaya nglesotnya, sungguh kebangetan kalau tidak membuat yang lewat menaruh iba.

 

Kelompok ketiga sedikit lebih bermodal dan berstrategi. Frustasi dengan kegagalan kelompok pertama dan kealpaan pada kelompok kedua, kelompok ini memakai alat untuk mengemis. Beberapa menggunakan lap yang tidak lebih bersih dari baju yang dipakai, atau kemoceng untuk membersihkan kaca mobil atau slebor dan thothok depan motor. Kelompok ini relatif lebih sukses karena pengendara buru-buru memberinya recehan, bukan karena rasa terimakasih karena telah “dibantu” dibersihkan kendaraannya, tapi lebih karena rasa khawatir mobil/motornya bakalan tergores.

 

Kelompok keempat memanfaatkan balita untuk mengemis dengan harapan memperoleh iba dengan penampilan anaknya yang jauh lebih sengsara daripada ibunya. Ia juga seolah ingin berkata, “jika anda tidak memberi recehan, bagaimana nasib penerus bangsa yang ada di gendongan saya ini?”.

 

Kelompok terakhir menggunakan alat pabrikan. Wilayah operasinya ada di dalam gerbong kereta api kelas ekonomi. Dia menyemprotkan “bay fresh” ke tengah meja kecil diantara empat tempat duduk, dan menyorongkan tangannya sesaat kemudian. Di tengah keringat kecut penumpang kelas ekonomi, semprotan itu nyaris tanpa makna.

 

Begitulah pengemis, berpacu dengan perubahan. Mau memberi atau tidak, terserah ke pribadi masing-masing. Setidaknya, jika negara ini mau memikirkan mereka dengan anggaran yang saat ini belum dipunyai, jumlahnya tentu akan semakin berkurang.