Hari ini, 9 Februari 2008 acara NATIONAL MULTICULTURAL FESTIVAL di Canberra mulai menunjukkan kemeriahannya. Acara yang digelar 10 hari sejak 8 Februari itu menyita energi publik, yang untuk ukuran Canberra, bisa dibilang luar biasa. Nama Canberra memiliki dua arti, pertama, nama itu diambil dari bahasa Aborigin, Kamberra, yang berarti tempat berkumpul. Kedua, ahli sejarah lainnya menyatakan sebagai Woman’s Breast, Karena dari jauh, Mount Ainslie dan Black Mountain seperti sepasang dada wanita. Percaya yang mana, terserah pembaca.
Acara national multicultural festival diadakan di Civic, sebutan untuk pusat kota Canberra yang sedikit lebih ramai dari pusat kota Klaten. Namanya saja national multicultural festival, momen ini adalah ajang promosi Negara-negara yang ada di Australia yang menggemborkan multiculturalism. Penduduk Australia terlanjut mamasukkan acara ini dalam agenda mereka, tepat setelah Australia Day. Tenda-tenda telah dipersiapkan seminggu sebelumnya, yang memadati Civic yang memang tidak besar. Dengan segala hiruk pikuk itu, moment ini tidak hanya penting, tetapi juga menjadi tolak ukur banyak hal.
Hampir semua Negara mempertunjukkan kultur khasnya, tidak terkecuali Indonesia. Saya tidak sempat menonton atraksi Indonesia yang digelar di salah satu dari empat panggung yang ada di empat jalan penjuru Civic. Atraksi Indonesia dengan tarian serampang dua belas, katanya cukup menarik penonton.
Disepanjang jalan di empat panggung itu didirikan kios-kios temporer yang dapat dikategorikan setidaknya menjadi dua macam. Deretan kios pertama berisi makanan dan minuman khas banyak Negara. Kita bisa menemukan Dutch Pancake yang kecil menggoda itu, Vodka asli rusia yang membuat pening kepala, Kari India, jajanan Bosnia sampai semacam gabungan Siomay dan Bakpao dari Tibet. Pendeknya, inilah ajang memperkenalkan makanan khas masing-masing Negara.
Kios kedua lebih sebagai ajang promosi yang membuat tertarik pengunjung untuk meluangkan waktu di ke Negara itu, atau hanya sekedar memperkenalkan budaya dan keunikan yang ada. Disini dibagikan pamflet, poster, buku, bendera, gantungan kunci, peta sampai kaos. Setiap stan promosi dibuat cantik untuk menarik pengunjung datang.
Pada stan makanan, Indonesia hadir dengan SATE yang telah dieja dalam bahasa Inggris menjadi SATAI, yang dijajakan beberapa orang bule, tidak seperti stan lainnya yang dijajakan penduduk asli Negara yang bersangkutan. Tidak ada yang istimewa dari stan ini. Saya malas mendekatinya karena dibuat dengan sangat biasa, bahkan kalah cantik dengan stan Tibet dan Etiopia. Tulisan Indonesia dibuat menggunakan spidol besar dengan tulisan tangan INDONESIA yang ditempel di atas stan, persis seperti dibuat panitia yang bangun kesiangan, tanpa bendera, hiasan cantik di tepi kiri kanan, apalagi penjual yang memakai pakaian daerah. Selain tulisan INDONESIA, stan ini sama sekali tidak mencerminkan Indonesia.
Pada deretan stan kedua yang dipakai ajang promosi negara, Indonesia lebih parah lagi, tidak ada stan Indonesia di sana. Tidak ada promosi ke Indonesia atau sekedar mengenalkan Indonesia ke public Australia yang tumpah ruah saat itu (saya belum pernah melihat orang sebanyak ini sebelumnya selain Australia Day). Momen ini adalah ajang untuk berpromosi, ajang menunjukkan jatidiri kita sebagai sebuah bangsa. Tapi tampaknya, KBRI memilih alpa.
Pada sisi yang lain, disamping Panggung 2, stan Irak (dan juga Palestina) yang memberikan semacam roti dan kurma gratis kepada siapapun yang lewat. Dengan tampilan stan yang menarik, siapapun akan lupa tragedy di Irak yang tengah berlangsung. Bagaimana instant democracy dipaksakan dan harga diri bangsa yang dicabik-cabik. Dibandingkan dengan Indonesia, Irak tentu lebih merana. Urusan dalam negeri Irak yang belum sembuh dari luka invasi Amerika tidak layak dibandingkan dengan Indonesia yang telah 62 tahun merdeka. Tapi bukankah itu esensi promosi? Selalu menonjolkan sisi indah sebuah fenomena? Jika Irak saja mampu berpromosi secantik itu, mengapa Indonesia yang tahun 2008 ini adalah tahun Visit Indonesia justru alpa?
Saya tidak tahu apakah para pejabat di KBRI Canberra yang mondar-mandir di seputaran panggung turut merasakan rasa malu seperti diriku. Tetangga terdekat Australia yang alpa di Acara tahunan yang digelar 10 hari ini. Kemana diplomat kita? Dimana Indonesia?????
Ketika teman saya dari India bertanya “Where is Indonesia?“
Saya buru-buru pulang tanpa sempat melihat tarian perut Amerika Tengah. Sekali lagi, malu aku sebagai bangsa Indonesia…
Catatan tambahan:
KBRI ternyata punya senjata rahasia. Seminggu setelah tulisan ini dipublish, KBRI mengadakan semacam acara untuk mempromosikan Indonesia di Canberra Museum yang dikemas sangat apik yang dihadiri 150 an orang. Acara indoor yang dihadiri para duta besar dan orang berdasi lainnya mengenalkan Indonesia dengan lebih leluasa, dari lagu angin Makasar sampai Poco-Poco. Indah, bagus dan dikemas cukup serius.
Strategy promosi yang masih layak diperdebatkan, bukan massal tapi segmented. Tapi paling tidak, acara tahunan ini sedikit (sekali lagi sedikit) mengobati kekecewaan absennya stan RI di National Multicultural Festival.