Meninggalnya Soeharto terasa begitu biasa di Australia. Soeharto yang ketika sakit disebut oleh media local Australia sebagai Dictator’s General, berubah menjadi Indonesian Former President sesaat setelah meninggal. Soeharto meninggal tepat pada saat perayaan Australia Day yang jatuh hari Senin. Artinya Soeharto dimakamkan pada saat seluruh jalan di Canberra sepi dan mayoritas toko tutup. Saya menunggu detik-detik kematian Soeharto di Crawford School of Economics and Government, ANU, sendirian.
Pada saat membaca di detik.com (yang katanya sempai menambah server untuk mengantisipasi membludaknya netter) bahwa Soeharto sudah sangat-sangat kritis, saya merasa takdirnya mungkin tidak lama lagi. Sejak itu, saya menunggu detik demi detik perkembangannya di detik.com sampai akhirnya dinyatakan pertama kali oleh Kapolsek Kebayoran Baru bahwa yang bersangkutan ternyata memang telah meninggal. Inilah pertama kalinya saya merasa begitu terasing di Australia. Terasing dengan perasaan begitu inginnya hadir dalam suasana bersejarah bangsa Indonesia. Hadir dalam hiruk pikuk SCTV dengan wartawan seadanya yang tidak tahu harus mencari berita kemana, dan hadir ketika semua orang Indonesia tumpah ruah untuk mengenang dan sekaligus memaki Soeharto. Pendeknya, saya telah alpa dalam sebuah moment penting Indonesia, dan untuk itu, saya merasa sangat kesepian. Langkah kaki dari Crawford ke Toad Hall terasa begitu jauh, sepi dan lama.
Secara pribadi, bangsa Indonesia berhutang pada Soeharto. Berhutang karena tidak berhasil menyelesaikan dugaan korupsi kepadanya. Empat presiden dan tujuh (kayaknya) Jaksa Agung gagal membuktikan apakah Soeharto sebenarnya Korupsi. Persis seperti kata cak Nun bahwa bukan hanya bangsa Indonesia yang menginginkan keadilan, Soeharto juga menginginkan keadilan. Setelah itu, terserah pada masing-masing pribadi untuk memaafkan atau tidak. Tapi, bagaimana kita bisa memaafkan jika kita tidak berhasil, secara legal, membuktikan Seoharto bersalah?
Dosa politik Soeharto teramat besar untuk dimaafkan, sehingga tak sudi saya hadir di acara tahlilan di KBRI yang digelar esok harinya. Soeharto telah berhasil menciptakan rantai korupsi yang susah diurai empat presiden, apalagi diselesaikan. Soeharto telah berhasil menciptakan rantai kesenjangan luar biasa antara si kaya dan si miskin. Lebih dari itu, Soeharto telah mewarisi keturunannya dengan harta haram yang tidak habis dibagi tujuh turunan yang didapatkan dengan merampas dengan paksa uang rakyat, mulai dari langganan wajib koran Suara Karya di SD yang dipotong dari gaji setiap guru di SD, sampai dengan korupsi proyek dengan nilai fantastis. Akibat dari itu telah terlihat dari penderitaan dirinya selama 10 tahun sejak 1998 dengan melihat bagian-bagian terdekat dirinya dilanda masalah bertubi-tubi.
Keunggulan Soeharto yang harus “diteladani” adalah dia selalu ingat akan kematian. Itulah sebabnya, sejak tahun 1974, hanya 7 tahun setelah resmi menjadi Presiden, membuat Istana kubur di Mangadeg dengan memangkas gunung yang melibatkan 700 pekerja yang baru selesai setahun kemudian. Itupun rencananya akan segera diluaskan 8 hektar lagi. Soeharto menciptakan monumen untuk raganya sendiri. Tidak banyak kita yang sadar bahwa kita akan mati dan mempersiapkan sungguh-sungguh untuk itu.
Tapi yang paling penting adalah, apakah bangsa Indonesia belajar dari bangun-jatuhnya Soeharto? Pemimpin yang lahir karena gerakan mahasiswa dan tumbang oleh gerakan yang sama. Mengapa sekarang, setelah meninggal, banyak orang mengelu-elukan kembali Soeharto dan lupa mengapa dulu mencacinya di ujung kekuasaannya? Apakah akan hadir Soehartois sebagai mana hadir Soekarnois?
Saya masih teringat betul lagu dan yel itu ketika turut di berbaur di jalan Kaliurang dan merasakan sakitnya gas air mata….
SOEHARTO……..ASU !!!
atau Forkot di Jakarta dengan lagu..
GANTUNG… GANTUNG… GANTUNG SOEHARTO
GANTUNG SOEHARTO DI TAMAN LAWANG…
Atau ketika berhadapan dengan tentara…
Tentara Indonesia tidak berguna…
Bubarkan Saja…
Diganti Menwa…
Ya sama Saja
Ganti saja dengan Pramuka…
Yang jelas, seorang filusuf pernah bilang bahwa perjuangan politik adalah perjuangan melawan rasa lupa. Perjuangan politik bukan perjuangan sebagaimana aktifis pernah belajar. Ia hanya sekedar melawan rasa lupa, karena dari situlah kita akan selalu belajar.
masalahe masyarakat kita itu sekarang dah ga alergi ama mahluk bernama hutang..bangga malah kebanyakan dr mereka…ya sudah,karena sudah banyak yg ngemplang utang,makanya sering mengabaikan piutang yg justru sebenernya adl hak sah dr kita…
JUST……LET HIM DIED….!
AND HOPE THE OTHERS ARE AWAKENED AND TRY TO TAUBATAN NASYUHAH AND BECOMING GOOD PERSONS OR FALL DOWN AND DIED WITH A MILLION TORTURED AND FEEL THE SUFFERING JUST LIKE WHAT THEY DO TO ALL THE VICTIM OF HIS REZIM ONLY MORE……!!!
Saya ini sangat awam dengan yang istilah ataupun definisi2 yang menyangkut dosa politik, perjuangan politik atau apapun istilah-istilah yang muncul di seputaran Soeharto dan kasusnya (maklum kuatrok tenan Pak Bayu). Dalam pemikiran katrok yang muncul cuma…Soeharto Alm. dulunya “juga manusia” (pinjam lirik lagu band serius) dan memang manusia, yang juga inginkan keadilan.
Dia adalah pusat dosa politik, itu yang saya tangkap dari begitu banyaknya orang “hebat” berkomentar dan publikasi dari media-media massa….sehingga dia harus menanggungnya. Apakah dosa politik itu tidak melibatkan lingkaran-lingkaran yang di setiap tingkatan sehingga kepada pusat lingkaranlah dosa itu ditimpakan….Padahal, sesungguhnya sangat sederhana, jika ingin keadilan ada….maka perlakuan adil juga diberikan ke semua pihak…Yang pasti wong katrok seperti saya ini cuma pengen bangsaku itu tidak saling tuding-tudingan…damai dan mulai beranjak untuk berjuang menjadi bangsa yang lebih baik lagi (tidak banyak bicara…tidak banyak wacana…tapi banyak karya)
Satu lagi pemikiran saya yang mungkin nda masuk akal bagi pemerhati yang memiliki intelektual dan ilmu tinggi, adanya Sokarnois…Soehartois…atau nantinya SBYis kali’…adalah kesalahan bangsa Indonesia sendiri, yang menciptakan kosakata kata tersebut sehingga masyarakatpun mengkotak-kotakan dan menilai individual berdasarkan kosa kata tersebut….”dia orang Soekarno…dia orang Soeharto…dia orang SBY…dia orang…..” sebuah proses memecah belah bangsa….dan menggiring bangsa Indonesia menuju kehancurannya.