Mbah Maridjan dan Sujudnya

Saya mengenal sosok mbak Maridjan dari Almarhum Prof. Riswandha Imawan yang merupakan sahabat mbah Maridjan.  Awalnya saya tak percaya. Isu yang dibawa Alm. Pak Ris selalu controversial dan dibawakan dengan gaya yang khas. Salah satunya ketika almarhum mengatakan mendaki Merapi dengan sepeda bersama mbah Maridjan. Semua itu kemudian dibuktikannya dengan menunjukkan sejumlah foto-foto mendaki gunung (termasuk memakai sepeda) bersama Mbah Maridjan muda ketika Pak Ris masih mahasiswa. Mbah Maridjan juga terlihat melayat Pak Ris, yang biasa disapanya dengan sebutan “Mas Guru”.

Kini keduanya telah meninggal dunia. Keduanya juga mendapatkan publikasi yang cukup luas ketika meninggal. Saya tak mengenal Mbah Maridjan cukup dekat, hanya sekali menemuinya sebelum Merapi meletus tahun 2006. Keluguan dan ketulusannya sangat mudah dibaca dalam 15 menit pertemuan itu. Saya mencoba mengingat apa yang disampaikan Alm. Pak Ris tentang mbah Maridjan. Pertanyaan-pertanyaan kunci yang masih belum menemukan jawaban di benak banyak orang.

Mengapa Mbah Maridjan menolak mengungsi?

Mbah Maridjan mendapatkan amanat untuk menjaga gunung Merapi dari Sri Sultan HB IX. Perintah menjaga ini difahami sebagai perintah untuk tidak meninggalkan Kinahrejo, dusun tertinggi di lereng Merapi yang berjarak 4 km dari puncak. Meninggalkan pos tersebut difahami sebagai desersi. Itu sebabnya, menjadi masuk akal ketika mbah Maridjan meninggal di Kinahrejo, karena dia menjaga amanah yang diberikan kepadanya.

Sultan HB IX telah meninggal, bagaimana kelanjutan amanah tersebut?

Mbah Maridjan meyakini, bahwa amanah tersebut belum pernah dicabut dan masih berlaku. Dia percaya, walaupun Sultan HB IX telah meninggal, dia dapat berkunjung kapan saja melalui mimpi kepada mbah Maridjan jika ingin mencabut amanahnya tersebut.

Bukankah Sultan HB IX sudah digantikan oleh Sultan HB X, mengapa Mbah Maridjan menolak turun ketika diminta HB X tahun 2006?

Walaupun sama-sama sebagai raja Kasultanan Yogyakarta, kepatuhan Mbah Maridjan tidak kepada Sultan HB X melainkan kepada Sultan HB IX. Kesetiaan abdi dalem tidak begitu saja berubah ketika kepemimpinan berubah. Struktur kekuasaan Jawa tidak dapat dimaknai seperti struktur kekuasaan modern dimana ketaatan bergantung kepada penguasa saat itu. Ada dimensi immaterial (termasuk Jagad Cilik dan Jagad Gedhe) yang menjadi pertimbangan kesetiaan. Dilihat dari posisinya meninggalnya yang bersujud, beliau mengedepankan nilai kepasrahan terhadap sang Pencipta. Ada stuktur yang lebih berkuasa dari dirinya, untuk itulah beliau bersujud. Sebuah level kepasrahan sempurna.

Inilah ketiga poin penting yang pernah disampaikan Alm. Pak Ris. Dilihat dari struktur keyakinan tersebut, agak sulit memaksa Mbah Maridjan untuk turun gunung yang mencederai seluruh bangunan kepercayaan dan kesetiaan yang menjadi pedoman hidupnya.

Yang bisa diantisipasi sebenarnya adalah puluhan korban tewas lain yang sebenarnya dapat dicegah jika menerapkan struktur pemaksa oleh negara. Di beberapa negara, penduduk yang menolak untuk mengungsi, dikenakan denda atau dipaksa mengungsi. Selain itu, negara juga menyediakan seluruh kebutuhan hidup layak, termasuk fasilitas minimum di pengungsian. Negara juga memberikan ganti rugi kepada rumah yang rusak melalui mekanisme asuransi yang masuk dalam kategori force majeure.

Bencana Merapi sangat berbeda dengan Gempa Bantul tahun 2006. Seperangkat alat-alat canggih dan alat peninggalan Belanda telah mampu mendeteksi tahap demi tahap perkembangan Merapi. Letusan yang lebih eksplosif tahun ini sudah diprediksi jauh hari dengan kecanggihan alat-alat kegunungapian tersebut. Apabila masih banyaknya korban yang meninggal, hal itu merupakan koreksi penting terhadap upaya kita dalam melihat bencana secara kultural, dan bagaimana antisipasi negara terhadap bencana. Pendeknya, seharusnya Merapi tidak membawa korban, karena sudah dapat diprediksi.  Inilah pertarungan antara kepercayaan kultural dan manajemen negara modern. Pertarungan yang entah kapan dapat berakhir.

24 Replies to “Mbah Maridjan dan Sujudnya”

  1. saya tidak kenal mbah marijan jadi gak bisa komentar pro atau kontra apa2. cuman sebagai tambahan wawasan saja URL berikut apa betul mbah marijan sujud ke selatan (ke kraton?) bukan ke ka’abah?

    http://moslemsunnah.wordpress.com/2010/10/29/po…sisi-sujud-mbah-maridjan-ketika-meninggal-apakah-tanda-tanda-khusnul-khatimah/

    Bayu Dardias

    Thanks infonya Di, sayangnya comment nya ditutup. Ya sudah nulis disini saja hehehehe. Menurutku, penulisnya terlalu spekulatif (atau malah buruk sangka) dan tidak mengerti konteks. Seingatku, di rumah mbah Maridjan di dapur dan kamar mandi… menyatu, atau paling tidak sulit dipisahkan, karena modelnya sama dengan rumah di desa-desa yang bukan terdiri dari bangunan solid. Di sana seingatku ada semacam dipan yang terbuat dari bambu yang multifungsi itu (aku lupa namanya), yang bisa dipakai sholat. Mbah Maridjan memang tidak pernah sholat di rumah karena selalu sholat di Masjid. Saya baru tahu sekarang kalau ke Selatan dan itupun gak masalah, bukankah ada ayat yang menyatakan “dimanapun kau menghadap disitu wajah Allah akan nampak?”
    Dalam situasi demikian, menurutku sujud saja sudah luar biasa, tak perlu menuntut menghadap kiblat.
    Selain itu, tidak ada yang tahu jam berapa persisnya awan panas menerjang dan kapan beliau wafat. Menulis bahwa mbah Maridjan tidak sedang sholat sama spekualtifnya dgn menulis beliau sdg sholat.
    Selain itu, posisi sujud tidak dikenal di Kraton, adanya posisi sembah.
    Jadi walaupun itu mungkin reflek seseorang ketika maut menjemput, tetap saja dapat difahami sebagai bentuk kepasrahan. Itu menurutku lho. Ada picnya kalau mau takkirim.

  2. kalo aku rasional aja, dlm keadaan apapun (sholat ato ndak sholat, biasa ato emergensi), ketika berakhir dg sujud, itu sudah luaarrr biasaaa…. Posisi sujud, kalo dlm proses keseharian tidak terbiasa sujud, itu menjadi suliiit luar biasa d…i akhirnya. Jadi, aku menyimpulkan dlam keseharian beliau ini adalah ahli sujud.
    So, mari yg baik2 kita tiru, yg jelek2 kita tinggalkan dan/atau diperbaiki. Mbah Marijan juga manusia.

  3. saya pribadi setuju dengan sholat mati dalam keadaan sujud is one of the best way to die, turut mendoakan, unbelieveable memang, all the best mbah marijan. setuju juga mas gustom, matur nuwun saring ilmunya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.