Merinding

Ketika Indonesia dikalahkan Uruguay 1-7, saya hanya menonton babak pertama dan baru tahu skor itu pagi harinya. Waktu itu, saya sempat berpikir, apa bangganya menjadi bagian dari Indonesia? Menegasikan kaos yang ditawarkan Amri, bikinan PPIA (Perkumpulan Pelajar Indonesia Australia) yang cukup sering dipakai di kampus dengan tulisan besar PROUD TO BE INDONESIAN.

Coba bayangkan, Indonesia yang memiliki penduduk lebih dari 230 juta jiwa, tak mampu menyediakan 11 pemain berikut beberapa pemain cadangan, untuk bisa cukup bernama di sepakbola, bahkan hanya untuk level Asia Tenggara. Setali tiga uang dengan itu adalah bulutangkis. Sedikit demi sedikit, pemain-pemain Pelatnas tumbang, bahkan di babak-babak awal melawan pemain yang tidak diunggulkan, Asian Games kali ini menunjukkan hal itu. Hal ini jauh berbeda dengan suasana pemutaran film KING produksi ALENIA di Coombs Building hampir setahun lalu. Nia Zulkarnaen sempat terisak ketika di akhir film, hampir seluruh penonton berdiri, memberikan apresiasi yang tinggi terhadap karya tentang keteguhan mengejar cita-cita itu. Semangat nasionalisme kami terangkat sedemikian tinggi. Begitu bangganya menjadi Indonesia.

Apakah semangat nasionalisme mendadak menjadi tinggi ketika kita tinggal di luar negeri? Bisa jadi jawabannya adalah “ya”. Nasionalisme adalah rasa emosional. Seperti rasa yang lainnya, ia begitu dibutuhkan justru ketika menjauh. Mirip-mirip suasana rindu kepada kekasih. Semakin jauh, semakin rindu.

Tetapi begitu menginjakkan kaki kembali ke Indonesia, sontak seluruh rasa itu seperti hilang. Di Jakarta sana, kejahatan yang tidak bisa dibayangkan terjadi dengan sangat terang-terangan. Lihatlah kasus Gayus yang menonton pertandingan tenis internasional ketika seharusnya berada di bawah pengawasan polisi. Sejak Juli, sudah 68 kali Gayus pergi dari tahanan. Polisi begitu gampang disogok, hukum begitu gampang dibeli.

Di panggung derita yang lain, bibir atas Sumiati hampir hilang akibat pukulan kayu bertubi-tubi. Lebih konyol lagi adalah solusi bapak Presiden yang terhormat, dengan mempersenjatai TKW yang diberi Handphone. Bapak presiden gagal melihat sumber dari masalah, akar masalah, atau meta-masalah. Meta-masalahnya adalah adanya ketimpangan relasi kuasa antara TKW dan majikan yang menganggapnya sebagai budak, disamping managemen TKW yang buruk, bukan kepada akses komunikasi. Relasi kuasa yang timpang tidak dapat diselesaikan dengan memberi HP sebagai sarana komunikasi. Jangankan HP, paspor yang merupakan identitas personal saja disita majikan, apalagi HP. Belum lagi masalah charging baterai, pulsa dls. Jangankan berharap bapak Presiden menyelesaikan masalah, mencari akar persoalannya pun gagal. Dalam teori analisa kebijakan publik, kegagalan mencari meta-masalah dari sebuah fenomena adalah pangkal dari kebijakan yang salah. Ibarat dokter, kesalahan mendiagnosis sebab sebuah penyakit tidak pernah akan menghasilkan kesembuhan karena treatment yang pasti akan salah sasaran.

Di sudut Merapi yang dekat, para pengungsi masih menjerit. Pemerintah datang dengan janji membeli sapi, para pedagang mendekat dengan uang kontan. Stadiun Maguwoharjo yang menjadi sentra pengungsi, dipenuhi penjual mainan dan aneka macam jajanan. Jika pengungsi hanya membawa selembar baju, apa yang akan mereka lakukan ketika anaknya meminta mainan yang tidak gratis itu?

Kegagalan kita menjadi bangsa, yang menjadi salah satu sumbu sentimentalisme nasionalisme itu seolah merangsek pada seluruh aspek kehidupan. Benarkah? Ternyata tidak.

Sentimentalisme nasionalisme memang pada akhirnya mencari pembenaran lain untuk mengatakan bahwa Indonesia memang seharusnya menjadikan kita bangga. Sayangnya, hal itu tidak didasarkan pada pengelolaan negara, tetapi pada energi perseorangan yang luar biasa.

Lihatlah bagaimana derasnya bantuan mengalir ke seputaran Merapi. Energi kolektif tiap individu di bangsa ini mampu memberikan dukungan luar biasa untuk 250.000 pengungsi lereng Merapi dan ratusan ribu korban terdampak lain. Jika dihitung dalam nominal, jumlahnya jauh lebih besar dari bantuan pemerintah, apalagi bantuan negara asing. Walaupun tetap banyak kekurangan di sana-sini, energi masyarakat ini memberikan hidup kepada ratusan ribu pengungsi, setelah sekian pekan Merapi mencari kesetimbangan baru.

Pada saat erupsi Merapi tanggal 5 November dinihari, puluhan orang membawa ember dan selang di jalan-jalan, mengguyurkan air ke kaca depan mobil yang tertutup abu, yang tak mempan dibersihkan dengan cairan wiper. Tengoklah juga para relawan yang luar biasa mencari jenasah para korban dan bahu membahu menolong pengungsi. Muka mereka memang tertutup masker, tak dikenal dan tak mengharapkan balasan.

Jika status Merapi turun menjadi Siaga, sudah ada rencana untuk kerja bakti bagi para korban di radius yang rendah, terutama mereka yang berasal dari Bantul. Ketika Bantul diguncang gempa tahun 2006, ribuan orang datang setiap hari untuk membantu korban gempa, membersihkan reruntuhan gempa dan membantu membangun rumah. Rombongan ini datang menggunakan truk, berasal dari bagian Yogyakarta yang lain, dan juga dari luar Yogya, beberapa datang dari tempat yang sangat jauh dari Banyumas. Setiap rombongan telah melengkapi diri dengan makanan dan minuman yang cukup untuk satu hari. Mereka datang pagi hari, membantu korban gempa sampai sore, dan kembali lagi ke tempat asal mereka, tanpa sedikitpun merepotkan warga yang dibantu. Warga Bantul sekarang beriktikad untuk membalas budi mereka yang telah menolongnya tahun 2006, yang juga berasal dari seputaran Merapi yang sekarang dirundung duka.

Energi masyarakat ini sering membuat saya merinding dan takjub, bahwa alasan untuk berbangga menjadi bagian dari Indonesia itu memang benar-benar ada. Sayangnya, energi ini tidak pernah ditangkap para pengelola negara.

*kedua foto diambil dari Kompas