Bahasa Inggris, Politik Dunia

Minggu ini, hampir seluruh penerima beasiswa ADS (Australian Development Scholarships) akan mengikuti ujian IELTS (International English Language Testing System), baik itu untuk kelas persiapan 6 bulan, 3 bulan, dan 8 minggu, hanya kelas 9 bulan yang akan ujian 3 bulan lagi. IELTS terbagi menjadi empat materi utama, yaitu Listening (40 Soal), Reading (40 soal), Writing (2 Tasks) dan Speaking (3 tahap). Biasanya seluruh materi itu diujikan dalam satu hari, sekitar 3 jam. Tapi untuk ujian kali ini, terbagi menjadi dua hari, mungkin karena kebanyakan peserta yang ikut.

 

Walaupun sudah dua kali mengalami EAP (English for Academic Purposes), pertama di IALF Bali selama 6 bulan atas beasiswa CIDA (Canadian International Development Agency) dan kali ini 8 minggu atas beasiswa AusAid yang menyatu dalam skema ADS, bahasa Inggris buat tetap merupakan bahasa yang asing. Lebih karena materi tes yang diberikan tidak mampu secara jujur melihat kemampuan bahasa Inggris calon mahasiswa. Oleh karena itu, saya beruntung mendapat teacher Wendy Sahanaya, expert di bidang ini dan khusus diterbangkan dari Curtin, Perth Australia untuk mengajar kelas kami selama 8 minggu, dan setelah itu, kembali lagi ke Perth. Beliau lebih mempersiapkan kami untuk study di Australia dengan memberikan materi tentang bagaimana cara menulis yang baik dibandingkan dengan IELTS dan ini akan terasa lebih bermanfaat.

 

Bahasa Inggris menjadi bahasa International yang dipakai secara akademik belum genap 200 tahun. Pada abad ke 17, bahasa inggris tidak memberikan gengsi kepada para peneliti dan ilmuwan. Seluruh penemuan penting pada abad tersebut sampai pada awal abad 20 ditulis dan didiskusikan dalam bahasa latin. Selain memberikan kerahasiaan terhadap hasil temuan, bahasa latin juga digunakan untuk menyeleksi tingkat social waktu itu.

 

Pendeknya bahasa menentukan siapa bergaul dengan siapa, bahasa adalah social control. Bahasa inggris menjadi bahasa universalis lebih karena bahasa itu mampu mencampuradukkan seluruh bahasa yang ada di dunia dalam proses adaptifnya. Sampai saat ini, mirip dengan bahasa Indonesia, bahasa inggris tidak pernah dapat ditemukan penutur aslinya (native speaker katanya). Tidak ada yang berani menunjuk hidung sendiri bahwa seperti inilah bahasa inggris “yang sesungguhnya” atau asli. Bahasa inggris memberikan ruang bagi seluruh bahasa untuk masuk menjadi bagiannya, seperti kata durian dan rambutan. Sehingga bahasa Inggris selain adaptive juga selalu berubah, sesuai dengan dinamika social yang berubah di dunia. Pendeknya, bahasa inggris seperti kapitalisme, membuka pintu (kalau perlu mengajak) seluruh orang untuk masuk walaupun dalam ritme bahasa inggris. Bahasa Inggris mencengkeram hampir seluruh umat di dunia ini ketika dipakai lebih dari 1,8 milyar (Bahasa China 1,1 milyar). Mau tidak mau suka tidak suka, harus belajar bahasa Inggris untuk dapat bersaing. Walaupun sekali lagi, jauh lebih mudah daripada menghapalkan skrip tulisan China.

 

Di dunia ini, banyak standar untuk menentukan kemampuan bahasa Inggris seseorang, duopoly terbesar adalah TOEFL dan IELTS. TOEFL terutama dipakai di Amerika dan IELTS dipakai di Inggris, Australia dan beberapa negara Eropa. Negara-negara yang memakai IELTS sebagai standar masih mau menerima TOEFL, walaupun Amerika menolak IELTS. Dari bacaan pendek ini saja, sudah jelas tergambar bagaimana perang budaya dan politik antara Amerika dengan Anglo Saxon terasa jelas di system bahasa Inggris. Duopoly tes tersebut juga menggambarkan bagaimana politik dunia bermain. Soal TOEFL, seperti juga Amerika, hanya menawarkan multiple choices kepada candidat yang ikut tes. Tidak ada essay dalam TOEFL, semuanya serba terbatas. Amerika juga tidak pernah memberikan pilihan bagi negara untuk mengembangkan ideologinya. Semuanya harus demokrasi katanya, variasinya terbatas hanya pada demokrasi liberal, demokrasi deliberatif, demokrasi radikal, demokrasi representative dan demokrasi partisipatif. Pendeknya tetap memakai kata demokrasi.

Pada sisi lainnya, IELTS lebih memberikan ruang bagi kandidat. Ada banyak variasi soal, mulai multiple choices, filling the gap, filling the form, heading macthing, dan lainnya. Inggris dan Australia juga sepertinya memberi banyak pilihan bagi Indonesia, tapi tetap saja, semakin banyak pilihan semakin besar kemungkinan salahnya. Jadi walaupun maksudnya benar tapi spellingnya salah tetap saja salah. Maksud kita benar dengan jajak pendapat di Timor Timur, tapi karena sosialisasi kita salah dan kurang, Australia yang untung, walau tentu saja dengan dalih yang dibuat masuk akal.

 

Terakhir, Universitas Amerika menolak IELTS dan universitas di Australia dan Eropa masih menerima TOEFL. Mengapa??? Jelas karena Amerika tidak mau tunduk pada negara manapun. Sedang Inggris dan Australia, tentu saja tidak punya pilihan atas tawaran Amerika. Berapapun banyak yang menentang, toh kedua negara ini mengirim tentaranya ke Irak. Pendeknya, English testing system bukan hanya sekedar testing tapi lebih sebagai cermin politik dunia…

 

Anehnya hanya ada satu bahasa yang tidak pernah berubah dari hampir 14 abad yang lalu, yaitu bahasa Arab. Selain sebagai bahasa yang paling sulit dipelajari, bahasa Arab tidak pernah berubah, baik secara struktur, pengucapan, penulisan dll. Artinya buku tulisan dalam bahasa Arab yang ditulis Al Ghozali lebih dari 10 abad lampau akan dipahami secara sama oleh orang yang membacanya baik saat ini maupun ketika buku itu pertama kali ditulis. Bedanya lebih kepada setting sosial saja. Hal ini menjawab pertanyaan saya ketika temen-temen saya di Montreal dulu meminjam Fabel bahasa Arab yang ditulis tahun 1300-an di perpustakaan Islamic Studies McGill University, yang konon salah satu perpustakaan kajian Islam terbaik yang terletak di Barat. Agak susah saat ini membayangkan membaca boekoe edjaan lama jang sampeolnja soedah kekoening-koeningan, dengan paham betoel isinja. Konon katanya, tidak adanya perubahan di bahasa Arab ini menjadi bukti Al Qur’an tetap terjaga.

 

Walau demikian, guru saya di Bali dulu, Steve Bolton pernah menulis di papan tulis yang diambil dari penulis terkenal, “the limits of my world are the limited of my language”. Dan sepertinya, tidak ada pilihan selain berjuang untuk belajar bahasa Inggris lebih baik.

 

84 Replies to “Bahasa Inggris, Politik Dunia”

  1. You are really a true writer, Bayu :p
    Tiap momen bisa diabadikan dlm tulisan!
    Salute, friend!
    Keep it up ya :p

  2. alhamdulillah akhire sadar…makane bentuk perlawananku nganggo bikin2 konperensi tanpa dasi, tanpa bahasa inggris walo pesertanya lintas benua…dan..muatannya gojeg kere..sepakat ra? 😛 dan bentuk perlawanan yg lain, aku meninggalkan bicara aktif boso inggris, walo tetep menyimpan kemampuan bahasa pasifnya..nek ketemu bule biar sono yg belajar boso indonesia opo jowo…termasuk ora sido yang2an ama si bule jerman 😛 😛 😛
    wis kapan mulih yojo? 😀

  3. Dua tahun lalu, Sosiolog UI Erry Seda bercerita saat baru kembali dari kunjungan belajar bersama Anggota Parlemen Inggris yang perempuan. Dalam satu dialog, salah satu anggota parlemen bertanya dengan sinis kepada anggota parlemen lainnya. “Di satu pulau kecil di Kutub Selatan, sekelompok orang di sana sekarang menggunakan bahasa Inggris,” demikian salah satu pernyataan anggota parlemen itu.

    Tahu apa maksud sindiran itu? Bahwa penjajahan bangsa Eropa telah sampai mengubah salah satu kebudayaan lokal yang paling dasar: bahasa. Jadi tidak saja membawa pulang kekayaan alam bangsa terjajah, bahasa pun mereka rubah. Selebihnya, benarlah ungkapan Bayu, bahasa Inggris lebih mencerminkan politik dunia.

    Kalau mengenai bahasa Arab, menurut istriku yang mendalaminya sampai saat ini, bahasa Arab juga dinamis, banyak yang berubah. Dan bahasa Arab Al-Qur’an berbeda dengan bahasa Arab yang kita ketahui menjadi bahasa masyarakat di Jazirah Arab saat sekarang. Itulah makanya ada buku yang diterbitkan Mizan mengenai Belajar Mudah Bahasa Al-qur’an. Orang Arab pun kalau tidak belajar, belum tentu bisa memahami seperti kyai-kyai dari Banyuwangi.


    Bayu Dardias,
    Sebagai orang yang tidak mengerti bahasa Arab, agak terlalu berani memang menuliskan kalimat tersebut. Thanks atas infonya. Keterangan tentang tidak berubahnya bahasa Arab didapatkan dari Wawancara dengan Ja’far Umar Thalib, bekas pimpinan Laskar Jihad di perpustakaannya pada Desember 2005. Waktu itu, aku membantu riset Takeshi Kohno dari GRIPS, Tokyo di Yogyakarta
    .

  4. terimakasih bayu. saya senang. ini mungkin tulisan terbaikmu dari yang pernah saya baca, ho3.

  5. selamat ya mas bayu
    lulus ADS salah satu obsesi ku
    aku coba ikut ads tahun ini.tapi sayangnya belum lulus…dan gak dipanggil interview sama sekali
    aku penasaran…sebenarnya apa kriteria kelulusannya ? (kabarnya ad 4000an pelamar tahun ini)
    memang sih nilai yang aku punya (IPK, TOEFL) dari syarat2 yang ditentukan agak pas2an (pokoknya lolos untuk bs ngirim lamaran)
    mungkin diprioritaskan untuk para dosen ya?
    kira-kira mas bayu punya saran gak?

    Bayu Dardias,
    Setiap tahun memang rata2 4600 pelamar ADS. Tapi gak papa, bisa dicoba lagi. Mungkin pilihan isunya harus sesuai dengan pilihan ADS yang berganti tiap tahun. Kalau utk Ph.D memang lbh banyak buat dosen, tapi kalau utk master sepertinya tidak.
    Beberapa tips sudah saya tulis di milisbeasiswa@yahoogroups.com atau di milisbeasiswa.com.

  6. tapi kalo ditimbang-timbang lagi..melihat peringkat terkahir ugm dari 400 kampus di dunia kayaknya kuliah S2 di UGM pun cukup menjanjikan ..

    Bayu Dardias,
    Tapi sepertinya harus dilihat lagi kriteria pemeringkatannya hehehehe.

  7. emang pemeringkatannya seperti apa?
    kalo di malaysia gmn ?

    Bayu Dardias
    Maksud saya, setiap ranking memiliki kriteria penilaian. Cek juga kriterianya dan bukan hanya rankingnya, tapi kalau UGM terbaik di Indonesia, siapa sih yang meragukan hehehe…

    Prinsipnya sih, mau sekolah di mana saja, asal punya akses buku dan bacaan yang baik, tetep bisa pinter juga. Walaupun sekolah di Uni bagus tapi males jg goblok juga. Saya banyak menemukan orang lulusan Uni bagus yang ‘gak bunyi’ dan lulusan uni biasa, bahkan gak mutu tapi cerdas luar biasa. Tergantung orangnya sih..

  8. Yu, selamat lah kau ke australi. ngambil apa? di universitas mana? s2 ato s3?

    Bayu Dardias
    alhamdulilllah ditunggu kabarnya akhirnya muncul juga 🙂 Aku kuliah Master lagi di Master of Public Policy, Crawford School of Economics and Government, The Australian National University (ANU) Canberra. Matur nuwun tanggapannya, ditunggu kabarnya di milis 🙂

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.