Pada kunjungan pendek bulan ke Yogyakarta, saya sempatkan melihat Museum Suharto yang dibangun di bekas rumah kediaman Pak Harto di Kemusuk Sedayu Bantul, Yogyakarta pada 2 Februari 2014 lalu. Berikut ini adalah reviewnya.
Jalur menuju ke rumah masa kecil Pak Harto yang ayahnya seorang pengatur air di desa itu, mudah dicapai dari Yogyakarta. Setelah melalui Ring Road ke arah Purworejo, mudah untuk belok ke kanan dan menelusuri jalanan lebar menuju komplek museum. Jalanan yang lebar menuju desa Kemusuk ini secara jelas menunjukkan bagaimana jalan tersebut sengaja “dilebarkan” saat Pak Harto berkuasa, kontras dengan umumnya jalan desa yang sempit. Di sisi kiri dan kanan jalan, masih terpampang banyak tempat untuk memasang bendera. Saya membayangkan, tempat bendera ini pasti dulunya berjejer mengiringi kunjungan sang Presiden, dengan umbul-umbul Golkar menyertainya
Waktu saya datang, puluhan murid SD sedang tekun mendengarkan liputan tentang Pak Harto selama memimpin Indonesia dalam TV besar yang diputar di Pendopo. Kilasan sejarah itu dikemas dalam 10 menit video yang cukup menarik, tentu saja tentang sudut pandang Orde Baru.
Begitu masuk ke Museum, seperti sudah saya duga, dibuat dua peristiwa politik penting yang menjadi kekuatan Pak Harto selama ini yaitu Serangan Umum 1 Maret dan Gerakan Tigapuluh September 1965. Seluruh energi museum seolah digunakan untuk dua hal tersebut. Capaian ekonomi Pak Harto justru terkesan menjadi minor dibandingkan dengan diorama dan presentasi dua peristiwa politik tersebut.
Setelah Pak Harto jatuh, banyak buku yang menggugat peran Pak Harto sebagai PENCETUS IDE Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta. Versi lain dari peristiwa tersebut adalah Sri Sultan HB IX lah yang sebenarnya mencetuskan ide serangan umum. Dalam versi Pak Harto, Pak Harto mendengarkan siaran radio internasional yang kemudian memunculkan ide baginya sebagai Komandan Brigade X/Wehrjreis III untuk melakukan Serangan Umum dengan menduduki Yogyakarta, ibukota negara selama 6 jam. Di Museum, ada diorama yang apik yang menegaskan versi Pak Harto ini. Versi ini dikuatkan dengan pembuatan film Janur Kuning yang menjadi tontonan wajib semasa Orba.
Versi lainnya menyebutkan, Pak Harto, yang menyamar menjadi abdi dalem, menghadap Sri Sultan HB IX di keraton Yogyakarta untuk mendapatkan perintah terkait Serangan Umum untuk dikoordinasikan dengan Panglima Sudirman yang bergerilya. Itulah satu-satunya momen Pak Harto bertemu HB IX terkait Serangan Umum. Ide Serangan Umum datang dari SHB IX dan Pak Harto hanyalah operator lapangan. Sri Sultan HB IX tidak pernah mau mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi sampai akhir hayatnya.
Fokus kedua dari Museum adalah Gestapu yang membawa Pak Harto menjadi presiden. Tentu saja dengan dramatis menampilkan foto para jenderal, termasuk Ade Irma, yang sangat indah dengan patung kaca gantung. Pengunjung diberi suguhan kekejaman PKI yang membantai enam jenderal itu. Tak lupa, bumbu khas gaya Orba yang berlebihan, jika dilihat dari buku klasik A Preliminary Analysis of the October 1, 1965, Coup in Indonesia. Selain itu, versi Pak Harto ini tentu saja tidak mengikutsertakan pembantaian PKI yang diperkirakan memakan korban sekitar 500.000 nyawa. Sebuah tragedy terbesar bangsa Indonesia modern.
Saya yang membaca Kompas sejak Januari 1965- Agustus 1966 di Menzies Library menunjukkan bagaimana peristiwa tersebut sempat membuat Kompas menghentikan terbitan pada tgl 2-4 Oktober 1965. Semua orang dilanda kebingungan waktu itu, apakah ini merupakan pemberontakan PKI seperti yang dibangun Orba atau konflik dalam internal Angkatan Darat yang melibatkan tokoh-tokoh PKI? Seberapa parahkan cidera kaki Nasution sehingga dia absen dari momen-momen penting bangsa di awal Oktober 1965 yang justru membuat Pak Harto taktis memimpin contra-coup? Satu hal pasti, contra-coup sudah dilakukan oleh Umar Wirahadikusumah, Pangdam Jaya, jam 6 pagi begitu menerima telepon dari Nasution yang bersembunyi di Kedutaan Irak, sebelah rumahnya.
Pendeknya, Museum ini seolah digunakan sebagai proses pembelaan dan justifikasi sejarah atas posisi tersudut yang dialami Pak Harto pasca 1998. Sementara capaian Pak Harto secara ekonomi dan politik (walaupun dengan biaya social besar) hanya menjadi pemanis saja. Museum ini kurang mampu menampilkan Pak Harto sebagai “Bapak Pembangunan” karena berfokus pada posisinya sebelum menjabat Presiden. Museum tak mungkin menampilkan seluruh kisah hidup Pak Harto, tetapi menurut saya, mengenang Pak Harto lebih baik dengan lebih menampilkan perannya ketika menjadi presiden misalnya membangun SD Inpres, KB, pertumbuhan ekonomi, Swasembada beras, petani yang sejahtera karena waduk dan irigasi, sampai Kotak Pos 5000 dan kunjungan “incognito” nya, bukan dengan menonjolkan perannya yang kontroversial sebelum menjadi presiden.