Indonesia Australia Dialogue Day 1

550037_10151474396141072_929621083_nKawan di kantor, Colum Graham, buru-buru menunjukkan tarif Intercontinental Hotel Sydney begitu saya tunjukkan undangan menghadiri Indonesia Australia Dialogue. Harga termurah sekitar satu bulan gaji golongan IIIB.

Selain fasilitas hotel kelas satu yang langsung menghadap Harbour Bridge dan Sydney Opera House yang menjadi mascot Australia, peserta Indonesia Australia Dialogue ini juga kelas satu. Peserta adalah nama-nama yang sering sekali muncul di media Indonesia atau Australia. Ada mantan Menlu Hassan Wirajuda, Anies Baswedan (Paramadina/Indonesia Mengajar), Bachtiar Efendi (Fisip UIN Jakarta), Eva Sundari (DPR-PDIP), Rizal Sukma (CSIS), Abdillah Thoha (Advisor Wapres), Nadjib Riphat (Dubes), Dimas (Jakarta Post) sampai pebisnis John Riady (Lippo Group). Di pihak Australia ada Bob Carr (Menlu), Julie Bishop (Wakil Pemimpin Oposisi), John McCarthy (Mantan Dubes utk RI), Rodney Bloom (CSIRO), Stepan Creese (Rio Tinto), Andrew McIntyre (Dean at ANU), Tim Lindey (Unimelb), Mark Scott (ABC).  Jadi harap maklum jika saya sering sibuk minta foto karena semua nama-nama itu selalu muncul di TV dan berita Indonesia dan Australia. Bagi orang Jawa , penting untuk bersalaman dan berfoto sekaligus ngalap berkah, semoga kesuksesan yang diraih menular kepada saya.

Acara hari ini cukup padat, setelah afternoon tea, kami dibagi menjadi dua delegasi besar Indonesia Australia untuk mendengarkan (untuk delegasi Indonesia), penjelasan Dubes tentang kondisi terkini hubungan Indonesia Australia. Setelah itu dilanjutkan dengan pembagian peserta menjadi empat kelompok diskusi yaitu Education and Culture, Business, Science and Media. Acara dilanjutkan dengan makan malam yang dilanjutkan dengan mendengar paparan dari beberapa wakil –wakil penting.

Saat ini, dan juga dalam beberapa tahun terakhir, hubungan Indonesia Australia sedang dalam kondisi yang baik dan terus membaik, walaupun disertai dengan beberapa kejutan-kejutan. Dialog ini berusaha keluar dari isu-isu yang selama ini mendominasi berita di Indonesia dan Australia. Dialog ini bukan forum bilateral yang juga digagas kedua negara tetapi lebih berusaha mendapatkan pengertian kedua negara terkait empat isu di atas. Hasil dari dialog ini adalah rekomendasi yang idealnya ditindaklanjuti pemerintah kedua negara. Jadi walaupun dihadiri oleh orang penting di pemerintahan, dialog ini unik karena berusaha menembus kekakuan diplomatic yang mungkin ada. Tentu saja, dialog ini juga tidak berpretensi untuk menyelesaikan secara sekejap permasalahan yang selama ini muncul.

Sejak awal acara, saya merasakan semangat dalam dialog ini adalah semangat untuk menemukan solusi dibandingkan dengan membahas masalah. Masalah hanya menjadi background sekilas yang menjadi awal sebentar dari rekomendasi yang diberikan. Selebihnya, tarik ulur gagasan lebih kepada upaya untuk menyelesaikan masalah.

Secara umum hubungan Indonesia Australia memang belum menggembirakan jika kita melihatnya dalam perspektif komparatif. Indonesia yang jarak antara pulau terdekat hanya 250 km dari Australia menduduki peringkat ketiga dalam hal perdagangan setelah Singapura, Thailand dan Malaysia. Investasi Australia untuk Indonesia tidak signifikan, begitu juga sebaliknya. Nilai investasi Indonesia di Australia yang relative terbuka terhadap asing sangat kecil. Tak banyak yang memiliki peternakan sapi di Australia walaupun setiap tahun Indonesia kekurangan sapi. Bank bank besar di Indonesia seperti Mandiri, BNI, BCA dan BRI tak ada yang membuka cabang di Australia, walaupun ANZ dan Commonwealth telah banyak cabangnya di Indonesia.

Kesepahaman menjadi penting. Di satu sisi tak banyak orang Indonesia yang tahu penduduk Australia, begitu juga penduduk Australia yang lebih tahu letak Bali di peta dibanding Indonesia. Padahal, Australia adalah tetangga paling dekat setelah Malaysia dan Papua Nugini yang berbatasan darat dan Singapura. Penduduk Australia pun harus melewati Indonesia ketika berpergian kebanyak negara. Mengapa hal ini bisa terjadi?

Di dalam kelompok Education and Culture yang saya ikuti, kami dibagi menjadi lima kelompok kecil terdiri dari 4-5 orang. Di kelompok saya ada Mark Scott (ABC), Samah Hadid (Human Right Activist), Eko Saputro (Deakin/Kemenkeu) dan Iona Roy (DFAT (Kemlu Oz)). Kami berdiskusi tentang banyak hal dan menyadari bahwa selama ini kita bertetangga tetapi tak saling sapa. Buktinya, tak banyak orang Indonesia yang tahu Australia dan sebaliknya.

Dalam diskusi pleno kelompok Pendidikan dan Budaya, David Reeve dan Anies Baswedan yang menjadi Chair menyimpulkan empat isu penting. Pertama terkait dengan visa dan keleluasaan bepergian bagi dua negara. Limitasi birokratis ijin tinggal dan meneliti di Indonesia menjadi hambatan serius bagi terlaksananya program pertukaran pelajar, mahasiswa dan peneliti. Di sisi lain, walaupun travel warning level sudah diturunkan sejak tahun lalu, Australia masih sering khawatir terhadap kunjungan warganya ke Indonesia. Banyak study ekskursi bagi siswa SMP dan SMA Australia ke Indonesia gagal karena masih tingginya kekhawatiran ini.

Kedua, pemanfaatan online dan virtual communication untuk mempererat hubungan dan kesepahaman pendidikan dan budaya. Budaya Indonesia perlu lebih dikenalkan di Australia dan tidak hanya terimaginasi dengan budaya tradisional. Budaya kontemporer Indonesia kurang dikenal termasuk music dan film, begitu juga sebaliknya. Pemanfaatan IT sebagai sarana penting untuk menjembatani keterbatasan. Misalnya, kuliah bersama antara mahasiswa Australia yang belajar bahasa Indonesia dengan mahasiswa Indonesia yang juga ingin belajar bahasa Ingris. Bisa jadi ada kuliah online dengan presentasi bahasa Indonesia dengan penanggap mhs Indonesia dan presentasi bahasa inggris dengan penanggap mahasiswa Australia.

Ketiga, sharing stories. Untuk bisa dekat, kita harus saling mengenal. Saat ini tingkat pengenalan kedua negara masih sangat rendah. Perlu upaya serius untuk menyasar, tidak hanya mahasiswa, tetapi juga pemuda.

Saat makan malam, kami dibagi dalam beberapa kelompok dengan posisi yang sudah ditentukan oleh panitia. Idenya, ada dialog yang direncanakan antara delegasi antara Indonesia dan Australia. Sebelah kanan saya adalah Clement Paligaru (ABC International Asia) dan sebelah kiri saya adalah Nicholas Mark (AIYA).

Kami juga mendengar paparan dari George Megaligenis yang luar biasa tentang analisis dan kondisi Indonesia Australia. Secara ekonomi, Indonesia meningkat 9 peringkat dalam waktu 20 tahun ke posisi 16 dunia. Hanya China yang mengalami prestasi yang sama. Dalam sepuluh tahun ke depan, Indonesia akan menjadi sama atau bahkan lebih baik dari Australia yang saat ini di posisi 12 kekuatan ekonomi dunia.

 Tahun-tahun mendatang, sepertinya akan menjadi tahun-tahun bagi Asia dan sekali lagi, kesepahaman Indonesia-Australia mutlak diperlukan.

Berikut lampiran Dialog

Detail Biodata Peserta

Detail Program

Detail Paper