Kedaulatan Rakyat-Analisis-120110
Jika diperhatikan dengan seksama, dalam bulan-bulan belakangan ini, muncul serangan-serangan telak yang ditujukan kepada Presiden SBY. Ibarat serial silat SH Mintardja, penyerang mengeluarkan jurus-jurus dalam serangan sporadis. SBY pun dipaksa berkelit dengan jurus jitu lainnya, dibantu seluruh pendukung padepokan. Perang jurus ini tak akan berhenti sebelum sang pendekar yang sedang memimpin dunia persilatan jatuh.
Serangan lebih gencar dilakukan terutama setelah SBY terpilih sebagai Presiden untuk yang kedua kalinya. Serangan pertama diungkapkan presiden sendiri dengan menunjukkan foto dirinya yang menjadi sasaran tembak kelompok teroris radikal Islam pada pertengahan Juli. Sampai sekarang, publik masih bertanya-tanya tentang motif dan strategic issues yang menjadi latar belakangnya. Semuanya tetap menjadi rahasia Densus 88.
Serangan berikutnya lebih mengarah kepada upaya untuk menyerang SBY secara non-fisik, yang jika berhasil, dampaknya sangat destruktif untuk struktur politik yang ada. Sasarannya adalah kepribadian dan karakter SBY baik sebagai pribadi maupun dalam bentuk kebijakan-kebijakannya. Tujuannya jelas, menciptakan distrust di lingkungan dalam SBY dan juga masyarakat terhadap pemerintahan.
Menariknya, serangan yang diarahkan kepada SBY ini tidak ditunjukkan dalam bentuk vulgar dan langsung, tetapi bermain cantik dengan menggoyang orang-orang dekat Presiden. Jika pilar-pilarnya telah rapuh, bangunan akan mudah runtuh. Mari kita urai serangan ini lebih mendalam.
Pada saat puncak konflik KPK-Polri, SBY diuji untuk mampu bertindak cepat dan gesit mengatasi isu ini. Serangan muncul dengan membangun citra SBY yang dianggap lamban dalam bersikap ditengah dukungan Chandra-Bibit berlangsung 24 jam lewat facebook. SBY jitu dalam mengelak serangan mematikan ini dengan membentuk Tim Delapan. Walaupun namanya sempat dicatut dalam rekaman Anggodo, secara umum publik puas atas respon SBY terhadap isu ini.
Serangan ketiga ditujukan khusus untuk dua figur penopang pemerintahan SBY, Boediono dan Sri Mulyani lewat kasus Century. Gabungan dua cendikiawan ekonomi dari dua universitas terbaik di Indonesia, UGM dan UI, menjadi back up penting Menko Ekuin Hatta Rajasa. Cara termudah menghancurkan pemerintahan SBY adalah menjatuhkan dua pilar kebijakan ekonominya. Dengan kondisi ekonomi terpuruk, presiden sangat mudah jatuh. Pengalaman 1998 jelas menunjukkan hal itu.
Sayangnya, musuh terlalu terburu-buru mengeluarkan jurus konyol yang menuntut penonaktifkan keduanya. Padahal semua orang tahu, dalam sistem presidensial dengan model Pasangan seperti Indonesia, hal ini tidak mudah. Presiden dan Wapres dipilih bersama demi menjamin kuatnya sistem presidensial dan efektifitas pemerintahan, berbeda dengan model di Filipina dimana keduanya dipilih secara terpisah. Walaupun masih terlalu dini untuk melihat hasil, SBY telah cukup mahir menangkis jurus-jurus maut tersebut.
Serangan keempat dilakukan lewat buku Membongkar Gurita Cikeas. Buku yang lebih mirip kliping media ini menyerang lingkungan dekat SBY yang berasal dari luar pemerintahannya. Jika serangan Century menyerang SBY di Istana Negara, serangan buku ini menyoroti SBY di Cikeas, rumah pribadinya. Publik menjadi tahu ternyata menjadi anak presiden tak perlu repot mencari pekerjaan setelah selesai kuliah. Sebentar kemudian, Ibas sudah bisa mengurusi pabrik kue kering beromset 25 milyar rupiah yang pipa gasnya-pun disalurkan khusus. Berbeda dengan serangan sebelumnya dimana SBY mampu memutar jurus ampuh, sampai sekarang belum ada mekanisme bertahan yang canggih selain mengelak dan mengatakan “tidak benar”.
Perlu dicatat, SBY diserang karena musuh politiknya belajar banyak dari kekalahan dasyat di serangkaian pemilu 2009. Meruntuhkan karakter SBY yang sangat terampil menjaga citra, membutuhkan tidak hanya energi dan biaya, tetapi juga waktu yang tidak sebentar. Apakah mudah menjatuhkan SBY, seperti jatuhnya Gus Dur?
Jawabannya adalah tidak. Selain mekanisme pemakbulan masih diperdebatkan di MK, salah satu ciri pemerintahan dengan sistem presidensial adalah masa pemerintahan yang tetap (Lipjhart, 1992). Disain politik Indonesia, yang trauma atas takdir empat presiden yang tidak merampungkan waktu penuh 5 tahun kepemimpinan, membuat Presiden dan Wapres cukup tenang duduk di kursi tanpa takut digergaji. Digoyang iya, digergaji tidak.
Penyerang SBY sadar penuh bahwa jurus-jurus maut itu dilontarkan untuk pemilu 2014. Pada pemilu depan, seluruh keturunan biologis tokoh politik saat ini, SBY, Megawati, Amien Rais dan Alm.Gus Dur, masih terlalu muda untuk menjadi nahkoda. Pada saat itu, semua orang bisa mengambil alih bangunan politik kuat yang saat ini dibuat. Jika toh pendekar tak jatuh, dia tak bisa mewariskan dunia persilatan pada darah biru Demokrat.
Gambar diambil dari