Memindah Ibukota

Kedaulatan Rakyat, Analisis, 2-8-2010

Wacana usang untuk memindah ibukota negara kembali bergulir. Beban ekonomi, psikologis dan sosial Jakarta sudah sangat mengganggu. Area yang dipersiapkan Belanda untuk menampung tidak lebih dari 10 juta jiwa ini, dipaksa menjadi tempat hidup oleh lebih dari 20 juta jiwa di siang hari, atau setara dengan jumlah penduduk Australia. Selalu seiring dengan pemindahan itu, Kota Palangkaraya di Provinsi Kalimantan Tengah dicalonkan menjadi ibukota baru. Marilah kita mencoba melihat seluruh kemungkinan ini.

Pemisahan ibukota pemerintahan dan pusat bisnis menjadi hal normal yang terjadi di banyak negara misalnya di Amerika yang memisahkan New York dan Washington. Contoh lainnya adalah pilihan Australia untuk membuat ibukota pemerintahan di pegunungan tandus Canberra, yang terletak 3 jam (darat) dari Sydney dan 7 jam dari Melbourne, dua kota bisnis  yang saling bersaing untuk memperebutkan ibukota. Kemajuan  Canberra tidak pernah seperti kota dengan akses laut.

Hanya saja, negara-negara yang menjadi tolok ukur tersebut tidak pernah dihadapkan dengan masalah dimana 7% dari luas sebuah negara dihuni oleh 50% dari seluruh jumlah penduduk atau sekitar 120 juta jiwa. Karena itu, Jawa dinobatkan The Guiness Book of Record sebagai “the most populous island in the world” atau pulau paling banyak dihuni di dunia. Indonesia mewarisi kesalahan ratusan tahun lalu yang menjadikan Jawa sebagai konsentrasi aktifitas. Pembangunan tidak pernah diupayakan untuk menyebarkan konsentrasi ekonomi ke luar Jawa.

Hal ini membuat pemindahan ibukota ke luar jawa tidak sesederhana seperti memindah rumah. Infrastuktur dasar seperti jalan, listrik, air, telekomunikasi dll, tentu dapat dipersiapkan dalam 10-15 tahun. Yang menjadi masalah serius sebenarnya adalah tercerabutnya separuh penduduk Indonesia dari dekatnya akses ke pemerintahan. Artinya, Jakarta memang bisa jadi tidak macet lagi, tetapi apa artinya menghilangkan kemacetan dengan terhambatnya pelayanan publik.

Palangkaraya dipilih Soekarno karena letaknya secara geografis berada di tengah-tengah Indonesia dari segi lintang dan bujur. Soekarno ketika memilih Pahandut/Palangkaraya, tetap berada dalam konsepsi kekuasaan Jawa dimana yang disebut pusat selalu di tengah. Sehingga upaya paling sederhana untuk mengaktualisasikan hal itu adalah tengah secara geografis.

Selain itu, pemilihan ibukota yang tidak memiliki akses laut tentu beresiko. Akses laut Palangkaraya tidak cukup strategis. Akses laut penting digunakan sebagai sarana pendukung pemerintahan. Indonesia sangat beruntung karena seluruh pembagian provinsi selalu memiliki akses laut. Dalam studi pembangunanan, geografis sebuah negara yang tidak memiliki batas laut atau landlock, terbukti menjadi penghambat serius pembangunanannya. Negara-negara di Afrika yang paling terbelakang, selalu terjadi di kondisi geografis ini.

Selain itu, upaya Soekarno ketika menancapkan tiang di Pahandut, tahun 1957 tidak pernah diikuti oleh upaya sistematis untuk menjadikannya sebagai sebuah ibukota negara. Tidak perlu menunggu menjadi ibukota, saat ini saja, daerah di seputaran bundaran besar selalu macet di malam Minggu, sepadat alun-alun Selatan Kraton.

Setidaknya, memindah ibukota harus memperhatikan tiga hal. Pertama, perlu secara serius diciptakan sentra-sentra ekonomi yang berada di luar Jawa yang merata di seluruh Indonesia. Hal ini dalam jangka panjang akan mendorong mobilisasi penduduk Jawa keluar. Pemindahan ibukota dengan tetap bepegang pada cara pikir konsentrasi Jawa tentu tidak ada artinya dan hanya membentuk sentra baru.

Kedua, lokasi ibukota baru tidak hanya berdasarkan analisis geografis  semata. Bernostalgia dengan Palangkaraya yang tidak pernah diurus serius selama lima dekade untuk menjadi ibukota negara tentu bukan hal yang diinginkan. Kalimantan memang sangat punya peluang untuk menjadi ibukota baru yang bebas gempa dan luasan yang melimpah. Namun pilihan geografisnya harus dipertimbangkan dengan konsep ketatanegaraan, ekonomi, politik dan pemerintahan modern.

Ketiga, seandainya toh memang ibukota berpindah, Jakarta tetap akan menjadi simpul penting untuk melayani kebutuhan publik, setidaknya selama sekian puluh tahun masa transisi. Ide dasar pelayanan publik adalah mendekati mereka yang memerlukan pelayanan. Kebetulan, mereka yang butuh pelayanan itu separuhnya berada di Jawa.  Negara harus memfalisitasi hal ini.

Pendek kata, seandainya ibukota tetap pindah, akan butuh keseriusan dan kerja keras jangka panjang dari seluruh pihak. Jika hal itu dirasa perlu, sekaranglah saatnya memulai sehingga tidak hanya menjadi wacana ketika macet Jakarta semakin memprihatinkan.