Jokowi Presiden?

Kedaulatan Rakyat, 6 Maret 2013

Versi PDF silakan didownload disini

berseragam-korpri-jokowi-nekat-masuk-ke-gorong-gorong-001-mudasirSalah satu cara untuk menganalisis kondisi politik Indonesia adalah dengan teori kekuasaan Jawa. Teori ini berbeda atau bahkan berseberangan dengan teori kekuasaan barat yang selama ini mendominasi

Kekuasaan Jawa sebagaimana ditulis oleh Ben Anderson (1972) berbasis kepada bentuk, asal, jumlah dan sifat kekuasaan. Orang Jawa percaya kepada kuasa yang bentuknya konkrit, berasal dari semesta yang tunggal, jumlahnya tetap dan sifatnya mutlak sehingga tidak perlu dipertanyakan legalitasnya. Kebalikannya, kekuasaan barat bentuknya abstrak, asalnya heterogen, jumlahnya bisa berubah dan selalu dipertanyakan atau menjadi subjek gugatan.

Bagi orang Jawa, kekuasaan itu bisa berada pada benda kongkrit seperti keris, tombak bahkan gamelan atau kareta kuda. Jika Barat melihat kekuasaan dicapai melalui partai politik atau organisasi, orang Jawa percaya kuasa dari Tuhan yang hanya diberikan kepada mereka yang mendapat “Wahyu Kedathon” atau pulung kekuasaan. Apabila seseorang sudah kejatuhan pulung sebagai bentuk kongkrit kekuasaan, semesta akan mengikutinya. Cepat atau lambat yang bersangkutan akan menjadi penguasa

Wahyu Kedathon ini dipercaya berada di rahim Ken Dedes, sehingga semua bayi yang keluar dari rahimnya, entah siapa bapaknya, akan menjadi penguasa Jawa saat masa Singosari. Wahyu Kedathon juga pernah mewujud dalam air kelapa milik Ki Ageng Giring yang secara tak sengaja diminum Ki Ageng Pemanahan. Keturunan Pemanahan, kita tahu, adalah penguasa Mataran Islam hingga terus menetes ke Solo dan Yogyakarta sampai saat ini. Di keraton Yogyakarta, pemegang keris Joko Piturun lah yang akan menjadi penguasa yang saat ini otomatis menjadi Gubernur DIY.

Seluruh proses itu tidak membutuhkan jawaban dari pertanyaan: mengapa? Penguasa adalah juga wakil Tuhan di muka bumi yang menjadi sumber dari semesta yang menghasilkan kesejahteraan.

Tengoklah gelar keempat raja di tanah Jawa yang tersisa, Hamengkubuwono (memangku dunia), Pakubuwono (paku dunia), Pakualam dan Mangkunegaran (memangku negara). Semuanya menjadi pusat dari segala sesuatu. Sehingga kekuasaan itu tak terbagi sehingga tak ada matahari kembar.

Menariknya, mengetahui siapa yang mendapatkan wahyu kedathon dapat dilacak dari siapa sumber atau pusat dari jagat politik dan kuasa yang tengah terjadi. Jika pada jaman dulu sumber berita selalu berada di seputaran keraton, sekarang tidak lagi. Media memainkan posisi yang sentral.

Kalau diperhatikan pemberitaan media selama enam bulan terakhir terfokus di satu politisi: Jokowi. Tanpa diminta dan dikomando, hampir seluruh awak media mengirimkan tim khusus yang memantau gerak-gerik gubernur baru. Tanpa dinyana berita seputar Jokowi selalu menarik untuk dibaca. Media yang bekerja salah satunya berdasar permintaan pasar, mau tak mau mengikuti selera pelanggannya. Saking dasyatnya pesona Jokowi, beritanya bahkan sudah merambah tidak hanya di meja politik tetapi juga di infotainment. Gerak-gerik Jokowi bahkan tak hanya menarik pemerhati politik, tetapi juga ibu-ibu penggemar sinetron dan berita kawin-mawin artis.

Sayangnya, teori politik Jawa tidak pernah membedakan dan menjelaskan lebih detail tentang bagaimana seseorang berkuasa. Artinya, siapapun yang memiliki wahyu kedathon, apapun dan bagaimanapun tetap akan berkuasa. Penguasa, yang telah mendapat wahyu kedaton, bisa menduduki kursi kekuasaaan dengan jalan kekerasan seperti Ken Arok, cara-cara damai atau bahkan dengan campur tangan pihak luar seperti Belanda.

Disisi lainnya, ketiadaan instrumen pendukung yang menjelaskan bagaimana seseorang berkuasa justru memberikan kesempatan bagi pengamat untuk melakukan prediksi. Selama ini, prediksi yang didasarkan pada kekuasan barat lebih sering gagal karena berpusat kepada instrumen dan bukan sisi filosofisnya. Sumberdaya kekuasaan, seperti partai, organisasi  professional, kekuatan material, bisa saja berubah dalam hitungan yang sangat cepat. Pada masa reformasi, instrumen politik ini bahkan bergerak dari detik per detik yang menyebabkan dukungan politik yang tak pasti.

Sebaliknya, kalau dianalisis dengan faham kekuasaan Jawa, semesta akan mendukung sang pemilik wahyu kedathon yang dianggap sebagai variable bebas, sementara instrumen politik sebagai variable yang dipengaruhi (teori barat sebaliknya).  Pemengang wahyu kedhaton yang menjadi magnet dari seluruh kuasa secara nyata akan menyerap sumberdaya kekuasaan di dalam dirinya.

Jika dilihat dari sudut pandang kuasa Jawa, Jokowi mengulangi kisah sukses SBY yang mendapat wahyu kedathon menjelang pemilu 2004. Saat itu, SBY mendadak menjadi bintang yang mengalahkan tokoh reformasi lainnya yang lebih dulu mendominasi berita. Di atas kertas dengan kalkulasi politik barat, tak mungkin Demokrat yang hanya mendapatkan 7% pemilih bisa mengalahkan Golkar dengan 21% dan PDIP 18%. Jawabannya terletak pada semesta yang mendukung pemilik wahyu kedhaton. Kita tunggu saja.

Foto by Merdeka.com