Ketika Sakit

Ketika sakit, banyak nikmat yang dicabut Allah dari kemewahan yang selama ini kita nikmati. Dalam dua minggu sejak pulang dari Australia, saya didera dua kesakitan, diare dan terkilir di pinggang.

Sakit pertama sebenarnya sudah seharusnya diantisipasi. Sebabnya gampang, perut tidak lagi bertoleransi dengan bakteri Indonesia yang terkenal piawai memainkan enzim-enzim di usus besar. Bakteri yang sangat nyaman bermukim di makanan jalanan, sampai yang terbang terbawa debu dan mendarat di mangkuk yang masih tersisa soto dari pelanggan sebelumnya. Tetapi penyebab paling masuk akal adalah tidak ada atau setidaknya minimnya antibody. Pasukan bertahan terlalu dimanjakan iklim, suhu dan kebersihan Canberra yang nyaris tanpa debu. Saking bersihnya, si Carol, tidak dicuci setahunpun tak kelihatan kotor amat.

Sebagai ganjarannya, dua hari saya terbaring di Jogja International Hospital, rumah sakit paling dekat dengan rumah mas Danang dan Mas Ando yang seharusnya menjadi tempat bermalam. Saya terpaksa mengganggu mas Danang yang sedang bertelponan mesra J, karena badan sudah lemas, mulut sudah kering dan dizzy . Dalam kamar yang seharusnya diisi enam orang, saya satu-satunya penghuni. Mungkin karena kasus Omni, rumah sakit yang pelayanannya tidak mengecewakan ini ikut-ikutan sepi, karena memakai nama international. Sayangnya, pelayanan itu harus ditebus dengan bayaran seharga TV 29”. Alhamdulillah, sejak keluar rumah sakit jam 12 noon, saya sudah di Sumedang keesokan harinya.

Sakit yang kedua ini baru sekali saya alami. Seminggu setelah keluar dari JIH, saat membungkuk untuk mempersiapkan diri akan Jumatan, tiba-tiba otot punggung serasa ditarik. Sakit sekali. Sakit sakitnya, bahkan untuk sekedar berjalan ke tempat tidurpun saya tak mampu. Terbaring di pintu kamar mandi dengan kaki masih di kamar mandi.

Setelah itu hampir seluruh bagian tubuh sakit sekali jika digerakkan. Saya lumpuh selama enam jam. Selama waktu itu, hilanglah seluruh cita-cita saya. Seluruh harapan terasa hancur karena kondisi fisik yang sakit jika digerakkan. Dalam waktu itu saya sadar, betapa mudahnya Allah mencabut segala nikmat yang kita rasakan. Di sisi lainnya, betapa menderitanya mereka yang lumpuh, yang selalu butuh orang lain untuk memenuhi kehidupan dasarnya. Semoga kita menjadi hamba yang beruntung.