Tanggal 16 Oktober 2007 pagi, empat hari setelah Idul Fitri, perjalanan panjang Jakarta-Kuala Lumpur-Schiphol dimulai. Keberangkatan pagi-pagi dari Sumedang ke Jakarta tidak disambut dengan hiruk pikuk dan kemacetan Jakarta yang terpaksa menyertai selama dua bulan terakhir. Hanya kantor-kantor yang tidak peduli idul fitri saja, yang tetap menjalankan aktivitas seperti biasanya, salah satunya Kedutaan Belanda, dimana visa schegen diurus dan diambil siang itu untuk keberangkatan sore harinya.
Bandara Soekarno-Hatta sepertinya tidak malu membawa nama besar pemimpin kelas dunia ini, Hal ini sangat terasa ketika pertama kali menginjakkan kaki di Bandara KL, dua jam setelah lepas landas dari Jakarta. Bandara KL sudah mirip dengan bandara kelas dunia yang dapat ditemukan di negara maju. Indikatornya gampang, air yang langsung dapat diteguk, jadi PAM betul-betul singkatan dari Perusahaan Air Minum dan bukan Perusahaan Air Mandi. Jadi pendeknya, keinferioran sebagai bangsa tertinggal, miskin dan tidak maju langsung terasa, hanya dalam 2 jam dari Jakarta. Sebenarnya enggan kami naik Malaysia Airlines mengingat sebagian keuntungannya dipakai untuk membayar empat polisi yang memukul Ketua Juri Karate Indonesia Donald Pieter Luther Kolopita beberapa saat lalu. Tapi bagaimana lagi, selain relatif lebih murah, tidak ada maskapai Indonesia yang diijinkan terbang di seluruh dataran Eropa, bahkan beberapa negara membuat travel warning agar warganya tidak naik pesawat ketika berada di Indonesia. Waduh, memalukan memang, tapi itulah realitasnya. Dalam dunia yang semakin terasa kecil dan teknologi yang semakin maju, ada banyak hal yang membuat kita harus berkaca.
Perjalanan 13 jam (11.000 km) KL-Schiphol terasa tidak terlalu lama dan membosankan. Disamping karena aku dan ayah mertuaku berangkat bersama, film-film di pesawat juga tidak habis ditonton. Aku hanya sempat melihat (lagi) Harry Potter 5 dan Pirates 3. Perjalanan ini jauh terasa lebih berkesan karena kami berangkat berdua, sebuah kesempatan untuk dapat menunjukkan siapa kita sebenarnya. Dengan relasi yang begitu dekat dan akrab, hal itu akan mudah dibaca. Di sebelahku duduk Pebisnis Malaysia yang akan pergi ke Amsterdam dan Berlin. Dalam obrolan remeh-temeh dia bertanya tentang dua hari Idul Fitri yang berlaku di Indonesia beberapa saat lalu, karena hal itu dilarang di Malaysia dan hukumannya jelas, Gantung, karena dianggap melawan Yang Dipertuan Agung yang mengumumkan Hari Raya, dua kata yang mungkin akan diakuisisi lagi oleh Malaysia setelah lagu Rasa Sayange yang diingatkan di bulletin pesawat yang memuat lirik lengkapnya. Pendeknya, simpatiku terhadap Malaysia habis.
Bandara Schiphol merupakan salah satu bandara tersibuk di Eropa dimana kami sampai jam 7 pagi, masih waktu subuh di Belanda. Tujuan ke hampir semua kota penting di dunia ada di sini. Tapi jangan salah, banyak sekali copet berkeliaran, jadi harus ekstra hati-hati. Di Schiphol, tersedia Sneltren (kereta cepat antar kota) dari banyak kota di Belanda, jadi dari Schipol naik Sneltren ke Den Haag Central Station, trus naik bis 22 atau ke Dorus dan jalan kaki sedikit. Jadi gak masalah bawa koper gede2, karena semua public transport sudah menyediakan layanan itu.Kesan pertama pada Belanda adalah Sepeda. Di belanda, pengonthel adalah raja. Pemerintah menyediakan fasilitas jalan sepeda di seluruh jalan yang ada yang dicat dengan warna merah. Sepeda juga bisa dibawa ke mana-mana naik kereta. Ada gerbong-gerbong tertentu yang membolehkan sepeda dibawa. Jadi selain murah juga sehat. Jadi sangat mungkin dari Den Haag ke keliling Amsterdam naik sepeda, terutama yang lipat. Pertama naik sepeda ke Central Station, trus naik kereta dengan sepeda ke Amsterdam dan naik lagi sepeda keliling kota. Bersambung…..