Menjewer Australia

Screen Shot 2013-11-19 at 11.05.52 PMKedaulatan Rakyat, Analisis, 19 November 2013. Download PDF

Isu terkait penyadapan terhadap Presiden, ibu negara dan lingkaran dalam istana yang dilakukan oleh Australia tahun 2009 segera mengundang kontroversi. Padahal, berhadapan dengan Australia, Indonesia memiliki banyak keunggulan secara politik dan tidak bergantung secara ekonomi.

Dalam presentasi dengan kop Australia’s Defense Signal Directorate, terlihat jelas siapa saja yang disadap. Setelah menarik Dubes Indonesia untuk Australia yang menurunkan hubungan diplomatik, apa saja keunggulan Indonesia dibanding Australia?

Pertama, pemerintahan partai koalisi (dengan Partai Liberal sebagai partai terbesar) di Australia adalah pemerintahan baru terbentuk September lalu. Setelah enam tahun tidak memegang tampuk pemerintahan, pemerintahan baru dihadapkan pada warisan-warisan kebijakan pemerintah partai buruh yang dianggap tidak popular yang menyebabkan kekalahan yang cukup signifikan.  Penyadapan dilakukan pada masa pemerintahan Partai Buruh dan dampaknya dirasakan Partai Liberal. Partai koalisi yang belum berpengalaman, masih terbata-bata membaca peta politik kawasan, termasuk hubungannya dengan Indonesia.

Kedua, bermain isu pencari suaka. Pencari suaka merupakan isu politik paling penting bagi Australia. Marty sebaiknya menghentikan sementara kerjasama terkait pencari suaka. Sudah pasti, hal ini akan menjadi goncangan terbesar politik dalam negeri Australia. Dalam masa kampanye, Perdana Menteri terpilih Tony Abott pernah berjanji untuk membeli kapal-kapal yang digunakan pencari suaka dan menempatkan lebih banyak polisi Australia untuk mengawasi perairan Indonesia dari penyelundup manusia. Kebijakan yang dianggap merendahkan kedaulatan Indonesia ini tidak pernah mendapatkan tanggapan serius dari pemerintah Indonesia. Sudah saatnya kita sedikit berwibawa menghadapi tetangga kita di Selatan.

Karena keunggulan geografis, Australia bergantung kepada Indonesia secara politik, terutama terkait pencari suaka. Indonesia sebenarnya juga merupakan korban dari adanya konflik, terutama di Timur Tengah yang diprakarsai Amerika Serikat dan sekutunya termasuk Australia. Indonesia yang menjadi negara transit terakhir sebelum ke Australia menerima dampak paling besar dibandingkan negara transit lain seperti Malaysia. Konflik itu membuat pencari suaka melampaui bahaya menuju Australia untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Pekerja kasar yang tidak membutuhkan keahlian di Australia rata-rata digaji sekitar 200 ribu rupiah per jamnya. Dengan bekerja 35 jam per minggu, dapat mengantongi bayaran hingga 20 juta rupiah per bulan. Hal ini tentu menggiurkan bagi mereka yang negaranya sedang dilanda konflik.

Mimpi terburuk Australia adalah saat Indonesia “membiarkan” para pencari suaka menyeberang menuju tujuan akhirnya. Dengan penduduk yang hanya 23 juta, Australia harus memastikan hanya menampung imigran yang “sesuai” dengan kepentingan politiknya. Dalam lima tahun terakhir, angka pencari suaka ke Australia melonjak cukup signifikan. Dua tahun terakhir, pencari suaka mencapai 17 ribu orang (DIAC 2013).

Saking pusingnya, pemerintah Tony Abott berupaya menolak seluruh pencari suaka diproses di tanah Australia dan memilih mengirimkannya langsung ke Pulau Manus dan Pulau Nauru di Papua Nugini (PNG). Tentu saja dengan kompensasi dolar yang tidak sedikit.  Setelah ditempatkan di kedua pulau tersebut, mereka selanjutnya ditempatkan secara permanen di PNG. Kebijakan ini merupakan ancaman bahwa pencari suaka tidak akan pernah tinggal di Australia.

Hanya saja, pusat detensi di kedua pulau tersebut belum dibangun untuk menampung pencari suaka dalam jumlah besar. Fasilitas-fasilitas dasar seperti pendidikan dan kesehatan belum sesuai dengan standar Australia. Selain itu, tidak ada jaminan kerjasama ini akan berlangsung untuk jangka waktu yang panjang. Jika tidak sepakat, pemerintah PNG bisa melakukan negoisasi ulang atau bahkan membatalkan perjanjian.

Penghentian sementara kerjasama pencari suaka juga meringankan beban pemerintah pusat dan daerah. Selama ini keberadaan pencari suaka yang tertangkap membuat pemerintah kesulitan karena tidak mengalokasikan anggaran sehingga kesulitan menangani pencari suaka yang jumlahnya lebih dari 5.700 orang. Sebagian dari mereka ditempatkan di rumah detensi dengan anggaran yang tidak murah.

Ketiga, Australia bukan merupakan mitra dagang yang strategis untuk Indonesia. Pada Desember 2012 hanya 2,6%  dari total ekspor Indonesia ke Australia. Sedangkan Australia hanya menyumbang 2,8% dari total impor Indonesia (DFAT Desember 2012). Bantuan Australia untuk Indonesia yang tahun ini sekitar $500 juta atau Rp. 5 triyun itu hanya 0,0033% dari APBN kita, tidak signifikan. Impor yang cukup berpengaruh bagi Indonesia hanyalah sapi dan itupun mudah didapatkan substitusinya dari negara lain, misalnya Brazil. Selain itu, kalangan peternak Australia, terutama di negara bagian Queensland pernah hampir bangkrut karena larangan ekspor ke Indonesia dua tahun lalu.

Pendeknya, secara ekonomi dan politik, Indonesia tidak pernah terpengaruh oleh tetangganya di Selatan. Namun sebaliknya, secara politik, Australia sangat bergantung kepada Indonesia terkait pencari suaka. Sudah saatnya Indonesia menjewer tetangganya di Selatan yang agak kurang ajar. Menjewernya pun mudah, dengan mengirimkan pencari suaka.