Reformasi Korupsi

Nama Gayus Tambunan menampar wajah Kementrian Keuangan (Kemkeu) sebagai Kementrian yang pertama kali menerapkan reformasi birokrasi. Salah satu poin dari reformasi birokrasi adalah penambahan renumerasi yang berarti penambahan penghasilan resmi per bulan. Penambahan ini diiringi dengan peningkatan kinerja birokrat yang berujung pada peningkatan pelayanan masyarakat.

Selain itu, reformasi birokrasi juga dimaksudkan untuk menurunkan tingkat korupsi di Indonesia. Selain Polri sebagai institusi terkorup (Transparency International (TI) 2007) Kemkeu merupakan salah satu sarang para koruptor, terutama untuk penyuapan. Alasan bahwa korupsi di Kemkeu terjadi karena rendahnya gaji pegawai dapat ditepis dengan memberikan tambahan pengasilan yang signifikan. Untuk Gayus dengan golongan IIIA, gaji PNS nya sekitar 2,4 juta dengan renumerasi 8,2 juta. Ditambah beberapa sumber “halal” lainnya, dia menerima gaji bulanan sekitar 12 juta. Gaji PNS di Kemkeu kira-kira lima kali lipat PNS dari kementrian lainnya yang belum “mereformasi”, yang sangat layak untuk hidup.

Korupsi secara literatur didefinisikan sebagai selama ini didefinisikan sebagai ”the use of public office for private gain” (TI, Hart 2001, Sherlock 2002, Larmour 2007) atau penggunaan posisi publik untuk keuntungan pribadi. Definisi ini luas dan idealmenjerat koruptor dengan efektif. Sayangnya di Indonesia, hal ini direduksi dengan mamasukkan unsur merugikan keuangan atau perekonomian negara. Dengan reduksi ini, pelaku penyuapan lebih sulit dijerat di pengadilan apabila tidak merugikan keuangan dan perekonomian negara. Selain itu, pembuktian terbalik juga tidak berlaku. Aparat tidak bisa meminta Gayus Tambunan membuktikan rumah mewah di Gading Park View dan rekening 25 miliar  dari gaji 12 jutanya.

Selain itu, jangan lupa bahwa pelaku korupsi juga mereformasi diri. Sebagian besar perilaku korupsi yang berbentuk penyuapan semakin canggih dalam menyuap. Proses penyuapan berlangsung semakin rumit, dengan melibatkan banyak aktor dan semakin sulit terlancak. Seandainyapun korupsi itu terlacak, sudah ada sebarisan pengacara yang faham betul bagaimana menyiasati peraturan yang menghasilkan resiko hukuman yang minimal. Ditambah mafia kasus, semuanya semakin bisa diatur.

KPK sadar betul dengan reformasi korupsi. Itu sebabnya dalam beberapa tahun terakhir, KPK selalu berusaha untuk menangkap tangan para koruptor. Koruptor ditangkap ketika akan menyerahkan uang, atau ketahuan menyimpan uang dalam bentuk tunai. Hal ini dilakukan untuk memastikan bahwa siapapun yang ditangkap tangan KPK selalu berakhir di bui, seperti track record KPK selama ini. Hanya saja, selain membutuhkan operasi intelegen yang rumit, telaten dan menghabiskan energi yang luar biasa, koruptor yang sangat canggih melakukan transfer uang dan tidak menggunakan cara-cara konvensional akan sulit terlacak.

Belajar dari pagawai muda dengan watak korup seperti Gayus, terdapat setidaknya tiga kelemahan dasar pemberantasan korupsi di Indonesia.

Pertama, secara individual, mental sebagian besar masyarakat Indonesia masih senang dengan korupsi. Walaupun setiap orang mengaku menolak korupsi, tindakannya menunjukkan perilaku korup. Perlu diingat, korupsi terjadi antara dua belah pihak, penyuap dan yang disuap, sesuai dengan hukum permintaan dan penawaran. Mental korup di masyarakat ditunjukkan dengan gamblang seperti rela membayar lebih untuk mendapatkan nomor antrian lebih cepat atau perijinan lebih cepat dengan memotong antrian. Munculnya isu bocornya soal UN juga harus dipahami karena adanya sebagian orangtua yang ingin anaknya lulus dengan mendapatkan kunci jawaban. Ada permintaan agar soal UN bocor dengan menawarkan sejumlah uang. Mental korup ini begitu mengakar dan diwariskan dari generasi ke generasi.

Kedua, secara organisasional, upaya peberantasan korupsi harus memahami karakter organisasi tempat korupsi berlangsung. Selama ini, tertangkapnya anggota DPR koruptor lebih disebabkan karena anggota DPR tidak memiliki organisasi yang cukup tangguh untuk membendung sepak terjang KPK. Hal ini berbeda dengan Polri yang sangat solid membentengi diri, seperti kasus Cicak-Buaya. Setiap struktur organisasi selalu memiliki self-defense mechanisms,  mekanisme bertahan ketika ada serangan dari luar. Seperti tubuh, ketika datang penyakit, sel darah putih akan mencoba mengusirnya. Itu sebabnya, KPK masih berhati-hati untuk menelisik kasus korupsi di TNI dan Birokrasi, karena mempertimbangkan mekanisme bertahan ini.

Ketiga, secara sistemik, belum terdapat dukungan yang besar untuk pemberantasan korupsi. Political will dari penguasa yang masih setengah-setengah, ditambah kurangnya dukungan masyarakat sipil, diperparah oleh mafia kasus di peradilan. Pada semua sektor, KPK harus berjuang keras, di tengah ancaman pengurangan anggaran. Tanpa upaya berarti, Indonesia akan tetap berada di daftar negara terkorup di dunia, sejajar dengan negara-negara miskin di Afrika.