Isu berkaitan dengan urusan bawah perut tak pernah surut, begitu juga dengan upaya proses pidana bagi pelaku nikah siri. Polemik segera muncul, berkaitan dengan diabaikannya hak anak dan istri korban nikah siri, sampai perdebatan moral dan religius tentang menikah. Sebenarnya, layakkah negara mengatur urusan pribadi seperti menikah?
Salah satu fungsi dari negara adalah mengatur seluruh kehidupan warga negara mulai sejak lahir sampai meninggal. Ketika lahir, anak harus dibuatkan akte kelahiran. Setelah ajal menjemput, ahli waris harus meminta surat kematian. Didalamnya termasuk urusan menikah.
Hanya saja, derajat pengaturan pemerintah untuk mengatur pernikahan sangat bervariasi sesuai dengan ideologi yang dianut sebuah negara. Di negara-negara liberal seperti Australia, apabila seseorang telah tinggal bersama (sejenis atau berlainan jenis) selama setahun atau lebih dan keduanya sepakat untuk saling mendaftarkan “pasangannya” dalam sistem administrasi negara, keduanya menerima hak dan kewajiban seperti pasangan yang menikah resmi, seperti pembagian gono-gini, pendapatan, pajak dls. Negara-negara liberal, lebih berfokus kepada dampak dari sebuah hubungan, daripada hubungan itu sendiri. Akibatnya, tidak ada perbedaan signifikan apakah yang bersangkutan tersebut menikah, kumpul kebo, berzina dan (mungkin) nikah siri. Selama masing-masing pihak tidak ada yang merasa terampas haknya, negara tidak memiliki peluang untuk masuk dalam urusan pribadi.
Hal ini sesuai dengan prinsip dasar dimana hukum dan peraturan lebih menakutkan daripada moral dan dogma seperti agama dan pranata masyarakat. Dengan tingkat religiusitas yang rendah, yang dapat dilihat dari sepinya tempat ibadah, alasan seseorang melakukan perbuatan baik dan buruk bukanlah harapan untuk mendapatkan pahala dan ancaman mendapatkan dosa. Alasannya lebih kepada kepedulian dan ketakutan mendapatkan sanksi hukum.
Menariknya, walau tidak memiliki sanksi moral yang kuat, kebijakan dan peraturan yang didukung oleh sistem administrasi yang baik mampu memberikan rasa kepastian di masyarakat. Negara betul-betul menjamin hak-hak tiap individu. Masing-masing orang berusaha untuk tidak melanggar hak orang lain, sebagaimana dirinya ingin haknya tidak terlanggar. Sampah tidak pernah dibuang sembarangan, selain karena denda yang tidak sedikit, jika setiap orangs membuang sampah, hak untuk mendapatkan pemandangan dan suasana yang bersih akan hilang.
Menariknya, Indonesia berusaha mencegah dampak dari sebuah perbuatan, dengan mengatur urusan individu. Demi menjaga hak anak dan istri tetap terjaga, nikah siri akan dipidanakan. Mengapa pemerintah lebih memilih mengambil jalan pintas tersebut?
Pertama, pemerintah sadar tidak memiliki sistem administrasi yang efektif untuk menjangkau seluruh warga negaranya. Jangankan mengatur adminstrasi yang terjadi antara dua warga negara, pemerintah bahkan tidak memiliki sistem pendataan yang cukup dipercaya untuk mengurusi warga negara seorang demi seorang. Masing-masing lembaga saling berebut mengadministrasi kita sesuai dengan kepentingannya masing-masing. Data tentang penduduk miskin tidak pernah akurat, bergantung lembaga mana yang membuat. Setiap warga negara, dilabeli dengan nomor-nomor yang berbeda sesuai kepentingan lembaga, misalnya nomor akte, NPWP, SIM, KTP, Jamkesmas, sampai nomor pelanggan listrik yang tak pernah berhubungan dan dihubungkan satu sama lain. Bahkan hak politik dasar seperti memilih dalam pemilu pun terabaikan dengan munculnya kasus Daftar Pemilih Tetap (DPT).
Kedua, pembuat kebijakan tidak memiliki kapasitas untuk menembus benteng koordinasi lintas lembaga. Kebijakan dibuat hanya berdasarkan kepentingan dan agenda lembaga yang bersangkutan dan seringkali berseberangan dengan kebijakan lembaga lainnya. Contohnya sederhana, dilihat dari ancaman hukumannya, mana mungkin nikah siri yang secara moral dan sesuai dengan nilai agama memiliki sanksi yang lebih berat dari perzinahan yang tidak hanya ditolak secara moral, tetapi juga dapat dikategorikan dosa.
Proses pembuatan kebijakan yang terlihat serampangan dan tidak komprehensif justru bisa menjadi kontraproduktif. Apabila dilihat secara sederhana, pilihan seseorang untuk berhubungan ada tiga: menikah resmi (agama dan negara), menikah siri (agama) dan berzina (ditolak negara, agama dan masyarakat). Ketiganya memiliki tingkat kesulitan yang berbeda. Menikah resmi lebih sulit daripada menikah siri, dan menikah siri lebih sulit dari berzina. Apabila pintu kedua yaitu nikah siri ditutup dengan ancaman pidana, pilihannya tinggal dua, resmi atau berzina. Apakah pelaku nikah siri akan “bertobat” dan memutuskan menikah resmi? Bisa jadi iya, ketika pemerintah dalam sekejap menjelma menjadi institusi luar biasa yang sanggup mempermudah administrasi nikah resmi.
Apabila tidak dipikirkan dengan matang, kebijakan yang sebenarnya ditujukan untuk mengurangi resiko nikah siri, justru menjadi jalan untuk mendorong perzinahan. Saya yakin pemerintah bukanlah penganjur perzinahan. Saya juga yakin hal ini bisa dibuktikan dengan membuat kebijakan yang lebih komprehensif.