Kedaulatan Rakyat-Analisis- 080210
Seandainya pak Presiden tidak curhat ke mana-mana, sebenarnya isu-sua dalam demo 28 Januari memperingati 100 hari pemerintahan SBY-Boediono akan berakhir. Justru karena curhat itulah, isu-isu yang disampaikan demonstran terus terpelihara media. Presiden seringkali melakukan blunder politik yang tidak menguntungkan dirinya dan pemerintahannya.
Dalam sistem presidensial murni yang dianut Indonesia, Presiden memegang peran paling signifikan dalam pemerintahan. Artinya, Presiden menjadi nahkoda terhadap ke mana bangsa akan diarahkan. Walaupun dalam melakukan kerjanya, Presiden mendapatkan oversight dari lembaga-lembaga negara yang lain, dirinya tetap bertanggungjawab terhadap kesuksesan dan kegagalan pemerintahan.
Hanya saja, lebih sering terjadi, pembantu-pembantu presiden menjadi bumper terhadap buruknya kinerja pemerintahan. Hal ini seringkali membuat dinamika pemerintahan berlarut-larut. Sebuah pertanyaan sederhana, mengapa Pansus Century tidak menghadirkan Presiden yang menjadi penentu seluruh kebijakan ekonomi? Bukankah ketika Presiden datang, semuanya lebih jelas terlihat dan lebih cepat selesai? Di lain pihak, menyangkut kebijakan populis, Presiden sendiri yang maju ke depan. Contohnya sederhana, ketika BBM naik, pembantu Presiden yang mengumumkan, ketika BBM turun, Presiden dengan wajah berbinar sendiri yang mengumumkannya.
Demonstrasi 100 hari SBY-Boediono, terlepas dari sebagian yang dibayar oleh musuh politik SBY, mengarah langsung ke jantung pemerintahan. Target demonstrasi yang dibidik jelas, SBY-Boediono dianggap kurang berhasil dalam 100 hari pertama. Demonstran seolah ingin menunjukkan bagaimana sistem presidensial dijalankan. Untuk itulah, dibawa seekor kerbau yang ditulis SiBuYa. Apakah itu melanggar norma-norma ketimuran?
Pak Presiden mungkin tidak pernah menonton televisi. Norma ketimuran kita sudah lama hancur oleh sinetron yang semakin impresif memperlihatkan kebencian, semakin tinggi ratingnya. Pemberitaan berita juga setali tiga uang. Dalam liputan berita demonstrasi, bagian yang ditonjolkan adalah ketika massa yang marah, merangkak mandesak aparat yang kepanasan. Semakin marah demonstran, semakin tajam kamera tersorot. Jangan lupa, persis setahun lalu, Ketua DPRD Sumut Abdul Aziz Angkat tewas karena demonstrasi. Artinya, norma ketimuran kita telah lama hilang di panggung demonstrasi.
Tetapi jangan salah, norma ketimuran kita lebih dulu menghilang di panggung pemerintahan. Korupsi yang merugikan sesama, tentu bukan bagian dari norma ketimuran yang mengedepankan konsep Rukun, yang menurut Hawkins (1996) adalah perwujudan dari harmony and helpfulness, rasa mengedepankan keharmonisan dan tolong menolong. Jika konsep adat ketimuran ini kita konsekuen menjalankannya, tentu kita tak masuk negara dengan tingkat korupsi terburuk di dunia, dengan Polri sebagai institusi terkorup (TI 2007,2008). Dunia politik kita telah diisi oleh semangat mementingkan diri sendiri, bukan konsep tolong menolong yang mengedepankan orang lain. Sistem pemilu legislatif kita yang dipakai 2009 lalu, membuat persingan tak hanya antar partai, tetapi antar caleg dalam satu partai. Semakin hilanglah adat ketimuran itu. Pendeknya perlu direnungkan konsep ketimuran, tidak hanya dalam demonstrasi tetapi dalam seluruh sistem politik Indonesia.
Mahasiswa yang berdemonstrasi adalah anak-anak politik Indonesia. Seperti kata pepatah, buah tak akan jatuh jauh dari pohonnya. Daripada sibuk mengurusi buah yang dianggap berbau busuk, apakah tidak lebih baik melihat pohon yang bapak Presiden pimpin, yang ternyata pangkal dari seluruh kebusukan itu.
Berkaitan dengan kerbau, saya teringat pemimpin oposisi Australia dari partai liberal yang menjabat September 2008-Desember 2009 yang namanya adalah Malcolm Turnbull. Kata Turnbull sendiri dalam bahasa Inggris lebih kurang berarti Sapi Jantan yang sedang menengok. Jika kita memanggilnya dengan pak Bull (atau pak sapi jantan), dia tentu tidak tersinggung, karena memang itulah namanya. Dalam koran the Canberra Times yang terbit beberapa bulan lalu, pak Turnbull pernah digambarkan sebagai Sapi Jantan, tetapi berkepala karikatur Turnbull. Hal ini lebih keras daripada hanya kerbau SiBuYa. Apakah dia tersingggung? Ternyata tidak.
Pemimpin dunia kerap digambarkan, diplesetkan dan disimbolkan secara berbeda-beda sesuai kritik yang sedang ditujukan. Perdana Menteri Australia Kevin Rudd, sering dijuluki KEVIN 737 (diplesetkan dari pesawat Boeing 737) karena kegemarannya jalan-jalan ke luar negeri. Elizabeth Gerteiny (2009) menyebut George W Bush sebagai The President of War, karena kegemarannya berperang. Sebagai pemimpin, seharusnya hal ini dilakukan sebagai ajang introspeksi (mulat sariro), bukan ajang ngudhar roso. Presiden dituntut untuk selalu tampil elegan dan percaya diri, karena itulah kontrak jabatan yang telah dia disepakati.