Pada hari kedua, Indonesia-Australia Dialogue diisi dengan dialog yang diawali dengan oleh trigger speaker yang terdiri dari beberapa tema yang dilanjutkan dengan dialog dan tanya jawab. Menlu Australia, Bob Carr memberikan sambutan untuk acara ini dan pada saat makan siang, Shadow Foreign Minister Julie Bishop dari Partai Liberal memberikan pidato setelah makan siang.
Saya ditempatkan di baris kedua dialog, walaupun justru menjadi sangat dekat dengan peserta dialog utama. Jarak saya dengan Julie Bishop di deretan depan hanya 5 meter. Sebenarnya bentuk mejanya melingkar, hanya karena di belakang pembicara utama ada podium, maka deretan ini dapat dikatakan deretan depan. MEreka yang duduk di deret ini adalah Julie Bishop, Pak Dubes, Convener (John McCarthy dan Rizal Sukma), Menlu Bob Carr dan Mantan Menlu Hassan Wirrajuda.
Acara hari kedua intinya memplenokan temuan dalam diskusi yang dilakukan kelompok kecil di hari pertama tentang Education and Culture, Science, Business dan Media. Sebelum dimulai dialog, diawali dengan trigger speech. Bedanya dialog dengan seminar adalah, dalam dialog, trigger speaker tetap duduk di posisi duduk yang sama dan setara, dan pertanyaan peserta tidak hanya ditujukan kepada trigger speaker, tetapi kepada seluruh peserta. Peserta lain juga dapat menjawab dan berkomentar terhadap pertanyaan yang diajukan. Jadi pada prinsipnya lalu lintas pertanyaan bisa kepada siapa saja.
Acara diakhiri dengan mendiskusikan rekomendasi yang terdiri dari dua rekomendasi untuk masing-masing kelompok. Dialog berlangsung seru walau tetap nyaman dan disemangati oleh keinginan untuk bekerja sama. Tetapi dialog ini tentu saja bukan pertemuan formal pemerintah di tingkat kepala negara dan menteri. Ini adalah forum non government yang dihadiri dan didukung oleh wakil dari pemerintah kedua negara. Rekomendasi yang dihasilkan akan diberikan kepada masing-masing negara untuk ditindaklanjuti.
Dialog ini juga sempat membahas beberapa isu yang penting, salah satunya tentang Papua. Pertanyaan mbak Ima dari Habibie Center tentang apa yang paling menghawatirkan bagi Australia? Pertanyaan ini dijawab oleh Andrew McIntye bahwa masalah Papua adalah masalah yang paling dikhawatirkan oleh Australia. Ditambahkannya, “Only Indonesia alone can solve Papua problems.” Di Australia, rendahnya minat untuk belajar tentang Indonesia menjadi kekhawatiran yang cukup masuk akal. Program studi Indonesia menurun drastis dalam beberapa tahun terakhir.
Dalam berbagai kesempatan dialog, walaupun didasarkan atas perasaan kesepahaman, perlintasan manusia dari Australia Indonesia dan sebaliknya menjadi tantangan. Ini salah satu rekomendasi paling penting yang disarankan di semua kelompok diskusi. Oleh karena itu, saya beranikan diri bertanya tentang kemungkinan Visa on Arrival bagi WNI ketika datang ke Australia setelah pidato makan siang Julie Bishop. Tentu saja dijawab bahwa hambatan lalu lintas manusia diminimalisir. Setelah makan siang, pak Dubes Najib Riphat mendatangi saya dan kami berdiskusi tentang upaya yang terus menerus dilakukan Indonesia untuk meminimalisir hambatan perlintasan manusia. Saat ini menurut pak Dubes, hanya ada 50 ribu WNI yang menetap di Australia diluar 17 ribu mahasiswa. Angka ini sangat kecil dibandingkan China dan India yang menurut George Megalogenis akan menjadi mayoritas di Australia dalam 30 tahun mendatang. Tetapi tampaknya butuh proses panjang untuk hal ini.
Di sela-sela diskusi, saya berbincang dengan taipan John Riady, direktur Lippo Group. Pembawaannya yang ramah membuat perbincangan cepat menjadi akrab. Katanya, dia ingin belajar political science di ANU dan berjanji memberi tahu saya jika berkunjung ke Canberra untuk study. Saya tunggu mas John.
Wawancara ABC dengan Mas Dimas, the Jakarta Post
http://www.abc.net.au/news/2013-03-01/reporting-on-indonesia/4549076ABC Australia