Pelajaran dari Jembatan Timbang

Screen Shot 2014-05-14 at 5.53.38 PMAnalisis Kedaulatan Rakyat, 14 Mei 2014

TEMUAN Gubernur Jateng Ganjar Pranowo soal pungli di jembatan timbang patut diapresiasi. Hanya saja langkah itu saja tentu belum cukup untuk mengatasi persoalan menahun. Setelah otonomi daerah, banyak daerah berlomba-lomba meningkatkan pendapatan daerah, salah satunya dengan memaksimalkan denda di jalanan.

Langkah itu tentu tidak salah. Di beberapa kota di Australia seperti Sydney dan Melbourne, denda parkir dan pelanggaran di jalan raya merupakan salah satu instrumen pemasukan daerah yang cukup signifikan. Dendanya pun luar biasa menguras kantong, minimal ratusan dolar bahkan sampai ribuan dolar. Sistem denda juga dibuat terintegrasi dengan ‘STNK’. Sehingga jika tidak membayar denda, justru bisa berujung penjara. Denda digunakan sebagai instrument, bukan tujuan akhir.

Tetapi seringkali, pemimpin daerah terjebak karena hanya menjadikan peningkatan PAD sebagai tujuan utama tanpa tahu makna peraturan. Misalnya, pemerintah memberikan pajak dan cukai tinggi untuk rokok dengan tujuan utama untuk mengurangi konsumsi rokok, bukan untuk menambah pemasukan negara. Jika tujuan akhir hanya untuk menambah pemasukan, pemerintah akan memromosikan rokok, karena semakin banyak orang merokok, semakin banyak pemasukan.

Jembatan timbang tidak terlepas dari peluang sesat fikir yang sama. Tujuan diadakannya jembatan timbang adalah agar kendaraan tidak mengangkut muatan berlebihan. Hal ini berbahaya, tidak hanya untuk sopir truk, tetapi juga untuk pengguna jalan lainnya yang berpotensi menjadi korban akibat rem blong. Denda adalah instrumen agar tujuan keselamatan jalan tercapai. Selain itu, dampak paling nyata adalah kerusakan jalan yang bisa jadi nilai kerugian ekonominya sangat besar. Setiap tahun dan tanpa berhenti, jalur Pantura diperbaiki, tetapi setiap saat pula kerusakan terus terjadi. Karena muatan lebih terus-menerus menggerus jalanan Pantura.

Idealnya di setiap jembatan timbang disediakan gudang yang menampung kelebihan muatan kendaraan. Kendaraan yang telah melewati jembatan timbang tidak lagi kelebihan mautan. Itulah sejatinya tujuan utama jembatan timbang. Hanya saja, selain sulit, berapa banyak gudang yang harus disiapkan kerena begitu banyaknya kendaraan yang tidak mengindahkan beban kendaraan?

Kelemahan penegakan hukum jembatan timbang di Indonesia dimanfaatkan semua pihak, mulai produsen kendaraan, pengguna kendaraan dan konsumen produk. Produsen kendaraan mendesain kendaraan dengan kerangka yang kuat yang bisa bertoleransi dengan muatan lebih yang bahkan bisa mengangkut dua kali lebih banyak dari beban yang disyaratkan mencapai puluhan ton. Desain kendaraan ini seiring dengan permintaan pengguna kendaraan. Produsen beradaptasi dengan permintaan dan kebutuhan pengguna kendaraan.

Pengguna kendaraan bisa menekan biaya transportasi sehingga pada akhirnya bisa menjual dengan harga lebih murah daripada jika memuat sesuai ketentuan. Pada akhirnya, konsumen akhir produk senang menikmati produk lebih murah, padahal sejatinya risiko sosial dan ekonominya lebih besar yang ditanggung pemerintah sebagai penyedia jalan dan masyarakat pengguna jalan terkait risiko di jalan.

Beberapa hal mungkin bisa menjadi pertimbangan terkait jembatan timbang. Pertama, mengubah pola pikir dari memaksimalkan pendapatan menjadi keselamatan berkendara. Instrumen ekonomi seperti penetapan tilang dan kerumitan administrasi karena harus bersidang di tempat pelanggaran dilakukan agar bisa mendorong pengusaha angkutan untuk memenuhi ketentuan beban. Sopir akan enggan untuk mengangkut beban yang pada akhirnya merepotkan mereka.

Kedua, mendorong penggunaan kereta api untuk angkutan logistik sehingga bisa memaksimalkan jalur ganda kereta api Jakarta-Surabaya yang baru saja diselesaikan. Denda akan membuat pengusaha secara ekonomis didorong untuk mencari alternatif angkutan yang lebih murah. Di negara-negara maju, kereta api menjadi moda transport utama jalur logistik. Kereta api menjamin ketepatan waktu dan keamanan selain bebas macet dan banjir. Hanya saja, saat ini di Indonesia, selain jaringan dan pergudangan yang terbatas, secara ekonomis belum membuat pengusaha berganti ke kereta api, salah satunya karena praktik ngemel di jembatan timbang.

Ketiga, perubahan dan penegakan hukum bukan urusan sesaat yang hangat-hangat tahi ayam. Gerakan penghentian ngemel jembatan timbang, harus dilakukan terus menerus dan melibatkan pemerintah daerah seluruh wilayah. Terakhir, siapkah kita, sebagai konsumen akhir, membayar lebih mahal?