Berjilbab di Australia

php0c1bwzPMBagaimana rasanya berjilbab di Australia? Negara “kafir” dengan hanya 2% penduduknya yang beragama Islam. Negara dimana mereka yang tidak percaya Tuhan lebih banyak daripada yang percaya. Ini cerita anak saya yang kedua, yang berjilbab di sekolahnya.

Sejak datang ke Australia untuk yang kedua kalinya pada Mei 2013, kami tinggal di daerah muslim di Wiley Park, satu stasiun setelah Lakemba yang dijuluki the Muslim Capital of Australia. Anak saya sekolah di Wiley Park Public School yang mayoritas muridnya beragama Islam. Beberapa gurunya juga berjilbab. Di SD ini, dia punya banyak teman yang berjilbab, jadi tak beda jauh dengan teman-temannya di Al Azhar Yogya.

Dua bulan kemudian, karena berbagai sebab, terutama karena jaraknya yang jauh dari kampus ibunya di UNSW, kami memutuskan untuk pindah di daerah Timur Sydney di Randwick. Dengan pindah rumah, Ibunya bisa jalan kaki ke kampus dan saya, saat di Sydney, bisa menumpang di perpustakaan UNSW. Selain lebih efisien, lokasi baru lebih strategis untuk banyak hal, mulai dari kampus, kota, pantai sampai makanan Indonesia.

Anak-anak kemudian pindah ke salah satu SD Negeri terbesar di bagian Timur Sydney, di Randwick Public School. Di Randwick PS jumlah muridnya ada 819 orang tersebar mulai TK sampai kelas 6 (K-6). Selain SD negeri favorit, perpustakaan Randwick PS terbaik, baik untuk SD negeri dan Swasta, tidak hanya di Sydney bahkan untuk seluruh NSW, ini claim Parent Coordinator waktu ada Parents’ meeting beberapa waktu lalu. Daerah Timur Sydney, walaupun banyak orang Indonesia, adalah daerah lama yang didominasi orang barat, dengan budaya barat, tidak seperti di bagian Barat yang relative lebih heterogen.

Sayangnya, kekecewaan sudah datang sejak awal mula. Pada kolom pilihan agama siswa, tidak ada pilihan agama Islam. Pilihan terdekat bagi anak saya adalah belajar ethics. Bagi kami yang Islam, ini tentu pilihan yang lebih baik daripada Anglican, Jews, Non-Scripture, Catholics, Budha dan Hindu. Di kelas ethics, anak saya akan belajar tentang etika dan sopan santun, bagaimana berperilaku yang mengutamakan orang lain. Ini perilaku Islami yang mudah ditemukan di Australia yang sayangnya tak mudah ditemui di Indonesia. Bule-bule yang tak pernah sholat itu berprilaku “Islami” dengan memberi tempat duduk pada orang tua dan ibu hamil, atau menahan pintu sampai orang berikutnya masuk. Hubungan antar manusia begini layak untuk dipelajari dan dicontoh.

Kekecewaan berbuntut kekhawatiran ketika anak saya yang kedua, waktu itu masuk ke Year 3 atau kelas 3, tetap ingin berjilbab ketika masuk sekolah. Ada perasaan was-was menjadi minoritas. Setelah kami tanya berkali-kali, dia tetap mau memakai jilabnya ke sekolah, seperti waktu di Wiley Park PS. Ya sudahlah, Hanya Allah yang dapat memberikan pertolongan. Jadilah dia satu-satunya diantara sekitar 400 murid perempuan yang berjilbab di sekolahnya.  Pada hari pertama di sekolah itu, 6 Agustus 2013, adalah salah satu hari yang paling mendebarkan bagi kami orang tuanya. Sebelum berangkat sekolah, kami sudah mempersiapkan jawaban yang kira-kira baik dan masuk akal jika ada teman-temannya yang bertanya. Pertama karena memang dia mau memakainya dan kedua karena itu sesuai perintah agama Islam.

Ketika pulang sekolah, pertanyaan pertama kami kepadanya bukan “How was your new school?” tetapi “Apa respon teman-teman dan guru ketika kamu berjilbab? Apakah mereka bertanya?” Saat melihat respon wajahnya yang biasa-biasa saja ketika pulang sekolah, kami cukup senang. Dia juga bercerita bahwa ada satu-dua temannya yang bertanya tentang jilbabnya, yang dijawabnya dengan tepat.

Hari-hari berikutnya tentu tidak kalah mendebarkan, walaupun tidak semendebarkan hari pertama. Dua, tiga, empat hari terlewati dengan baik dan seterusnya terasa biasa saja. Sampai sekarang, dia adalah satu-satunya murid berjilbab di Randwick PS.

Australia dan orang-orang Australia menurut saya, adalah orang-orang  yang cukup bertoleransi pada minoritas. Istri saya, bahkan memutuskan untuk berjilbab pertama kalinya ketika tinggal di Melbourne tahun 2003. Di sini kita akan temukan orang yang berekspresi sesuai dengan keinginan mereka, mulai berbaju sampai hampir tidak berbaju, mulai sopan sampai penuh tattoo dan berambut warna-warni. Orang tidak dinilai dari baju yang mereka kenakan, tapi dari sesuatu yang dilakukan sesuai bidangnya.

Pertanyaannya, apakah ada yang sinis terhadap jilbab? Tentu saja ada, namun jumlahnya tak banyak. Beberapa kali, tidak sering, kami mendaptkan perlakuan dan tatapan mata yang berbeda karena berjilbab. Tapi bisa jadi juga itu cuma perasaan saja sebagai minoritas. Orang-orang ekstrim tentu saja ada di hampir setiap jengkal bumi. Di Indonesia, orang-orang mengkritik mereka yang memadukan jilbab dan mode dengan sebutan “jilbib”, yang menunjukkan betapa minimnya jilbab digunakan sembari menuding jilbib itu tidak sesuai syariat Islam. Bagi yang kebetulan lewat di Universitas Islam Indonesia dan melihat mahasiswanya berjilbab sambil berbusana sangat ketat, mereka menyebutnya Universitas InsyaAllah Islam dan lain sebagainya.

Pertanyaanya, apakah waktu kita akan kita habiskan untuk meladeni kaum-kaum sinis seperti ini? Kalau saya, tentu saja tidak sambil memohon pertolongan Allah Subhanahu Wataala semoga dijauhkan dari kaum model ini.

Tetapi, cerita di Australia mungkin berbeda dengan di Indonesia, setidaknya dari kesulitan remaja muslim di Bali mengenakan Jilbab seperti dikupas tempo berikut ini.