Penjara Swasta

Kedaulatan Rakyat, Analisis, 250110

Penjara mewah Ayin, Aling dan Darmawati Dareho di Rutan Pondok Bambu membuat banyak orang tersentak. Ternyata busuknya sistem hukum di negeri ini tidak hanya pada proses menentukan seseorang dihukum di tingkatan pengadilan, tapi juga bagaimana seseorang akhirnya dihukum. Kira-kira, apa penyebab maraknya jual beli sel penjara?

Harus diakui bahwa daya tampung penjara yang ada saat ini sangat jauh dari layak. Karena itulah saya lebih senang menyebutnya sebagai penjara, bukan Lembaga Pemasyarakatan atau Rumah Tahanan. Penghuni penjara sulit menjadi lebih bermasyarakat ketika dijejal-jejalkan di sel. Kata rumah juga tidak tepat, karena penjara bukan tempat untuk narapidana untuk selalu kembali, sebagaimana kita selalu merindukan untuk kembali pulang ke rumah. Kata Rumah hanya cocok untuk Ayin yang menyediakan permainan mandi bola bagi anak adopsinya.

Data resmi menunjukkan, setidaknya terdapat 35% kelebihan daya tampung penjara, terparah di Jakarta dan Sumatera Utara. Bahkan ada penjara yang dihuni delapan kali jumlah kapasitas maksimalnya. Pertanyaannya, apakah semakin banyak orang jahat di Indonesia? Bisa jadi jawabannya tidak. Pemerintah tidak mampu menambah jumlah penjara seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk. Padahal, jumlah penghuni penjara bertambah mengikuti penduduk yang beranak pinak.

Karena daya tampungnya yang terbatas, sel penjara menjadi barang langka (scare resource) dan menjadi komoditas yang menarik untuk ditransaksikan. Sejak jaman purba, ekonomi berkutat dengan distribusi barang langka tersebut. Semakin sedikit sumber daya (sel) dan semakin banyak orang butuh, semakin tinggi harganya. Teori dasar (persediaan dan permintaan) Demand and Supply berlangsung. Tidak mengherankan, harga sel ‘layak’ di penjara bisa ratusan juta. Jika tidak mampu, tentu ada paket hematnya, berdesakan dengan napi lain, termasuk bromocorah kelas kakap yang untuk kentut pun harus antri.

Dalam managemen sektor publik, telah terdapat inovasi-inovasi untuk memberikan kesempatan kepada pihak non-pemerintah ‘membantu’ terselenggaranya pelayanan publik yang lebih baik. Hal ini dikenal sebagai konsep privatisasi. Artinya, pelayanan publik bukan monopoli pemerintah untuk mengatur, menyiapkan, mengelola dan mengevaluasi. Pemerintah seringkali hanya bertugas untuk mengatur dengan membuat regulasi, selebihnya, distransferlah beberapa urusan tersebut ke pihak swasta untuk dikelola.

Pelayanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan telah sejak dulu melibatkan pihak ketiga untuk mengelolanya. Dalam banyak hal, sektor swasta banyak yang lebih kompetitif dan efisien dibandingkan dengan pemerintah. Bisakah penjara diswastakan?

Jawabannya jelas bisa. Menyerahkan urusan penjara ke swasta tidak berbeda dengan memberi ijin pembangunan rumah sakit swasta. Asalkan regulasinya jelas, pengawasannya baik semuanya bisa dikelola dengan maksimal. Inggris adalah negara pertama yang memberlakukan penjara swasta (private prison) untuk menampung napi sejak tahun 1992. Amerika Serikat sebenarnya sudah memulai penjara swasta sejak dua abad lalu, tetapi menemukan momentum di era modern dengan dalam konsep New Public Management. Sebenarnya masalah kelangkaan sel tidak hanya monopoli Indonesia, tetapi juga di negara maju (Logan , 1990). Israel mengikuti langkah Inggris dengan menerbitkan aturan penjara swasta tahun 2004.

Dengan membuat penjara swasta, potensi korupsi dalam bentuk penyuapan seperti kasus yang kita saksikan sekarang ini bisa diminimalisir. Kamar sel tidak lagi menjadi barang langka karena semua stok sel penjara telah “dibeli” pemerintah untuk selanjutnya didistribusikan ke para napi dengan adil. Keinginan napi kaya yang tidak ingin kehilangan standar hidup mewahnya bisa diminimalkan. Artinya, penjara menjadi arena adil bagi napi untuk menikmati fasilitas negara, bukan tergantung kemampuan finansial penghuni dan keluarganya.

Namun, masalah paling mendasar adalah pemerintah tidak memiliki dana yang cukup untuk melakukan semua itu. Jangankan mengurusi mereka yang dinyatakan bersalah oleh pengadilan, menciptakan pelayanan publik kepada warga negara baik-baik pun masih banyak kritiknya daripada pujiannya. Selain itu, jika penjara dibuat lebih nyaman, bisa jadi penjara benar-benar menjadi ‘rumah’ bagi napi. Napi ingin selalu kembali karena diluar penjara, kehidupan bisa jadi jauh lebih keras. Anggapan ini tak sepenuhnya benar, karena bagaimanapun napi tak memiliki kebebasan. Kebebasan ini terasa begitu besar nilainya hanya bagi mereka yang pernah menghuni tahanan.

Tetapi sebenarnya puncak dari segala permasalahan itu adalah mengguritanya korupsi di berbagai sektor dan lini penjara. Penjara seperti hotel, dimana setiap servis ada harganya. Setiap pintu laksana loket yang menunggu untuk dibayar. Tetapi, gaji pegawai yang tak sepadan juga menjadi peluang semua itu. Makanya, selain swastanisasi penjara, reformasi birokrasi yang meningkatkan taraf hidup pegawai penjara mutlak dilakukan. Tapi sayangnya, selain kemauan politik yang kuat, keduanya juga butuh modal besar. Mau dan mampukah?