Seandainya Mendagri (benar) dari Sipil

Jawapos 21 Okober 2009

SEANDAINYA Gamawan Fauzi benar-benar menjadi menteri dalam negeri untuk periode 2009-2014, hal ini merupakan terobosan besar. Tidak hanya dalam dinamika politik Indonesia, tetapi juga manajemen pelayanan publik. Apa saja yang dapat dibaca dari pencalonan itu?

Kedudukan Mendagri sangat strategis karena akan menjadi atasan langsung 33 gubernur, 398 bupati, dan 93 wali kota di seluruh Indonesia. Implementasi otonomi daerah bergantung, salah satunya, kepada kepiawaian Mendagri. Manajemen pemerintahan daerah di tingkat nasional dirumuskan dan dijabarkan oleh Depdagri. Di tingkat lokal, operasionalnya dilakukan oleh kepala daerah.

Walaupun telah bertransisi menuju demokrasi, reformasi sistem birokrasi pemerintahan pada level eksekutif belum mampu mengikuti cepatnya perubahan yang terjadi pada tataran legislatif. Sistem birokrasi pemerintahan masih menganut pola birokrasi kuno model Weberian yang membayangkan birokrasi sebagai satu-satunya aktor dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.

Sebaliknya, pada tingkat partai, pemilu, dan parlemen, dinamika yang terjadi sangat cepat. Tampilnya tiga partai politik sebagai pemenang dalam tiga pemilu adalah buktinya. Tanpa perubahan yang nyata dalam sistem pemerintahan daerah, agenda reformasi akan pincang dan tersendat-sendat.

Dalam kasus Mendagri baru, dua terobosan penting kabinet SBY jilid II adalah dominasi sipil atas militer di pemerintahan dan cara pandang efektivitas pemerintahan yang meninggalkan cara pandang NKRI.

Pertama, SBY telah menembus kekakuan model pemerintahan dengan kuatnya pengaruh militer sejak 1964. Seluruh Mendagri pada zaman Orde Baru selalu diberikan tidak hanya kepada TNI Angkatan Darat, tetapi sekaligus juga lingkaran dekat Pak Harto. Mendagri pertama Orba adalah Amir Machmud yang menjadi saksi kunci Supersemar. Seluruh menteri penggantinya memiliki pengalaman teritorial yang signifikan di TNI-AD. Waktu itu, Mendagri dilihat sebagai “jatahnya” TNI-AD.

Menariknya, tradisi itu dilanjutkan setelah reformasi karena ancaman disintegrasi dan kekacauan sistem pemerintahan yang berasal dari tiga hal: tuntutan merdeka Aceh dan Papua, konflik horizontal di daerah-daerah, dan desentralisasi. Lemahnya posisi negara (weak state) pada fase awal reformasi, memaksa presiden menunjuk Mendagri yang tetap berlatar belakang TNI-AD.

Hal itu dilakukan karena posisi Mendagri masih dianggap sebagai benteng penting untuk mempertahankan ancaman terhadap NKRI. Benteng NKRI tersebut memakai tiga jenis strategi, yaitu pemekaran, otonomi daerah, dan otonomi khusus. Pemekaran Irian Jaya menjadi Papua dan Papua Barat adalah contoh upaya pelemahan tuntutan Papua Merdeka. Selain itu, NKRI dipertahankan dengan memberikan titik pijak otonomi daerah di tingkat kabupaten/kota dan bukan di provinsi, seperti yang lazim berlaku di negara federal. Akan sulit bagi kabupaten/kota menjadi negara terpisah jika dibandingkan dengan provinsi. Sumber daya alam dan manusia di tingkat kabupaten/kota tak cukup digunakan sebagai modal sebuah negara. Selain itu, bagi daerah dengan posisi tawar untuk merdeka yang sangat tinggi, diberilah opsi otonomi khusus seperti di Papua dan Aceh. Tiga strategi tersebut menjadi kewenangan Mendagri.

Kedua, penunjukan Mendagri sipil menandakan bahwa persoalan NKRI dianggap selesai dan menuju kepada pelayanan publik yang lebih maksimal. Dalam kacamata manajemen pelayanan publik, Indonesia tengah bertransformasi dari model Weberian ke modelĀ new public management (NPM).

Model Weberian membayangkan negara memegang monopoli terhadap pelayanan publik. Kajian itu menekankan pada prosedur, struktur, jenjang karir, dan pelayanan yang sama (impersonal). Weberian lebih melihat ke dalam pemerintahan.

Model itu lambat laun digantikan dengan kajian NPM yang menggeser monopoli pelayanan publik ke arah yang lebih pro- pasar yang melihat ke luar. Pelayanan publik dipandang mirip dengan perusahaan yang melihat persaingan sebagai ciri penting. Oleh karena itu, banyak sektor pelayanan yang diprivatisasi agar mampu bersaing dengan swasta. Bagi NPM, efisiensi adalah kunci memberikan pelayanan yang baik.

Tantangan ke depan di pemerintahan daerah adalah bagaimana mengubah model Weberian yang lambat menjadi lebih efisien dan responsif. Birokrasi yang berbelit-belit harus dihilangkan digantikan dengan pemanfaatan maksimal teknologi. Selain lebih efisien, teknologi dapat meminimalisasi terjadinya korupsi karena transaksi tidak terjadi antarmanusia, tetapi antara manusia dan mesin.

Terpilihnya Gamawan juga memberikan nuansa baru tahap karir pimpinan daerah di Indonesia. Selama ini, hampir tidak ada kaitan antara bupati, gubernur dan Mendagri. Ketiganya merupakan komponen terpisah dan tidak berhubungan. Keberhasilan menjadi bupati tidak serta-merta dapat memenangkan pemilihan gubernur. Berpengalaman memimpin provinsi tidak langsung berpeluang menjadi Mendagri.

Selain itu, jabatan di tingkat lokal -terutama gubernur- lebih sering merupakan karir selanjutnya setelah sukses berpentas di tingkat nasional. Keterkenalan di tingkat nasional menjadi modal memenangkan pilkada. Menjadi nomor satu di tingkat lokal masih merupakan obsesi politisi dan birokrat nasional. Terlalu banyak contoh untuk hal tersebut.

Gamawan yang pernah menjadi salah satu bupati terbaik, kemudian menjadi gubernur Sumbar dan menjadi Mendagri memiliki tantangan besar untuk membuktikan reputasi positifnya selama ini. Mendagri baru dituntut untuk melihat persoalan dalam perspektif nasional dengan kacamata yang lebih lebar dengan mengambil pengalaman lokalnya selama ini. Semoga harapan itu dapat terwujud