Minggu ini, akhir oktober 2007, minggu terakhir di Jakarta, dua orang teman mengajak bertemu. Teman pertama adalah teman sekelas di Interdisciplinary Islamic Studies-Social Work dan yang kedua kakak kelas ketika di Jurusan Ilmu Pemerintahan. Posting kali ini akan membahas tentang kesan bertemu kedua orang tersebut.
Teman pertama saat ini bekerja di salah satu lembaga international di Jakarta yang berpusat di Jenewa. Tidak mengherankan memang, teman ini bisa bekerja di lembaga Internasional. Sejak masih kuliah dulu, yang bersangkutan memang rajin menulis buku.
Saya banyak belajar dari teman ini. Walaupun kemampuan bahasa inggrisnya tidak terlalu istimewa, dan tidak pernah kuliah jurusan sastra Inggris, temen kita satu ini berhasil menulis buku yang membedah jeroan TOEFL dan IELTS. Buku-buku TOEFL nya menjadi best seller di hampir seluruh toko buku. Beberapa minggu sebelum bertemu, ketika jalan-jalan di sebuah toko buku di Mall Ambasador, buku TOEFL nya telah mengalami metamosposis sempurna, lebih lengkap dan hebatnya lagi, tetap best seller. Buktinya, bukunya dipajang di jajaran buku laris Gramedia. Teman kita satu ini mengajarkan bahwa menulis buku ternyata butuh kemampuan melihat pasar, merangkum ide dan menciptakan buku menjadi menarik. Pendeknya, idealisme saja tidak cukup. Selain itu, tesisnya yang berkisah tentang Rekonsiliasi PKI dan NU di tahun-tahun setelah 1965 sudah diminta untuk diterbitkan, hanya saja yang bersangkutan masih harus belajar untuk membagi waktu mengedit bukunya.
Hal lain yang mengesankan adalah fasilitas yang didapatkannya dengan menjadi pekerja international. Karena terikat dengan perjanjian international, yang besangkutan tidak otomatis tunduk pada hukum nasional ketika bertugas. Temen kita ini dianggap sebagai warga kelas dunia, sehingga wajar jika asuransi kesehatan yang didapatkannya untuk seluruh keluarga adalah dapat berobat di Rumah Sakit manapun, kelas apapun dan dimanapun di seluruh dunia. Untungnya dia tidak lantas jalan-jalan seperti banyak pejabat kita. Selain karena masih dikaruniai tubuh yang sehat, dirinya masih kental dengan kultur NU-nya yang membuatnya tetap istikomah.
Temen kedua bekerja di KPK, yang kantornya hanya 20 meter dari tempat kursus di IALF. Sebagai pegawai salah satu lembaga yang paling ditakuti di negeri ini, tentu saja hanya orang pilihan yang bisa berkarya di sana, plus dengan kode etik yang sangat ketat. Sebagai ilustrasi, tidak ada temen kosnya yang tahu dirinya pegawai KPK. Dirinya juga tidak memiliki kartu nama. Menurut temen kita ini, pernah, tiga orang dipenjara karena memakai kartu nama KPK untuk memeras orang, ”temenku pegawai KPK” katanya.
Di KPK, cerita temen kita ini, beberapa divisi dibagi secara terpisah. Salah satu divisinya adalah PI (Pengawasan Internal) yang tugasnya mengawasi pegawai KPK sendiri. Walaupun berada dalam satu gedung bekas sitaan bank kredit macet (yang mbuh kapan duitnya kembali), pegawai lain tidak boleh masuk dan bahkan tidak kenal dengan divisi PI. Pendeknya sebisa mungkin temen kita yang kedua ini tidak pernah tahu kalau dirinya diawasi. Jadi, untung saja kode etiknya tidak memperkenankan saya untuk membayari buka puasa kami, pilihannya cuma dua, Bayar Sendiri atau Membayari. Tentu saja temen saya ini tidak tega saya mengambil pilihan yang pertama .
Dari obrolan sederhana, tertarik setidaknya dua kisah masa kecil yang membuat korupsi susah diberantas. Pertama Kancil dan yang kedua Timun Mas.
Lho kok Kancil???
Kancil adalah sosok cerdik dalam dunia dongeng anak Indonesia, mirip dengan rubah di negara lain. Cerita kancil dibuat berseri dengan melibatkan satu atau lebih tokoh antagonist, misalnya Kancil dan Harimau, Kancil dan Buaya, Kancil dan Gajah, Kancil dan Ular dan yang paling fenomenal adalah Kancil dan Pak Tani.
Kancil dan Buaya misalnya, bercerita tentang keterdesakan kancil pada saat dikejar Harimau yang menjadi korban “kecerdikannya” di pinggir sungai. Kancil berikrar bahwa dirinya bersedia dimangsa buaya sembari menyuruh buaya berbaris rata memanjang di sungai agar tidak berebut daging kancil. Barisan ini membentuk jembatan di air sungai. Sembari menghitung, kancil meloncati punggung buaya satu per satu. Setelah sampai di ujung sungai, kancil melompat dan melarikan diri. Buaya terpedaya dan hanya menjadi jembatan bagi kancil.
Kancil dan Gajah bercerita tentang ”kecerdikan Kancil” berbohong kepada Gajah tentang langit yang akan runtuh. Pada saat itu, Kancil terperangkap di dalam lubang. Percaya dengan cerita kancil, Gajah pun masuk ke lubang. Dengan mengunakan tubuh gajah sebagai tangga, kancil meloncat keluar lubang.
Kancil dan Pak Tani berkisah tentang kancil yang selalu mencuri timun (baca:ketimun) Pak Tani yang ditanam setiap musim. Tidak kehilagan akal, Pak Tani kemudian memakai perangkap untuk menangkap kancil. Kancil tertangkap dan dengan kecerdikannya, sekali lagi dia bebas.
Cerita Timun Mas berkisah tentang orang tua yang tidak memiliki anak. Keduanya kemudian berjanji kepada Raksasa yang memberinya anak perempuan tetapi harus diserahkan kembali ke raksasa setelah 17 tahun kemudian. Orang tua menyanggupi dan membesarkannya dengan penuh kasih sayang. 17 tahun kemudian. Raksasa menagih janji. Tetapi bukannya gadis yang didapatkannya, dirinya tewas setelah Timun Mas melarikan diri dengan dibekali senjata berupa jarum (yang menghambat Raksasa dengan menjadi hutan bambu), biji semangka (yang menjadi Semangka dan membuat Raksasa melepas dahaganya), Terasi (yang menjadi rawa berlumpur), dan Garam (yang menjadi lautan yang akhirnya menenggelamkannya).
Pada cerita Kancil dan Timun Mas, keduanya adalah tokoh protagonist. Tokoh antagonist pada kancil adalah harimau, gajah, ular, buaya dan pak tani. Tokoh antagonist pada Timun mas adalah Raksasa. Kedua cerita tersebut, jika dicermati lebih jauh, membuat korupsi semakin susah diberantas. Betapa tidak, Kancil adalah penipu dan pencuri. Kancil hidup dengan berbekal kemampuannya menipu dan mencuri. Demikian pula dengan Timun Mas.
Kita memahami tokoh protagonist justru Timun Mas dan Orang Tuanya yang ingkar janji. Tokoh yang beramanah dengan janji (walaupun berwujud raksasa), justru harus mati tenggelam di Laut. Sejak kanak-kanak, kita ditanamkan untuk hidup dengan mencuri dan menipu. Sejak belia kita ditanamkan agar lebih baik ingkar janji. Segala cara sebisa mungkin dilakukan untuk ingkar janji. Tidak ada ruang bagi Pak Tani yang bersusah payah menanam timun dalam barisan cerita yang indah. Yang tersisa, justru ruangan untuk pencuri yang menjadi judul sekaligus bintang. Mencuri itu cerdik, menipu itu cerdik. Ingkar janji itu indah.
Maka jangan heran jika bangsa ini:
-
Menjadi bangsa Indomie, yang mau semuanya serba instan, tak ada yang menghargai usaha Pak Tani.
-
Koruptor di seluruh instansi, bukankah koruptor menggunakan kecerdikannya, sebagaimana kancil mencuri timun Pak Tani?
-
Penipu memenuhi senayan, bukankan pemilu hanya ”jembatan buaya” sementara, untuk mencari seberang yaitu 5 tahun berikutnya
-
400 trilyun lebih BLBI, dari total 600 Trilyun, tidak terbayar, bukankah kita diajarkan untuk tidak pernah menepati janji. Segala cara harus dilakukan untuk menghindar dari janji. Bahkan kalau perlu, pemberi janji harus mati.
-
Menipu untuk kepentingan diri sendiri, tidak peduli dengan nasib yang lain, sebagaimana cerita Gajah dan Kancil.
Sehingga, semoga dua orang kawan saya tersebut tetap istikomah, yang hanya menganggap Kancil dan Timun Mas adalah cerita suram masa lalu, seperti juga anda…………