Politik Jawa SBY

Kedaulatan Rakyat-Analisis- 13 Desember 2009

Salah satu kesalahan besar dalam menganalisa langkah kepemimpinan SBY adalah ketika melihatnya dalam kerangka teori demokrasi liberal gaya barat. Padahal, sebagai orang Jawa, SBY lebih memperhatikan dan menggunakan tuntunan politik Jawa dalam pengambilan keputusan.

Artikel lama yang tetap relevan yang ditulis oleh Ben Anderson (1972), The Idea of Power in Javanese Culture secara gamblang mengidentifikasi konsep kekuasaan barat dan Jawa. Menurut Ben, konsep kekuasaan Jawa tidak hanya berbeda, tetapi pada banyak yang bersebarangan dengan model kekuasaan di barat yang menjadi dasar pengembangan ilmu politik. Orang Jawa percaya bahwa kekuasaan itu bersifat konkrit, homogen, berada pada jumlah yang sama di bumi dan tidak perlu dipertanyakan legitimasinya.

Orang Jawa percaya pada wahyu kekuasaan yang bisa berpindah dari satu orang ke yang lainnya dalam wujud yang konkrit. Pertanda bergulirnya kekuasaan bisa bermacam-macam, misalnya dari sinar yang memancar dari rahim Ken Dedes yang dipercaya akan melahirkan raja-raja Jawa. Air kelapa yang diminum Ki Ageng Pemanahan sampai kekuasaan yang mewujud pada keris Djoko Piturun di Kraton Yogyakarta saat penyerahan kekuasaan dari HB VIII ke HB IX. Selain itu, bentuk lainnya seperti sinar di angkasa sering dianggap penting dalam upaya perebutan kekuasaan di tingkat lokal.

Hal ini berkebalikan dengan paham kekuasaan barat yang menganggap kekuasaan adalah hasil kontestasi politik. Kekuasaan boleh dimiliki siapa saja asalkan lolos dalam segenap seleksi menuju kekuasaan, bukan pada wujud yang “nitis” dan tergaris dalam diri seseorang. Tak perlu memiliki keris untuk menggapai posisi politik penting.

Kekuasaan Jawa juga selalu ditandai oleh upaya konsentrasi kekuasaan. SBY telah sangat jitu mengikuti pola ini dengan mengambil seluruh kuasa yang menyebar di berbagai kekuatan politik. Pilihan SBY untuk mengambil Boediono menjadi Wapres dapat dipahami sebagai usaha untuk menggenggam seluruh kekuatan politik. Berbagi tugas, seperti periode SBY-JK dipastikan sulit muncul karena tak pernah ada dalam konsep budaya kekuasaan Jawa.

Nihilnya pembagian kekuasaan nampak pada keempat gelar kerajaan Jawa yang masih bertahan. Gelar Hamengkubuwono (yang memangku semesta) dan Paku Alam di Yogyakarta, Pakubuwono dan Mangkunegara di Solo. Pilihan kata memangku menarik mengingat aktifitas memangku (misalnya memangku anak kecil) tidak bisa dilakukan oleh dua orang atau lebih.

Dalam penyusunan Kabinet  SBY II, nampak jelas upaya akomodasi terhadap seluruh kekuasaan politik, sekalipun berseberangan dan aneh. Jika Megawati mau sedikit mengalah, seluruh kekuatan politik akan terkonsentrasi dalam diri SBY seorang. Sampai sekarang, salah satu prasyarat dalam pendirian keraton Jawa adalah terkonsentrasikannya kekuatan aneh dan asing yang menyatu dalam kekuasaan raja. Wujudnya nampak dengan hadirnya pusaka (misalnya keris, tombak, dan alat musik), orang cebol dan albino. Bahkan simbol kekuasaan pun diambil dari hewan yang aneh bagi orang Jawa, misalnya Kebo Bule dan Gajah.

Konsentrasi kekuasaan dalam budaya Jawa dapat digambarkan dalam bentuk sinar lampu di gelapnya malam. Semakin dekat dengan pijar kekuasaan (lampu), semakin mendapatkan terang, begitu juga sebaliknya. Saat ini, segala daya dan upaya dilakukan untuk mendekat ke pusat kekuasaan yang tersimbol di Cikeas. Dramatisasi penyusunan kabinet yang sebenarnya telah ada di dalam daftar adalah upaya semakin menguatkan simbol pusat kekuasaan itu.

Menariknya, runtuhnya kekuasaan Jawa jarang yang berasal dari luar kekuatan politik. Bergantinya kekuasaan lebih banyak disebabkan oleh penghianatan dari lingkaran dalam kekuasaan dan inkonsistensi sikap penguasa. Pecahnya satu Kerajaan Mataram menjadi empat keraton kecil adalah manifestasi dari penghancuran dari dalam tersebut. RM Said (pendiri Mangkunegaran Solo) dan Pangeran Mangkubumi (Pendiri Kasultanan Yogyakarta) adalah bagian dari keluarga pangeran Kasunanan.

Pada awalnya, Mangkubumi membantu Susuhunan menumpas pemberontakan RM Said yang kecewa terhadap kebijakan Susuhunan yang pro VOC. Tetapi setelah janji memberikan daerah Sukowati tidak dipenuhi, Mangkubumi bergabung bersama RM Said memberontak melawan Susuhunan. Pada contoh paling mutakhir, pengunduran diri massal menteri-menteri Suharto menjadi sebab penting kejatuhannya. Jatuhnya Gus Dur juga disebabkan berbaliknya pendukung menjadi lawan politiknya di sidang MPR.

Belajar dari sejarah kekuasaan Jawa, kasus Cicak-Buaya seharusnya disikapi dengan serius. Fenomena politik paling spektakuler selama tahun 2009 ini adalah salah satu wujud pembusukan dari dalam sistem. Selain itu, SBY juga sudah menunjukkan inkonsistensi dalam kepemimpinannya.

Kejaksaan, Polri dan KPK berada di bawah kontrol presiden baik langsung ataupun tidak. Gejolak dan pembusukan yang terjadi dalam tiga institusi ini adalah sinyal penting awal kegagalan kekuasaan.

Inkonsistensi muncul pertama kali saat publik sulit melihat realisasi dari janji kampanye SBY yang memakai slogan “lanjutkan” ketika hanya tiga dari 40 menteri yang tetap menduduki pos yang sama. Keberlanjutan program dan kebijakan akan lebih sulit dilakukan oleh kabinet yang lebih menekankan pada kompromi politik.

Selain itu, pada 15 September 2009, Jubir Presiden waktu itu, Andi Mallarangeng secara tegas mengatakan bahwa Presiden tidak bisa mencampuri urusan hukum yang memperuncing relasi KPK-Polri. Setelah tak kuat atas dorongan publik dan media, dan setelah rekomendasi Tim Delapan diberikan, SBY mengingkari janji yang diucapkan dua bulan sebelumnya.

Selain itu, musuh-musuh politik SBY coba memakai isu Century untuk menciptakan ketidakpercayaan (distrust) di koalisi internal. Sinyalemen mengalirnya dana Century ke seluruh aktor penting bagi kemenangan PD dan SBY menguatkan pembusukan di dalam tersebut.

Dalam tiga bulan terakhir, SBY telah menunjukkan secara gamblang kekhawatiran pemerhati politik tentang gaya kepemimpinannya yang lambat, inkonsisten dan peragu, sebagaimana dulu ditunjukkan oleh para penguasa Jawa selama berabad-abad.