Matinya Soeharto di Negeri Seberang

_41399527_seated_1967_ap.jpgMeninggalnya Soeharto terasa begitu biasa di Australia. Soeharto yang ketika sakit disebut oleh media local Australia sebagai Dictator’s General, berubah menjadi Indonesian Former President sesaat setelah meninggal. Soeharto meninggal tepat pada saat perayaan Australia Day yang jatuh hari Senin. Artinya Soeharto dimakamkan pada saat seluruh jalan di Canberra sepi dan mayoritas toko tutup. Saya menunggu detik-detik kematian Soeharto di Crawford School of Economics and Government, ANU, sendirian.

 

Pada saat membaca di detik.com (yang katanya sempai menambah server untuk mengantisipasi membludaknya netter) bahwa Soeharto sudah sangat-sangat kritis, saya merasa takdirnya mungkin tidak lama lagi. Sejak itu, saya menunggu detik demi detik perkembangannya di detik.com sampai akhirnya dinyatakan pertama kali oleh Kapolsek Kebayoran Baru bahwa yang bersangkutan ternyata memang telah meninggal. Inilah pertama kalinya saya merasa begitu terasing di Australia. Terasing dengan perasaan begitu inginnya hadir dalam suasana bersejarah bangsa Indonesia. Hadir dalam hiruk pikuk SCTV dengan wartawan seadanya yang tidak tahu harus mencari berita kemana, dan hadir ketika semua orang Indonesia tumpah ruah untuk mengenang dan sekaligus memaki Soeharto. Pendeknya, saya telah alpa dalam sebuah moment penting Indonesia, dan untuk itu, saya merasa sangat kesepian. Langkah kaki dari Crawford ke Toad Hall terasa begitu jauh, sepi dan lama.

 

Secara pribadi, bangsa Indonesia berhutang pada Soeharto. Berhutang karena tidak berhasil menyelesaikan dugaan korupsi kepadanya. Empat presiden dan tujuh (kayaknya) Jaksa Agung gagal membuktikan apakah Soeharto sebenarnya Korupsi. Persis seperti kata cak Nun bahwa bukan hanya bangsa Indonesia yang menginginkan keadilan, Soeharto juga menginginkan keadilan. Setelah itu, terserah pada masing-masing pribadi untuk memaafkan atau tidak. Tapi, bagaimana kita bisa memaafkan jika kita tidak berhasil, secara legal, membuktikan Seoharto bersalah?

 

Dosa politik Soeharto teramat besar untuk dimaafkan, sehingga tak sudi saya hadir di acara tahlilan di KBRI yang digelar esok harinya. Soeharto telah berhasil menciptakan rantai korupsi yang susah diurai empat presiden, apalagi diselesaikan. Soeharto telah berhasil menciptakan rantai kesenjangan luar biasa antara si kaya dan si miskin. Lebih dari itu, Soeharto telah mewarisi keturunannya dengan harta haram yang tidak habis dibagi tujuh turunan yang didapatkan dengan merampas dengan paksa uang rakyat, mulai dari langganan wajib koran Suara Karya di SD yang dipotong dari gaji setiap guru di SD, sampai dengan korupsi proyek dengan nilai fantastis. Akibat dari itu telah terlihat dari penderitaan dirinya selama 10 tahun sejak 1998 dengan melihat bagian-bagian terdekat dirinya dilanda masalah bertubi-tubi.

 

Keunggulan Soeharto yang harus “diteladani” adalah dia selalu ingat akan kematian. Itulah sebabnya, sejak tahun 1974, hanya 7 tahun setelah resmi menjadi Presiden, membuat Istana kubur di Mangadeg dengan memangkas gunung yang melibatkan 700 pekerja yang baru selesai setahun kemudian. Itupun rencananya akan segera diluaskan 8 hektar lagi. Soeharto menciptakan monumen untuk raganya sendiri. Tidak banyak kita yang sadar bahwa kita akan mati dan mempersiapkan sungguh-sungguh untuk itu.

 

Tapi yang paling penting adalah, apakah bangsa Indonesia belajar dari bangun-jatuhnya Soeharto? Pemimpin yang lahir karena gerakan mahasiswa dan tumbang oleh gerakan yang sama. Mengapa sekarang, setelah meninggal, banyak orang mengelu-elukan kembali Soeharto dan lupa mengapa dulu mencacinya di ujung kekuasaannya? Apakah akan hadir Soehartois sebagai mana hadir Soekarnois?

Saya masih teringat betul lagu dan yel itu ketika turut di berbaur di jalan Kaliurang dan merasakan sakitnya gas air mata….

SOEHARTO……..ASU !!!

atau Forkot di Jakarta dengan lagu..

GANTUNG… GANTUNG… GANTUNG SOEHARTO

GANTUNG SOEHARTO DI TAMAN LAWANG…

Atau ketika berhadapan dengan tentara…

Tentara Indonesia tidak berguna…

Bubarkan Saja…

Diganti Menwa…

Ya sama Saja

Ganti saja dengan Pramuka…

Yang jelas, seorang filusuf pernah bilang bahwa perjuangan politik adalah perjuangan melawan rasa lupa. Perjuangan politik bukan perjuangan sebagaimana aktifis pernah belajar. Ia hanya sekedar melawan rasa lupa, karena dari situlah kita akan selalu belajar.