Kedaulatan Rakyat, Analisis, 7 Feb 2014
Banyak survey menunjukkan bahwa Jokowi menempati posisi tertinggi diantara tokoh nasional yang ingin berlaga dalam pentas pertarungan presiden beberapa bulan mendatang. Hanya saja, Jokowi sulit maju jika tidak mendapatkan restu dari Megawati sebagai Ketua Umum PDIP yang memberinya dukungan di Solo dan DKI. Seberapa jauh Megawati mengambil keputusan berdasarkan survey?
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, mari kita lihat kelemahan survey random sampling (pencarian acak) yang digunakan lembaga survey. Ada dua yang cukup menonjol. Pertama, survey acak, walaupun sudah dihitung berdasarkan metode acak sesuai dengan pedoman ilmiah, pada akhirnya tetap bergantung pada surveyor di lapangan. Setiap surveyor dalam sebuah survey tatap muka harus seperti robot yang menanyakan hal yang sama dengan ekspresi yang sama untuk setiap responden. Tidak mudah untuk menjadikan semua surveyor seperti robot dan harus berinteraksi yang sama pada setiap responden. Gaya bertanya dan bahkan eskpresi surveyor dapat menjadi penggiring bagi jawaban reponden.
Kedua, efek bandwagon dan underdog (Paul Lavrakas, 2008). Efek bandwagon terjadi ketika pemilih tertarik terhadap kandidat yang tinggi perolehan berdasarkan survey. Sementara underdog efek sebaliknya, pemilih menjadi tidak tertarik terhadap kandidat yang rendah perolehannya dalam survey. Survey menggiring pemilih untuk memilih atau tidak memilih sesuatu, dan bukan merupakan ekspresi netral dari pemilih sendiri.
Megawati bukanlah sosok yang mudah tergiring oleh survey. Beberapa keputusan politik Megawati dalam tiga tahun terakhir, sama sekali tidak memperhitungkan survey. Pertama, keputusan untuk mencalonkan Jokowi-Ahok dalam Pilgub DKI. Jokowi-Ahok adalah kandidat ayam sayur jika dibandingkan dengan Foke-Nara yang merajai semua survey. Foke malah diprediksi menang hanya dalam satu putaran. Nyatanya, hanya dengan 18% kursi di DPRD DKI, PDIP dan Gerindra sukses mengantarkan Jokowi menjadi Gubernur DKI, mengalahkan petahana.
Kedua, majunya Ganjar-Heru dalam Pilgub Jateng. Popularitas Ganjar-Heru tentu kalau berkilau dari petahana Bibit-Sudijono, atau bahkan kalah terang jika dibanding Rustriningsih-Garin yang gagal dicalonkan PDIP. Toh akhirnya, Megawati mengambil keputusan tepat untuk mencalonkan Ganjar.
Ketiga, mencalonkan non-kader PDIP, Tri Rismaharini sebagai walikota Surabaya 2010 berpasangan dengan mantan Walikota Bambang DH. Risma, birokrat karier yang tak tertarik menjadi walikota, menyentuh hati Megawati. Walaupun diwarnai Pilkada ulang, toh Risma akhirnya disebut-sebut sebagai walikota terbaik.
Keempat, pencalonan Puspayoga-Sukrawan untuk Pilgub Bali dan Rieke-Teten di Pilgub Jabar. Walaupun keduanya kalah di dua pilgub tersebut, kekalahan keduanya diwarnai kuatnya dugaan suap MK. Rieke konon diminta 8 Milyar oleh ketua MK Akil Mochtar jika ingin menang. Sementara, kekalahan Puspayoga yang hanya 982 suara, agak aneh tak diiringi pilkada ulang di beberapa daerah yang diindikasi terjadi kecurangan.
Apa yang menjadi pertimbangan Megawati mengambil keputusan politik yang sulit diperhitungkan tersebut? Pertama, Megawati adalah Ketua Umum partai paling senior di Indonesia. Dia menduduki posisi Ketum PDI dan PDIP selama 21 tahun sejak 1993 dalam Kongres Luar Biasa PDI di Surabaya. Mega tahu betul karakter dan kekuatan PDIP di setiap wilayah Indonesia. Sehingga dalam pasang surut 21 tahun, Megawati lebih mengandalkan pengetahuannya sebagai Ketum PDIP daripada survey. Contoh nyata dari pengetahuannya terhadap kekuatan kader PDIP terbukti ampuh Pilkada Jateng.
Kedua, Megawati pernah menjadi ancaman bagi penguasa Orde Baru (1993-1996) dan menjadi pesaing terberat SBY (2004 dan 2009). Mega faham betul momen-momen yang tepat untuk menonjolkan kandidat presiden bagi PDIP untuk menghindari serbuan lawan terhadap siapapun kandidat dari PDIP.
Ketiga, survey-survey banyak yang tak bisa dipercaya dan menjadi jalan bagi motif politik bagi sekelompok golongan. Banyak survey yang mengabdi kepada pemesannya. Bahkan survey yang dikeluarkan Indikator (sayap profit Lembaga Survey Indonesia) yang selama ini dipercaya, cukup meragukan. Survey pada November 2013 menunjukkan bahwa jika PDIP mencalonkan Jokowi sebagai capres, perolehannya melesat menjadi 37,8% dan hanya 14,4% jika tidak mencalonkan Jokowi. Padahal target pemilu 2014 versi Rakernas PDIP September 2013 hanya 27% suara.
Perolehan tertinggi PDIP diraih pada 1999 sebanyak 33,75%. Perolehan setinggi itu disertai dengan segenap kebencian kepada Orde Baru dengan seluruh energi ekstra tinggi untuk perubahan rezim. Rasanya sulit membayangkan PDIP dapat memperoleh suara diatas 30% hanya dengan mengandalkan sosok Jokowi.
Di Jakarta sana, ada aktor politik yang tengah menyusun agenda politik dengan menaikkan popularitas Jokowi dan PDIP sebagai bagian dari bandwagon effect. Megawati tahu betul hal itu sehingga dia tak buru-buru mencalonkan Jokowi sebagai capres PDIP.