Kedaulatan Rakyat-analisis-250510
Seandainya SBY masih bisa berlaga di Pemilu 2014, konggres Partai Demokrat tentu tidak semenarik saat ini. Posisi ketua PD menjadi strategis menjadi salah satu prasyarat menjadi RI 1. Besarkah peluang Anas Urbaningrum memimpin Indonesia 2014-2019 dan apakah sajakah tantangannya?
Banyak analis politik menyebutkan bahwa PD adalah partai yang menggelembung seperti balon dan rawan kempes (Sigit Pamungkas 2010). Semua pihak, bahkan internal PD sendiri, sadar dan meyakini bahwa satu-satunya “pompa” balon PD itu adalah figur SBY. Pemilih, terutama yang masuk dalam kategori swing voters, pemilih yang mudah berganti dukungan, terpikat oleh gaya santun SBY dan juga kucuran dana luar biasa lewat BLT (Mietzner 2009). Dengan fenomena ini, tugas terberat Anas adalah menjaga agar balon tak kempes, syukur-syukur makin menggelembung.
Menariknya, pemilih yang gampang bergeser ini ditengarai menentukan arah kemenangan pemilu dalam tiga pemilu terakhir. Berturut-turut, swing voters memenangkan PDIP dengan 33, 73% di pemilu 1999, Golkar dengan 21,6 % di pemilu 2004 dan PD dengan 20, 83% di pemilu 2009. Kunci memenangkan pemilu 2014 terletak pada kemampuan menarik simpati swing voters yang terbukti mampu memenangkan tiga partai yang berbeda sama sekali ideologi dan basis pendukung dalam tiga pemilu demokratis. Masalahnya, tidak ada yang tahu siapa dan apa saja keinginan 20 – 30 juta pemilih ini.
Selain swing voters, pemilu Indonesia juga dihadapkan kepada fenomena ticket-splitting atau split-ticket voting yaitu kondisi yang terjadi di Amerika dimana pemilih memilih kandidat dari partai yang berbeda untuk jabatan politik yang berbeda. Misalnya memilih kandidat dari Partai Republik untuk jabatan Presiden dan memilih kandidat dari partai Demokrat untuk jabatan Gubernur. Artinya terdapat kecenderungan besar bahwa pemilih memberikan dukungan yang berbeda untuk tingkatan jabatan politik yang berbeda, baik di eksekutif maupun legislatif. Di Indonesia yang memiliki tingkatan-tingkatan pemilu yang jauh lebih kompleks, ticket-splitting lebih mudah terjadi. Pada pemilu 2009 misalnya, di Aceh pemilih sadar betul untuk memilih Partai Aceh di tingkat Kabupaten/Kota dan Provinsi, dan menyalurkan dukungan untuk PD di tingkat Nasional.
Pendeknya, perolehan signifikan PD diuntungkan yang didapatkan dari swing voters dan ticket-splitting. Satu-satunya cara untuk mempertahankan dukungan PD adalah dengan menjaga citra seperti yang sukses dilakukan dalam pemilu 2009. Tetapi nampaknya hal ini jauh lebih sulit dilakukan karena beberapa pertimbangan dan cacat politik yang terus terjadi.
Pertama, Anas dan juga Marzuki Alie dengan koalisi besar di parlemen terbukti gagal menghentikan arus dukungan terhadap opsi C dalam kasus bank Century. Rakyat faham betul bahwa PD kalah taktik dengan koleganya yang menang pengalaman di parlemen. Sebagai partai balon udara, kader-kader PD masih kalah dengan anggota legislatif dari partai yang memiliki basis organisasi dan kader yang kuat.
Kedua, musuh politik PD sadar betul bahwa dibutuhkan waktu yang tidak sebentar untuk meruntuhkan rekam jejak positif pemerintahan SBY. Jika pompanya dirusak, balon tentu tak lagi menggelembung. Oleh karena itu, sejak awal, pemerintahan SBY terus digoyang oleh berbagai kasus. Belum tuntas satu kasus, sudah disusul kasus lainnya yang tidak kalah mengagetkan. Terakhir, kekecewaan Anggito yang merasa ditipu menambah merah muka pemerintah. Menariknya, si penyerang sadar betul dengan kelemahan paling dasar SBY yang peragu. Tidak satupun dari kasus-kasus yang menghiasi seluruh media tersebut, SBY turun tangan, sebagai pucuk tertinggi pimpinan eksekutif dalam sistem presidensial.
Ketiga, sang “pompa” sering kali melakukan blunder politik. Terbaru, sebagai puncak dari keraguan SBY adalah pembentukan Setkab. Selain menghianati sistem presidensial yang coba dimurnikan setelah diacak-acak Orde Baru, langkah politik ini membingungkan analis politik. Bahkan dengan modal satu kali putaran Pilpres dengan 62% suara dan koalisi di parlemen yang terwujud di kabinet, SBY masih ragu-ragu dengan pendukungnya sendiri. Pembentukan Setkab dapat dibaca sebagai kekerdilan politik SBY.
Namun demikian, terpilihnya Anas membawa nafas baru dalam regenerasi politik Indonesia. Sebagai tokoh muda yang karirnya melejit dan selalu mewarnai panggung politik pasca reformasi, Anas dapat dilihat sebagai kuda hitam dalam pilpres 2014. Tetapi dengan satu syarat, balonnya tak mengempis walaupun pompanya terus digergaji.