Kedaulatan Rakyat, Analisis, 11 Juni 2014
Seolah menjawab keraguan publik, Jokowi-JK mendominasi acara Debat Kandidat Capres sesi pertama dengan tema Pembangunan Demokrasi, Pemerintahan yang Bersih dan Kepastian Hukum. Sebaliknya, Prabowo-Hatta yang tampil cantik di tiga sesi pidato sebelumnya saat deklarasi pasangan, pengambilan nomor dan deklarasi kampanye damai tampil kurang mengesankan.
Sebelum acara debat, Jokowi-JK tampil tanpa polesan. Pidatonya sepotong-sepotong dan menghilangkan momen-momen penting untuk mendapat simpati public. Saat menerima amanat dari PDIP dan terutama saat deklarasi, pidatonya tanpa persiapan dan kurang makna. Pada acara pengambilan nomor, Jokowi justru dipanggil Bawaslu karena dilaporkan mencuri start kampanye saat memperkenalkan nomor urut. Prabowo, tampil cukup impresif dengan gaya orator yang baik, dan menimbulkan simpati.
Hanya saja, dalam debat capres pertama ini ada beberapa catatan yang menarik. Pertama, tema debat kali ini secara hitungan di atas kertas adalah tema yang menguntungkan Jokowi-JK. Jokowi berpengalaman menjadi kepala daerah dan JK berpengalaman menjadi wakil presiden. Dalam debat ini terlihat bagaimana Jokowi fasih berbicara, tidak hanya tentang visi misi, tetapi juga strategi kongkrit untuk mengatasi persoalan. Ketika ditanya tentang tidak sinkronnya kebijakan pusat dan daerah, Jokowi menjawab dengan mudah bahwa masalahnya terdapat di politik anggaran. Begitu juga pertanyaan terkait pemilukada.
Sebaliknya, tema ini kurang menguntungkan kubu Prabowo-Hatta. Walaupun Hatta tampil sangat baik dalam menjawab dan menguraikan persoalan, waktu sering kali lebih didominasi Prabowo yang banyak berbicara tentang retorika. Selain itu, tema terkait kepastian hukum akan menyudutkan Prabowo terkait peristiwa 1998.
Kedua, pertanyaan yang dilontarkan masing-masing kandidat tidak seimbang. Pertanyaan dari Prabowo terkait pemilukada yang menelan biaya besar sampai 13 trilyun, sangat mudah dijawab oleh Jokowi yang telah sembilan tahun menjadi kepala daerah. Parahnya lagi, jawaban Jokowi-Hatta bukan dibalikkan oleh Hatta yang justru malah mengamini jawaban kubu seberang. Pada pertanyaan terkait syarat dan kriteria pemekaran, Prabowo justru memberikan kata-kata kunci seperti jumlah penduduk, luas wilayah, kemampuan ekonomi daerah, yang membantu Jokowi menjawabnya.
Sebaliknya, JK menanyakan pertanyaan yang menohok Prabowo terkait pelanggaran HAM yang sudah menjadi kampanye negatif sejak awal deklarasi. Pertanyaan yang sama sudah diajukan moderator dalam format yang lain yang tidak dijawab Prabowo. Sayangnya, Prabowo terlihat emosional menjawab pertanyaan “mudah” ini. Suaranya bergetar cukup terasa sehingga Jokowi meredamnya dengan mengatakan Prabowo terlalu bersemangat. Pertanyaan terkait HAM untuk Prabowo adalah pertanyaan yang sudah diajukan ratusan kali dan hampir pasti akan diajukan dalam debat capres. Seharusnya, Prabowo dapat dengan mudah menjawab pertanyaan ini. Untungnya, Prabowo tampak cepat kembali menurunkan emosinya ke level normal.
Ketiga, Jokowi terlihat lebih melakukan persiapan dibandingkan Prabowo. Bahkan, terlihat jelas bagaimana “contekan” Jokowi terpampang cukup lama diluar jasnya. Belakangan ramai di twitter yang mengatakan itu adalah contekan doa Jokowi dari ibu, padahal ukuran kertasnya terlihat berbeda. Pada sesi terakhir saat pidato penutup, Jokowi bahkan membaca baris demi baris kertas contekannya. Sebaliknya, tim Prabowo kurang bisa menghadirkan pertanyaan yang “menggigit” untuk kubu Jokowi. Salah satu blunder terbesar Prabowo ketika dia mengatakan akan kembali ke UUD tgl 18 Agustus 1945. Hal ini jelas mencederai semangat reformasi. UUD sebelum amandemen pernah digunakan Sukarno tahun 1959-1965 dan Suharto 1966-1998 untuk menjalankan pemerintahan otoriter.
Prabowo sebenarnya punya keunggulan potensial dibandingkan Jokowi. Dengan basis pendidikan modern, seperti terlihat di berbagai wawancara dalam Bahasa Inggris dan Indonesia, Prabowo lebih bisa menyajikan gagasannya secara lebih terstruktur dan komprehensif dibanding Jokowi. Sejak masih muda, Prabowo sudah dilatih untuk berbicara di depan publik, misalnya sejak berpangkat letnan dua pada usia 20an, Prabowo sudah berbicara dengan anak buahnya yang pangkatnya lebih rendah, paling tidak dalam apel-apel rutin. Pada saat itu, Jokowi masih sibuk dengan amplas, meja dan kursi.
Potensi dan kelebihan Prabowo inilah yang harusnya ditonjolkan dalam debat capres yang menjadi puncak bagi seluruh perjuangan politiknya selama ini. Sayangnya, modal dasar Prabowo seperti kurang muncul dalam debat pertama.
Jokowi sadar betul dengan kelemahannya yang tampil kurang meyakinkan di depan publik dan mendengarkan nasihat tim kampanyenya secara mendalam. Dia dan JK cukup efektif berbagi peran. JK menjadi penyerang Prabowo yang efektif sementara Jokowi lebih bertugas memaparkan ide dan gagasan.
Hanya saja, kampanye masih panjang. Materi debat tentang Ekonomi atau Ketahanan Nasional mungkin akan lebih menguntungkan Prabowo-Hatta karena pengalaman Prabowo di militer dan Hatta di ekonomi makro. Satu hal yang pasti, debat capres bukan hanya tentang bagaimana performa dan kapasitas individual pasangan capres dan cawapres tetapi juga memperlihatkan kesolidan tim kampanye masing-masing pasangan.