Catatan Pemilu Legislatif 2014

 

Screen Shot 2014-04-11 at 6.03.14 PM

Kedaulatan Rakyat, 11 April 2014

LUAR biasa. Selamat kepada seluruh rakyat Indonesia. Demokrasi Indonesia melangkah ke satu level yang lebih tinggi. Insiden yang cukup menghawatirkan tidak terjadi. Walaupun berbeda, simpatisan partai saling menghargai dan menghormati perbedaan pendapat. KPU bekerja lebih baik dibandingkan 2009.

Juga menarik ketika pemilih Indonesia semakin setia dengan pilihannya karena semakin terkonsolidasi pilihan terhadap partai politik yang jumlahnya kian  rasional. Masing-masing partai telah memiliki basis massa yang relatif cukup solid dengan tidak ada yang mencapai 20% suara. Persaingan semakin setara yang menggambarkan realitas Indonesia yang beragam.

Realita yang dipaparkan quick count ternyata mengungkap bila ‘Jokowi effect’ yang diharapkan memenangkan PDIP lebih dari 20% sehingga bisa mengusung pasangan capres sendiri tidak terjadi. Justru ‘Prabowo effect’ yang mampu menaikkan suara Gerindra lebih dari kali lipat dan ‘Rhoma effect’. Inilah yang membuat hadirnya kritikan ke Puan Maharani, Ketua Bappilu PDIP yang kurang mampu menjual figur Jokowi untuk menaikkan suara PDIP. Penggemar Jokowi tidak mampu dikonsolidasikan untuk memilih PDIP.

Tidak kalah menarik dicermati adalah  dua partai yang tersangkut isu korupsi, perolehannya menurun. Paling parah penurunan dialami Partai Demokrat yang kehilangan 12% pemilih. PKS, diluar dugaan hanya kehilangan sebagian kecil pemilihnya dibandingkan dengan Pemilu 2009.

Ada fenomena baru dimana KB mampu menaikkan suaranya hampir dua kali lipat. Ada beberapa faktor yang mungkin berpengaruh.  (1). PKB mampu mengonsolidasi pemilihnya yang sebelumnya tersebar di beberapa partai yang tidak lolos verifikasi seperti PKNU. (2). PKB cerdik memilih vote getter, yaitu Rhoma Irama untuk golongan tua dan Ahmad Dhani untuk pemilih muda. (3). Hadirnya Rusdi Kirana, pemilik Lion Air yang suntikkan dana cukup besar ke konstituen PKB di Jawa Timur. (4). Konstituen sudah lupa terhadap konflik Muhaimin-Gus Dur.

Suara PKB terus turun  sejak 1999. Salah satu sebabnya adalah konflik internal. Selain itu, Rhoma sepertinya hanya digunakan untuk menjadi vote getter di pemilu legislative (pileg) dan tidak melaju ke capres.  Mahfud MD lebih layak ditawarkan PKB menjadi cawapres.

Ada lima partai Islam (PKB, PKS, PAN, PPP dan PBB) mampu mencapai 31%, meningkat dari perolehan 2009 sejumlah 26% suara. PBB yang berusaha untuk mengembalikan kejayaan Masyumi di Pemilu 1955 gagal masuk ke parlemen untuk kedua kalinya.

Jika bicara koalisi walaupun kecil, ada kemungkinan munculnya koalisi berbasis ideologi yaitu sekuler nasionalis (PDIP), moderat nasionalis (Golkar, Demokrat, Gerindra, Hanura, Nasdem dan PKPI) dan Islam (PKB, PKS, PAN, PPP dan PKB). Kemungkinan ini kecil karena ideologi semakin memudar sejak Pemilu 1999 dan dibuktikan dengan ratusan koalisi di pemilukada. Partai berkoalisi untuk menang dengan kalkukasi politik, bukan kalkulasi ideologi.

Perlu mendapat perhatian, pemilih yang indekos di Demokrat tahun 2009, setelah sebelumnya indekos di beberapa partai tahun 2004 dan di PDIP tahun 1999, menyebar ke beberapa partai nasionalis, terutama Gerindra dan Nasdem. Di luar dugaan, pemilih yang percaya untuk memilih partai yang mengusung kandidat yang disukai ini, tidak lari ke PDIP karena figur Jokowi. Namun Nasdem sebagai pendatang baru yang mengejutkan. Capaiannya sama dengan Demokrat tahun 2004 yang mengusung figur SBY.

Nasdem mampu mengambil hati pemilih dari Demokrat, padahal figur Surya Paloh tidak terlalu kuat. Bisa jadi ada pemilih yang memberi ruang kepada partai-partai baru untuk tumbuh, hal ini baik bagi demokrasi. Kemungkinan lainnya adalah kuatnya organisasi Nasdem dan mungkin faktor Metro TV. Walaupun sebenarnya kita melihat televisi ternyata tidak terlalu memperngaruhi pemilih. TV One tidak mampu menaikkan suara Golkar dan MNC Group (RCTI, Global, MNC) hanya menaikkan suara Hanura 1,5%.

Adalah fakta, dua partai yang belakangan menjadi peserta pemilu yaitu PBB dan PKPI tidak lolos ke Senayan. Terdapat 2,5% suara sah atau sekitar 4 juta suara hangus. Jika empat juta suara ini dihitung akan setara dengan 10 kursi DPR. Terbukti, keputusan KPU lebih masuk akal dengan tidak memasukkan kedua partai tersebut. Dan pemilu  membuktikan ketangguhan PKS sebagai partai kader. Walaupun digempur dengan isu korupsi dan dibumbui isu perempuan, hanya kehilangan kurang dari satu persen pemilih.

Terakhir, lembaga-lembaga survei salah memrediksi perolehan partai-partai Islam secara berulang sejak akhir 2013. Jika salah hanya sekali, masih bisa ditoleransi, jika berulang tentu ada persoalan sistemik. Hampir semua lembaga survei memrediksi PKS, PAN dan PPP tidak melewati 3,5%. Pilihan lembaga survei seperti ini hanya dua: jika mengabdi kepada rupiah untuk mengharapkan bandwagon dan underdog effect, segera bertobatlah. Jika murni kesalahan metodologi, segeralah buka kembali buku-buku metode kuantitatif.