Kedaulatan Rakyat, Analisis, 19 Oktober 2010
Wacana untuk membongkar-pasang kabinet begitu terasa setelah satu tahun perjalanan KIB II. Momen tuntutan pergantian kabinet ini bersinggungan dengan ulang tahun ke 9 Partai Demokrat dan Rapim Golkar. Seandainya akan ada pergantian menteri, SBY dan PD tetap akan memperhitungkan kemungkinan jangka panjang, terutama menyambut 2014 yang semakin dekat. Tak ada salahnya kita menyimak survey LSI.
Menurut survey Lingkaran Survey Indonesia yang dirilis akhir minggu lalu, hanya PD dan Golkar yang menunjukkan tren peningkatan suara pada pemilu 2014. Berdasarkan survey di seluruh Indonesia tersebut, perolehan untuk PD meningkat dari 20,9% menjadi 26,1%. Golkar meningkat dari 14,5% menjadi 17,3%. Ketiga partai lainnya, menunjukkan tren tetap atau menurun yaitu PDIP, PKS dan PAN. Empat partai lain yang duduk di DPR saat ini diperkirakan tidak akan mampu melewati Parliamentary Threshold (PT) jika dinaikkan menjadi 5%. Suara mereka diperkirakan akan menyebar ke lima partai yang lain. Walaupun terlalu dini untuk berspekulasi, survey tersebut layak menjadi bahan evaluasi.
Dilihat dari kecenderungan beberapa minggu terakhir, Golkar dan Demokrat masing-masing memasang perang urat syaraf. PD mengindikasikan kinerja menteri dari Golkar tidak maksimal, sementara Golkar mengancam keluar dari Setgab. Besar kemungkinan, Golkar tak akan keluar dari Setgab dan tak ada satupun menteri Golkar yang diganti karena keduanya saling membutuhkan. Tantangan Demokrat, selalu akan ditanggapi enteng Golkar karena merasa masih kuat di daerah dengan memenangkan lebih dari 50% pilkada.
Dalam teori tentang Presidentialisme, Lijphart (1992) menyatakan bahwa presiden memiliki masa jabatan yang tetap dan memiliki otoritas dalam menentukan menteri-menteri. Hal ini tergambar jelas dalam konstitusi kita. Tetapi dalam prakteknya, semua orang tahu, bukan hal itu yang terjadi. Kemenangan satu putaran menyakinkan di Pilpres tak cukup kuat untuk membawa 20% suara PD di Pileg menjadi percaya diri. Hal ini yang menyebabkan kombinasi multipartai dan presidensialisme kita tidak menghasilkan presidensialisme yang efektif (Mainwaring 1993). Hal ini juga yang membuat Cheibub (2007) menyatakan parliamentarisme lebih stabil dibanding presidensialisme, dengan mengambil studi di negara-nagara Amerika Latin.
Artinya, mempersoalkan reshuffle bisa jadi hanya sedikit singgungannya dengan kinerja para menteri, alasan yang sama ketika SBY memilih para menteri setahun lalu. Tarikan politik agar tercipta Presidensialisme yang stabil menjadi pertimbangan paling penting jika akan melakukan reshuffle. Paling banter, reshuffle hanya akan menggeser kandidat dari wakil PD di Kabinet, atau mengganti menteri tetapi tetap berasal dari partai yang sama. Kesetimbangan yang satu tahun ini telah dijaga, akan terus dipertahankan.
Namun demikian, gerak-gerik politik SBY hari-hari belakangan semakin sulit ditebak dan diprediksi. Pencalonan Timur Pradopo menjadi Kapolri, berada diluar spekulasi banyak pihak termasuk media. Setahun lalu, nama Endang Sedyaningsih juga mendadak menjadi Menkes. Paling menghebohkan adalah penunjukan Anny Ratnawati menjadi Wakil Menkeu menggusur Anggito Abimanyu.
SBY juga menunjukkan gejala kekerdilan politik karena tak berani menghadapi beberapa pilihan politik yang sebenarnya tidak beresiko. Pembatalan kunjungan di detik-detik terakhir ke Belanda dengan alasan isu RMS tak dapat dimengerti publik. Sorak-sorai justru dating dari kelompok RMS yang secara politis menang taktis dalam perang urat syaraf dengan pemerintahan Indonesia. RMS yang tidak lagi penting dalam tiga puluh tahun terakhir mendadak sukses berpromosi gratis di cover muka media nasional dan internasional. Selain merugikan hubungan bilateral Indonesa-Belanda yang cukup harmonis saat ini, akan berbeda ceritanya jika kunjungan dibatalkan sebagai wujud protes tidak adanya sanksi bagi pembuat film Fitna, yang justru perolehan suara partainya meningkat dalam pemilu terakhir. Pembatalan kunjungan dengan alasan ini, lebih dapat diterima dan akan meningkatkan dukungan politik, terutama dari pemilih Islam yang menjadi ceruk pasar penting PD.
Sangat sulit mengharapkan penggantian kabinet akan menghasilkan pemerintahan yang lebih baik jika tidak dipimpin oleh pemimpin yang visioner dan berani mengambil resiko. Menteri-menteri hanyalah kepanjangan tangan presiden sebagai head of the government dan chief of state sekaligus. Ibarat membongkar-pasang permainan anak Lego, tak banyak kreasi bisa dihasilkan ketiga Lego set nya tetap sama. Presiden berada pada setting politik kompromi yang sudah terbentuk kuat sejak tahun lalu. Pendeknya, janganlah terlalu berharap, jika tak ingin rasa kecewa menjadi semakin nyata.