Kedaulatan Rakyat, Analisis, 18 November 2009
Selama dua tahun tinggal di Canberra, ibukota Australia, tidak pernah kata “Indonesia” menghiasi berita nasional Australia sebegitu intensif selama sebulan terakhir, kecuali berkaitan dengan isu imigran gelap.
Imigran pencari suaka (asylum seekers) deras mengalir ke Australia sejak pemerintahan Kevin Rudd mulai bekerja di akhir 2007. Dibandingkan dengan pendahulunya John Howard, Kevin Rudd menerapkan soft policy (yang lebih memudahkan) bagi imigran untuk menjadi warga negara. Pencari suaka dari negara-negara konflik seperti Afganistan, Pakistan, Iraq dan Sri Lanka menjadikan Australia negara tujuan karena dianggap “paling murah” secara finansial dibandingkan dengan kawasan Eropa, Amerika atau Kanada.
Indonesia turut terseret dalam pusaran isu ini karena posisi geografisnya yang menjadi “jalur” para imigran tersebut. Umumnya, para imigran membayar calo penyelundup manusia melalui jalan darat dan udara sampai ke Malaysia. Setelah itu mereka melanjutkan perjalanan laut dengan kapal seadanya menuju Christmas Island di ujung barat laut Australia untuk diproses lebih lanjut menjadi Permanent Resident (penduduk tetap) di mainland. Beberapa imigran lain yang putus asa, kekurangan uang dan tak kenal calo, menjelajahi Samudra Hindia, plus segala resikonya.
Saat ini, tak sedikit WNI yang dihukum lebih dari lima tahun karena tergiur uang imigran yang jumlahnya mencapai 100 juta/orang. Beberapa menggunakan cara-cara yang sangat brutal. Setelah tertangkap patrol AL Australia dengan tujuan ke mainland April lalu, kapal pengangkut diledakkan yang akhirnya “memaksa” korban ledakan ditempatkan di mainland. Cara putus asa ini memudahkan proses imigrasi selanjutnya karena yang bersangkutan telah sampai di mainland.
Rudd menjadi bulan-bulanan media setelah 78 ethnic Tamil Sri Lanka yang diangkut kapal Australia Oceanic Viking menolak turun. Imigran tersebut ditolong karena kapalnya rusak dalam upaya ke Christmas Island. Seandainya pun mereka bersedia turun, kritikan tetap ada karena kemungkinan 5 anak-anak yang akan ditempatkan di balik jeruji. Tanjung Pinang, saat ini adalah daerah paling terkenal di Australia.
Dalam pertemuan dengan SBY pada saat pelantikannya, Kevin Rudd menghimbau agar Indonesia lebih serius menangani imigran gelap. Indonesia diharapkan menjadi benteng pelindung bagi imigran agar tak masuk Australia. Sebagai kompensasinya, Indonesia dijanjikan tambahan bantuan $A 50 juta untuk mengurusi isu ini, diluar bantuan rutin sebelumnya. Kevin Rudd menyebutnya sebagai “Indonesian Solution”. Indonesian Solution sempat manjur ketika SBY, setelah ditelepon Rudd, memerintahkan TNI AL untuk menghentikan kapal imigran Sri Lanka yang kemudian berlabuh di Merak. Jika sudah dibendung di Indonesia, kecil kemungkinan untuk bisa sampai di Christmas Island.
Di dalam negeri, berita tentang imigran ini tidak mengambil porsi banyak di media, kalah oleh hal-hal yang lebih substansial seperti Cicak-Buaya dan isu lainnya. Namun demikian, penanganan isu ini menjadi penting untuk hubungan Indonesia-Australia dan juga reputasi Indonesia di mata WN Australia. Sebagai WNI yang dibiayai pemerintah Australia untuk belajar, ada kesan berbeda ketika mendengar isu ini.
Pertama, Indonesia bisa dibilang agak terlambat meratifikasi protokol penyelundupan dan perdagangan manusia yang disahkan Februari 2009. Diperlukan waktu 9 tahun sejak protokol itu ditandatangani untuk menjadi Undang-Undang. Keadaan ini membuat penanganan imigran kalah cepat dibanding negara lainnya yang telah lebih dulu memiliki payung hukum.
Kedua, kedaulatan Indonesia dipertaruhkan karena seolah-olah “disuruh-suruh” oleh negara lain dengan imbalan sekitar 420 miliar rupiah per tahun. Imigran gelap tidak menjadi masalah serius di negara-negara miskin seperti Indonesia, sebaliknya menjadi masalah sangat penting di negara daerah tujuan yang kaya seperti Australia. Beberapa kalangan yang benci imigran mendirikan Anti Immigrant Party, walaupun tidak mendapatkan dukungan signifikan. Selain itu, dalam pemberitaan selalu disebutkan “Australia-funded detention centre Tanjung Pinang” (Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) Tanjung Pinang yang didanai Australia). Sehingga sepertinya Australia boleh menitipkan imigrannya ke Rudenim yang didanainya tersebut.
Selain itu, sikap tidak tegas pemerintah Indonesia yang selalu memperpanjang ijin sandar kapal Oceanic Viking di perairan Tanjung Pinang menambah kuat sangkaan tersebut. Tujuan akhir imigran tersebut adalah Australia dan tidak begitu saja bersedia diturunkan di Indonesia. Setelah negoisasi panjang, 22 orang berstatus imigran bersedia turun dan tinggal di Rudenim setelah dijamin akan diproses tak lebih dari 4 minggu untuk langsung ke Australia. Sisanya tetap menolak turun walau telah di kapal lebih dari sebulan. Jika tinggal di Indonesia, nasib imigran tersebut belum tentu lebih baik daripada nasib mereka di negara asalnya.
Indonesia adalah negara berdaulat dengan 230 juta penduduk, begitu juga Australia dengan 21 juta penduduk (mirip dengan penduduk Jabodetabek). Relasi Indonesia-Australia pernah tegang ketika Australia memberikan visa tinggal bagi 42 WNI asal Papua di tahun 2006. Hubungan tersebut seharusnya tidak didasarkan atas bantuan keuangan dan relasi kaya miskin (Australia 10 kali lebih kaya dari Indonesia dengan $38,000 GDP PPP). Ataukah memang kekuatan uang saat ini menjadi penentu kebijakan di Indonesia baik dalam dan luar negeri seperti ditunjukkan oleh Anggodo dan bantuan Australia?
Photo from here