Legalisasi Politik Uang

Usulan Partai Golkar (PG) untuk mendapatkan dana aspirasi 15 milliar per anggota dewan dapat dibaca dari beragam sudut pandang. Setidaknya terdapat dua hubungan sebab akibat. Pertama, usulan PG merupakan wujud riil dari kontestasi politik di DPR. Kedua, kontestasi itu menghasilkan upaya legalisasi politik uang yang tercermin dalam usulan dana aspirasi.

Alasan kontestasi politik dapat dilacak sejak kekalahan Partai Demokrat (PD) dan koalisinya di DPR dalam membendung isu Century, yang ternyata berimplikasi serius dan berjangka panjang. Dalam hitungan matematis pada masa awal setelah Pilpres, koalisi memiliki 317 kursi (atau 423 kursi jika Golkar bergabung), sementara gabungan PDIP, Hanura dan Gerinda hanya memiliki 137 kursi. Waktu itu, koalisi PD sangat yakin mampu mensukseskan suara dan program pemerintah di DPR. Nyatanya gabungan antara pengalaman politik, kemampuan personal dan kecanggihan menggiring isu menggunakan media lebih penting dari sekedar hitungan matematis. Pasca Century, posisi tawar PG menjadi signifikan dalam konstelasi politik DPR. Sebaliknya, PD kehilangan PD (Percaya Diri) dan terus berupaya untuk tetap mendapat dukungan PG, setidaknya sampai 2014. Harapannya, usulan dana aspirasi (karena diusulkan PG), akan disetujui Pemerintah dan koalisi PD yang butuh dukungan PG di DPR.

Hal ini mirip dengan melegalkan politik uang (walaupun berwujud program), langsung kepada konstituen. Dana aspirasi digunakan sebagai upaya untuk mendapatkan dan menjaga dukungan politik. Rakyat akan terus memilih anggota dewan A karena jembatan telah dibangunnya, dan jalan diaspal oleh anggota partai B. Klaim semacam ini yang pasti akan muncul, tidak sehat untuk pendidikan politik rakyat.

Usulan dana aspirasi jelas menguntungkan PG yang memiliki pendukung kuat dan cukup merata di Indonesia Barat, Tengah dan Timur. PG yang terbiasa mendapatkan dukungan dana besar selama Orba, harus mencari sumber alternatif untuk dapat merawat dukungan politik. Walaupun sebagai dampaknya, dana aspirasi akan merubah anggota DPR menjadi inisiator atau pimpinan proyek.

Transformasi menjadi inisiator proyek berlangsung ditengah kritik terhadap kinerja anggota DPR berkaitan dengan tiga fungsi dasar yang dibebankan kepadanya, yaitu legislasi, anggaran dan pengawasan. Dari segi jumlah, berapa banyak Rancangan Undang Undang yang “mangkrak” dan tidak segera selesai, RUUK adalah salah satu contohnya. Dari segi kualitas, Undang Undang sering gagal melewati meja Mahkamah Konstitusi, misalnya UU BHP. Wajar kemudian, jika muncul pertanyaan terkait kapasitas anggota DPR terkait pekerjaan sampingan yang mengambil wilayah yang selama ini dilakukan Pemerintah pusat sampai daerah.

Selain itu, pembangunan yang didasarkan atas Daerah Pemilihan (Dapil) yang berdasarkan atas jumlah penduduk, tidak sejalan dengan logika pembangunan yang selama ini menggunakan provinsi dan kabupaten/kota sebagai basis. Pembangunan di pusat, provinsi dan kabupaten/kota mendapat oversight dari legiltatif di DPR dan DPRD. Dapil yang terdiri dari beberapa kabupaten/kota (bergantung dari jumlah penduduk), selain berpotensi memunculkan korupsi baru karena belum adanya mekanisme pangawasan, juga mengacaukan sistem pembangungan di daerah. Pemerintah daerah harus mendapat titipan pembangunan dari anggota DPR yang syarat kepentingan politik dan partai. Selama ini, daerah pemilihan hanya dimaknai sebagai syarat untuk menentukan kursi di DPR dan bukan sebagai basis pembangunan daerah.

Alokasi dana pembangunan untuk daerah sebagaimana tercermin antara lain dalam DAU dan DAK menggunakan perhitungan yang rumit dimana jumlah penduduk hanya menjadi salah satu kriteria penilaian. Usulan pembangunan yang tercermin dalam dana aspirasi hanya mendasarkan atas jumlah penduduk, mengabaikan indikator penting daerah misalnya berkaitan dengan kondisi geografis, Indeks Pembangunan Manusia (IPM), tingkat kemajuan ekonomi dls. Pembangunan akhirnya dilihat sebagai sekumpulan orang, semakin banyak orang, semakin banyak dana digulirkan, tanpa melihat kondisi riil yang sebenarnya jauh lebih penting.

Akibatnya dana aspirasi yang dibayangkan mampu mengatasi ketimpangan di daerah justru menambah ketimpangan tersebut. Dana tetap terkonsentrasi di Jawa, Bali dan Sumatra yang memiliki jumlah penduduk lebih banyak, walaupun derajat satu penduduk di Jawa sudah dihitung lebih kecil dari derajat penduduk di luar jawa sebagaimana tercermin dalam penyusunan Dapil. Sementara daerah Timur yang lebih membutuhkan dana untuk memenuhi kebutuhan publik dasar seperti kesehatan dan pendidikan, hanya mendapatkan sedikit. Jika usul ini disetujui, ada kemungkinan dicontoh untuk DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota yang membuat dampak yang lebih destruktif.

Pendeknya, dana aspirasi jangan dimaknai seperti argumen PG yang sulit untuk menemukan pembenaran logis, tetapi harus dimaknai sebagai legalisasi politik uang sebagai imbas dari kontestasi politik. Uang memang sering membuat manusia tidak rasional, dan anggota DPR yang terhormat memberikan contohnya sekali lagi.