Gaji Guru, Dosen dan Ibu

Seiring dengan dinaikkannya prosentase anggaran pendidikan di APBN 2009 menjadi 224 trilyun Rupiah, hampir bisa dipastikan gaji guru dan dosen PNS akan naik. Di dalam berita-berita, harus diakui, gaji guru lebih banyak mendapat perhatian dibandingkan dengan dengan gaji dosen. Disamping jumlahnya yang jauh lebih banyak, guru memberikan pengajaran kepada setidaknya empat jenjang pendidikan dengan jumlah siswa yang banyak sekali, mulai TK hingga SMA. Sedangkan dosen “hanya” mengajar mahasiswa yang lebih terseleksi, baik secara kapasitas dan terutama financial. Semakin lama, lulusan SMA yang bisa kuliah lebih terseleksi secara ekonomi daripada kemampuan akademisnya. Setidaknya itu yang saya amati dalam 10 tahun terakhir. Oleh karena itu,  jika nasib guru lebih ramai diperbincangkan, hal ini sangat-sangat masuk akal. Di sisi lainnya, muncul banyak komentar berkaitan dengan profesionalitas guru. Apakah kenaikan gaji mampu menjamin profesionalitas guru?

Kebetulan saya berada dalam dua dunia tersebut. Ibu saya adalah guru SD di pedesaan di Kabupaten Magelang. Walaupun kami selalu tinggal di rumah milik nenek di jantung Kota Magelang, Ibu dan Bapak (yang juga PNS dinas Perikanan Provinsi Jateng yang bertugas di Kab. Magelang) belum pernah bekerja di Kota Magelang. Artinya, setiap pagi, bapak harus bermotor mengantar ibu mengajar di Kecamatan Bandongan, 10 kilomater di sebelah barat Magelang dengan turunan dan tanjakan tajam melewati sungai Progo dan kemudian  menempuh 25 kilometer ke Kecamatan Mungkid  di sebelah utara Magelang tempat beliau bekerja. Ritual ke Bandongan tetap dilakukan hingga sekarang setelah bapak pensiun empat tahun lalu. Ini belum seberapa, dulu ibu harus berjalan kaki untuk mengajar dan berangkat jam 5 subuh, melewati jembatan bambu di atas sungai progo. Karena lebar sungai Progo yang lebih dari 70 meter, jembatan bambu selalu bergoyang ketika diseberangi, termasuk rintangan ketika banjir  dan jembatan putus. Tetapi lulusan-lulusan muda dari SPG (Sekolah Pendidikan Guru), tak pernah mengeluh mendidik siswa-siswanya. Dari ibulah, saya belajar tentang idealisme dan konsistensi.

Sepanjang yang saya tahu, ibu tidak pernah mengeluh tentang rendahnya gaji guru. Bagi beliau, kehidupan guru dengan gajinya tentu lebih baik daripada orang tua siswa-siswa didiknya. Begitu seringnya ibu bercerita tentang orang tua yang tak mampu membayar BP3. Begitu sering pula ibu mendatangi sendiri rumah-rumah orang tua yang sedang kesusahan itu dengan jawaban yang nyaris sama, bapaknya buruh tidak tetap dengan penghasilan yang tidak tetap pula, anaknya banyak dan istrinya di rumah mengurusi anak-anak yang banyak itu. Beberapa kali orang tua murid yang menyempatkan diri mampir ke rumah di sela-sela bekerja menjadi buruh bangunan, tukang becak atau kuli angkut di kota Magelang dan cerita mereka juga hampir seragam, mencari solusi bagaimana agar anak mereka dapat terus bersekolah dan adakah pihak yang dapat membantu pembayaran sekolah anaknya. Sejak kecil, saya akrab dengan air mata orang tua yang ingin anaknya tetap bersekolah, ketika takdir menyempitkan berbagai pilihan yang ada. Mereka bukan orang tua yang punya cita-cita “muluk-muluk” agar anaknya menjadi sarjana. Mereka hanya ingin anaknya lulus SD dan bisa membaca dan menulis, walaupun tidak terlalu lancar. Paling tidak, setingkat diatas bapaknya yang tidak lulus SD atau ibunya yang belum pernah membayangkan bagaimana rasanya bersekolah. Jika anggaran pendidikan tahun 2009 dipatok sampai 224.000.000.000.000 rupiah, hal ini seharusnya lebih banyak dialokasikan untuk mengurangi atau menghapuskan derita para orang tua tadi.

Sebagaimana guru-guru lainnya, kehidupan keluarga guru kurang lebih sama, harus pintar-pintar mengencangkan ikat pinggang. Untuk mengatasi minimnya pemasukan keluarga, ibu berinisiatif untuk memberi les/ngelesi privat putra-putri para juragan keturunan Tionghoa di Magelang yang sudah dilakukannya sejak 28 tahun lalu. Pada tahap awal, les dilakukan secara keliling dari rumah ke rumah. Les dibagi menjadi dua sesi dengan 2 jam setiap sesinya. Sesi pertama dimulai jam 15.00-17.00 dan sesi kedua dimulai 17.00-19.00. Sesi kedua sering dimulai dari selisih waktu yang dipakai untuk jalan kaki dari satu rumah ke rumah lainnya. Tiap anak (atau kelompok anak yang terdiri dari 2-3 anak) mendapat les selama tiga hari seminggu dengan dua jam setiap harinya. Dalam seminggu kapasitas maksimal ibu hanya mampu member les pada empat anak/kelompok. Dua kelompok untuk hari Selasa, Kamis, Sabtu dan dua kelompok untuk hari Senin, Rabu, Jumat. Rintangan terbesar adalah ketika turun hujan atau jika kondisi kesehatan tidak terlalu baik. Belum lagi ini menghambat aktivitas menjadi ketua bermacam organisasi di kampung mulai PKK, PKB, Dasawisma, arisan dll. Selain itu, urat dada juga harus disabar-sabarkan menghadapi tiga anak laki-laki yang tidak bisa dibilang tidak nakal.

Sejak Pakde telah bisa membangun rumah sendiri dan pindah tahun 1990an, rumah nenek yang dulunya dibagi menjadi dua, sepertiga untuk keluarga kami dan dua per tiga untuk keluarga Pakde dan nenek, menjadi lebih lega. Beberapa saat setelah itu, les tidak lagi dilakukan secara keliling dan dilakukan menetap di rumah. Hal ini membuat les menjadi lebih efisien baik secara waktu ataupun biaya. Selain itu, jika pekerjaan dapur sedang banyak atau rapat kampung tak bisa diundur, tugas pengawasan siswa les bisa “didelegasikan” ke anak-anaknya yang kelas sekolahnya sedikit lebih tinggi. Karena hal ini pula, sejak kelas 5 SD, saya  sudah “dipaksa” mengajarkan perkalian dan pembagian pada murid les kelas 3. Mengawasi mereka membaca tulisan Jawa dan mengoreksi kesalahan spelling dalam mengarang. Tetapi walaupun berprofesi sebagai guru SD dan Guru les, ibu tak pernah member ketiga anaknya les privat. Kami dibiarkan sendiri belajar menemukan cara kami sendiri.

Ketika anak-anak mulai besar dan kakak saya mulai kuliah, ibu meningkatkan slot waktu lesnya di jam 13.00-15.00, sekejab setelah mencapai rumah sehabis mengajar di sekolah. Dengan meningkatnya berbagai kebutuhan, mengharapkan kenaikan gaji dari pemerintah sepertinya tidak masuk akal. Jangankan kenaikan gaji, mengharap hilangnya potongan gaji untuk langganan koran Suara Karya saja sepertinya mustahil. Gaji bapak selama bertahun-tahun sepertinya hanya cukup untuk membayar listrik, air dan sedikit biaya sekolah. Tidak ada fluktuasi buat penghasilan bapak selama menjadi PNS, tidak ada proyek dll. Penghasilan bapak adalah pemasukan yang paling mudah diprediksi.  Puncak pengorbanan ibu terjadi seluruh anaknya kuliah. Kakak kuliah di Unpad dan akan segera selesai, saya kuliah di UGM semester pertengahan dan adik baru diterima di STAN, ibu meningkatkan lagi slot waktunya pada jam 19.00-21.00. Artinya, ibu bekerja hampir tanpa henti dari jam 07.00 sampai 21.00 selama 14 jam sehari selama 6 hari seminggu selama 3 tahun.  Sekarangpun, saya masih merinding mengingat peristiwa itu. Alhamdulillah masa suram ini telah terlewati.

Bagaimana dengan dosen? Dibandingkan dengan guru, belajar dari pengalaman hidup guru-guru SD, menjadi dosen sepertinya tidak semenderita guru. Dosen memiliki honorarium dari berbagai aktifitasnya diluar gaji seperti mengkoreksi, menguji dan membimbing skripsi. Dosen juga memiliki lebih besar kesempatan untuk menulis dan menjadi pembicara seminar yang semuanya membuat network lebih luas dan penghasilan lebih banyak. Dosen juga masih memiliki kesempatan untuk melakukan riset, workshop dan pelatihan di berbagai tempat. Melihat berbagai “kemudahan” ini, saya kok tidak melihat pendeknya rentang antara gaji Guru II/B tidak bersetifikat (0 tahun) yang pendidikannya kira-kira diploma yang bergaji 2.070.000 rupiah dengan Dosen III/B  belum bersertifikat (0 tahun) yang pendidikannya Master/S2  bergaji  2. 260.000 rupiah  sebagai masalah.

Jika gaji guru dan dosen benar-benar dinaikkan tahun depan, bukan berarti ibu saya harus berhenti memberi les privat di luar jam sekolah dengan alasan profesionalisme. Belajar dari pengalaman ngelesi, melakukan pekerjaan lain diluar jam kerja PNS justru penting untuk mendukung profesionalisme ditengah gencarnya suara tentang sertifikasi guru dan dosen. 

Sekali lagi, seharusnya dana APBN mampu mewujudkan sekolah gratis tis tis, minimal sampai SMA.