Ponari

Di Jombang, gara-gara menemukan batu berbentuk belut setelah hampir disambar petir, Dukun tiban Ponari (9 tahun) setiap harinya dikunjungi ribuan orang untuk berobat. Pada hari Minggu 8/2/2009, “pasien” Ponari diperkiran mencapai 30 ribu orang. Hitungan ini didasarkan pada kupon antrian yang dibagikan. Sudah ada empat orang meninggal di lokasi. Saya tergelitik untuk menulis kasus Ponari berkaitan dengan mindset bangsa Indonesia saat ini, terutama berkaitan dengan decision making processes. Jangan-jangan, kita sering salah melangkah karena asumsi dan ekspektasi kita yang keliru dalam melihat sebuah fenomena.

Jika anda sering menonton pertandingan sepakbola Liga Indonesia, anda bisa membayangkan betapa banyaknya angka 30 ribu itu. Dua minggu yang lalu, saya menonton acara Inagurasi Australian of the Year yang diisi antara lain oleh pidato PM Kevin Rudd dan pementasan musik, sehari sebelum Australia Day. Penonton diperkirakan 30 ribu orang. Luar biasa banyaknya angka itu. Dalam hajatan terpenting di Australia ini, “hanya” 30 ribu orang yang hadir. Saya tidak bisa membayangkan jika jumlah itu terkumpul setiap hari.

Sekian banyak orang, berkerumun setiap hari di rumah desa milik orang tua Ponari, tentu bukan kategori Berita Tidak Penting seperti yang ada di posting terdahulu. Politik angka menjadi penting, mengingat angka tersebut bukan hasil dari sebuah rekayasa, tapi hadir dalam sebuah keadaan sadar dan tanpa mobilisasi. Hal ini menunjukkan mindset bangsa Indonesia sekarang ini. Khususnya di bidang kesehatan.

Pembangunan bidang kesehatan menjadi isu penting di seluruh Indonesia. Saya berani menjamin, propaganda para Caleg yang pasti selalu didengungkan adalah penyediaan dan pembenahan di sektor kesehatan. Memajukan Pendidikan dan Kesehatan merupakan dua hal penting yang menjadi tonggak bangsa ini untuk maju. Keduanya merupakan basic public services yang harus dipenuhi pemerintah. Ini asumsi dasar kita orang-orang “rasional”.

Jangan-jangan pengambil kebijakan salah menentukan asumsi. Ternyata, yang dibutuhkan oleh masyarakat Jombang dan Jawa Timur bukanlah modernisasi Puskesmas, dengan menambah unit laboratorium, dokter berpengalaman dan ruangan rawat inap. Yang dibutuhkan ternyata hanya sekedar sebuah sugesti. Kasus Ponari menempeleng pengambil kebijakan khususnya di sektor kesehatan. Masyarakat tidak percaya pada instutusi kesehatan yang dengan susah payah dibangun dengan dana tidak sedikit.

Saya pernah meneliti tentang peran sosial Dukun Bayi di beberapa daerah di Bantul. Salah satu temuan riset itu berkaitan dengan status Dukun Bayi yang dianggap penting di masyarakat rural. Ia menempati status sosial yang terpandang. Sekedar bukti, setelah gempa mengguncang Yogyakarta, rumah dukun bayi salah seorang responden adalah rumah pertama yang “didirikan” kembali dan selanjutnya menjadi posko penting pernyaluran pertolongan korban gempa. Walaupun praktek pertolongan persalinan jauh berkurang seiring dengan program pemerintah menghapus dukun bayi (setidaknya hal itu yang ada di benak Bidan di Desa /BDD), peran sosialnya tetap nyata.

Jangan-jangan, yang dibutuhkan bangsa Indonesia bukan dokter ahli lulusan luar negeri, bukan pula bidan trampil hasil belajar keras di akademi. Yang dibutuhkan ternyata, Dukun Cilik dan Dukun Bayi….

Saya hanya ingin merenung…..:idea::idea::idea: