Politik Hiburan Rakyat

KR, Analisis 26 Februari 2011

Jika rakyat bertanya kepada pemerintah kapan perut mereka akan kenyang, badan sehat dan sekolah terjamin, butuh waktu lama untuk menjawabnya. Perlu koordinasi lintas sektoral dan energi yang besar untuk mengatasi masalah-masalah dasar tersebut. Jawaban cepat dari pertanyaan itu adalah memberi hiburan kepada rakyat. Perut memang tetap lapar, tapi setidaknya, hati gembira dan sebentar terlupa dari kemiskinan.

Ini adalah resep lama yang sudah dipraktekkan sejak ribuan tahun lalu. Jika rakyat menuntut perbaikan taraf hidup, pemerintah menyediakan fasilitas hiburan. Kaisar Nero di Roma membangun Colloseum yang mampu menampung lebih dari 50 ribu penonton, 70 tahun sebelum masehi. Secara rutin, manusia diadu dengan manusia lain atau binatang buas. Darah merembes di lantai pasir dan sorak-sorai rakyat yang lupa akan perut mereka yang lapar. Eksebisi demi eskebisi membungkam protes atas perut yang lapar.

Ide ini mungkin coba diikuti pemerintah SBY dengan membungkam kritik dengan memberi hiburan kelas rakyat yaitu sepakbola. Sepakbola adalah hiburan murah, ditonton semua kalangan dan pada titik tertentu menumbuhkan nasionalisme. Pada final piala AFF yang lalu, laga ini ditontong tak kurang dari 80% pemirsa televisi. Jika proyek hiburan ini sukses, bisa jadi rakyat lupa perut lapar, karena Timnas menang di mana-mana. Sorak sorai kegembiraan akan membahana, media akan sebentar melupakan kasus Gayus, cek perjalanan dan sederet skandal yang menghambat bangsa ini untuk maju.

Sayangnya mesin hiburan ini sedang mogok. Rakyat tidak puas karena Timnas jarang menang. Rakyat juga geram karena PSSI dipimpin oleh orang yang pernah dua kali menjadi terpidana dengan sekretarisnya yang sepanjang masa. Pemerintah berusaha melakukan intervensi. Merebut lagi hiburan rakyat sebagai placebo kemiskinan dan carut-marutnya pemerintahan.

Tetapi menumbangkan dominasi tentu tidak mudah. Olahraga favorit ini telah lebih dulu dikuasai partai yang memimpin Indonesia sebelumnya. Nurdin Halid adalah tokoh Partai Golkar. Wakil ketua PSSI adalah Nirwan Bakrie yang kebetulan adik kandung Aburizal Bakrie, Ketua Partai Golkar. Saat ini keduanya kembali mencalonkan diri memegang kendali tertinggi.

Dua bulan sebelumnya, Andi Mallarangeng, Ketua Partai Demokrat dan Menpora, mengijinkan Liga Primer Indenesia (LPI) digelar menyaingi Liga Super Indonesia (LSI) yang diadakan PSSI. Pada laga pertama di Solo, Arifin Panigoro, pengagas LPI, duduk bersebelahan dengan Anas Urbaningrum, Ketum Partai Demokrat. Dari LPI, kita belajar banyak bahwa penguasa berusaha memberikan hiburan kepada rakyat untuk melupakan perut yang lapar.

Artinya momentum perebutan Ketum PSSI dapat dilihat sebagai proses perebutan kekuasaan antara Partai Golkar dan Demokrat. Baik PD maupun PG ingin memberikan hiburan menyenangkan yang bisa diakses semua kalangan. Jika dilihat dari kompetisi sepakbola, saat ini PD dan PG berada pada posisi yang hampir seimbang. Kedua partai terbesar di Indonesia memiliki kuasa baik di LPI dan LSI, termasuk jaringan siaran langsungnya. Hiburan yang baik penting untuk mengangkat citra, dan citra penting untuk jualan kampanye.

Tidak hanya sipil, bahkan tentara aktif pun tertarik mencicipi kursi Ketum PSSI. Jika tidak di Indonesia, akan sulit menemukan Jenderal aktif, yang juga KASAD, menjajal peruntungan di sepakbola. Pencalonan Toisutta juga sekaligus mempopulerkan namanya sebagai KASAD. Saat ini, banyak orang tidak hapal nama-nama pejabat di TNI, karena sejak reformasi, mereka memang jarang masuk berita.

Secara politik, tidak akan mudah untuk menjatuhkan dominasi Golkar dan rezim yang berakar di dalam PSSI. Orang sering tidak membedakan antara rezim dan penguasa. Rezim mengacu kepada keseluruhan tata aturan yang menguasai suatu institusi, sedangkan penguasa adalah orang yang menjalankan tata aturan itu. Bergantinya penguasa tidak berarti bergantinya rezim, walaupun pergantian rezim selalu diikuti pergantian penguasa.

Mengganti rezim di PSSI tidak sekedar dan sesederhana menurunkan Nurdin Halid. Harus ada penggantian mendasar terhadap statuta-statuta PSSI yang digunakan untuk melangengkan rezim. Dalam pengalaman demokrasi dengan konteks yang lebih besar yaitu negara, rezim seringkali hanya bisa ditundukkan dengan gerakan massa seperti yang sedang terjadi di Timur Tengah. Memang butuh lebih dari sekedar demonstrasi untuk menghibur rakyat.