Kedaulatan Rakyat – Analisis – 270410
Upaya artis Julia Perez (Jupe) dan Maria Eva dalam meraih jabatan politik lewat Pemilukada di Pacitan dan Sidoarjo memunculkan kecemasan publik. Ketakutan tidak hanya mencuat karena daerah dipimpin oleh figur yang mungkin kurang kompeten, tetapi juga keraguan atas kemampuan partai politik melakukan proses rekruitmen politik. Wajarkah kekhawatiran itu?
Tahun 2010 menandai lima tahun pemilihan kepala daerah langsung yang dilakukan sejak 2005. Apabila di tahun 2005 dilangsungkan 226 Pemilukada (11 provinsi, 179 kabupaten dan 36 kota), di tahun 2010 jumlahnya meningkat menjadi 244 Pemilukada (7 provinsi, 202 kabupaten dan 35 kota). Dengan jumlah sebanyak ini, sebenarnya tidak perlu ada kekhawatiran terhadap naiknya artis dalam politik lokal karena beberapa alasan, yaitu:
Pertama, posisi politik tertinggi yang selama ini dapat digapai oleh seorang artis “hanyalah” posisi Wagub di Provinsi Jabar yang diraih Dede Yusuf. Posisi lainnya antara lain dipegang Dicky Chandra (Wabup Garut) dan Rano Karno (Wabup Tangerang). Dilihat dari posisinya sebagai wakil, yang bersangkutan tidak serta merta menentukan arah perubahan politik karena masih terdapat kepala daerah.
Fenomena Indonesia juga tidak terlalu menghawatirkan ketika disandingkan dengan pengalaman negara-negara lain. Filipina yang memilih Joseph Estrada menjadi Presiden (1998-2001) pada akhirnya harus mengaku salah. Estrada dijatuhkan oleh gerakan rakyat karena korupsi dan divonis penjara seumur hidup.
Bahkan di negara tempat literatur demokrasi dikembangkan seperti Amerika, tidak steril dari dorongan berkuasa bagi public figure. Arnold Schwarzenegger, artis yang memiliki otot seperti Gathotkaca menjadi Gubernur di California. Aktor Ronald Reagon, setelah menjadi Gubernur, menjadi Presiden ke 40 Amerika sampai dua periode.
Kedua, potensi artis terlibat dalam Pemilukada tahun ini terjadi hanya sedikit kasus dari 237 kabupaten/kota. Apabila dilihat melalui prosentasenya, terlihat sangat kecil. Dalam mekanisme eksperimentasi demokrasi lokal yang sedang dilakukan saat ini, penyimpangan terhadap idealisme demokrasi untuk dapat memilih kepala daerah yang akuntabel wajar terjadi.
Masyarakat Indonesia terlalu terlarut oleh bujukan media, terutama elektronik, yang secara gencar memberitakan kiprah artis dalam politik. Di sisi lain, artis pun sadar bahwa media merupakan ajang gratis untuk berkampanye. Padahal, jangankan isu yang menyangkut kepentingan publik, perihal kawin-mawin artis yang sama sekali tidak memiliki kaitan dengan orang banyak pun selalu menjadi sorotan. Parahnya hal itu mendapat apresiasi serius di masyarakat karena menjadi amunisi penting untuk ngerumpi.
Ketiga, seandainya toh artis tersebut mampu lolos dalam seleksi internal partai dan seleksi administratif dari KPUD, yang bersangkutan masih harus diuji dalam Pemilukada yang sesungguhnya. Mekanisme menjadi kepala daerah tidaklah sederhana.
Modal untuk menjadi pemimpin politik lokal setidaknya ada dua, yaitu modal material (uang) dan modal sosial. Semakin besar modal sosial yang dimiliki, semakin kecil modal material yang dikeluarkan. Masing-masing pasangan kandidat mempertarungkan kedua modal ini berhadapan dengan kandidat lainnya. Modal sosial jauh lebih kompleks dari keterkenalan. Dalam bahasa inggris, terdapat dua kata untuk mendeskripsikan “keterkenalan” yaitu notorious (diketahui publik karena keburukannya) dan famous (terkenal karena hal-hal baik). Para artis terlalu terburu-buru melihat memastikan dirinya famous, padahal ia dimaknai rakyat sebagai notorious.
Walaupun demikian, fenomena tersebut jelas mengindikasikan minimnya proses kaderisasi di partai politik. Parpol alpa dalam tugasnya menyediakan kandidat untuk menduduki jabatan politik. Kalau kita mau jujur, parpol dan parlemen adalah dua kelemahan besar demokrasi di Indonesia. Padahal, demokrasi modern mensyaratkan kuatnya parpol yang tercermin dalam parlemen yang akhirnya mampu menghasilkan kebijakan publik yang handal (Morgenstern, 2004).
Karena kurangnya kader yang punya modal sosial kuat, parpol lokal mempersempit proses pendewasaan politik hanya menjadi sekedar menang-kalah dalam Pemilukada. Hal ini diperparah oleh minimnya kapasitas untuk mendapatkan modal material. Akibatnya, partai memilih mencalonkan artis untuk mengatasi dua hal sekaligus, yaitu mendapatkan kandidat dan “bensin”nya sekaligus. Sekali merengkuh dayung, dua pulau terlampaui.
Akibat dari itu semua, Indonesia sekali lagi harus belajar tentang keinginan primitif manusia untuk selalu berkuasa tanpa diimbangi dengan kemampuan berpolitik paling dasar yaitu mengelola konflik. Kita diingatkan kembali bahwa naluri alamiah itu akan selalu ada. Masalahnya terpulang kepada kita untuk memilih mereka atau tidak. Demokrasi sekali lagi, terpulang pada kedewasaan memilih tiap individu.