Setiap buku selalu memiliki keistimewaannya sendiri-sendiri. Buku-buku best seller selain bagus, juga mampu memuaskan selera lebih banyak orang sehingga terus diburu dan penjualannya meningkat. Sehingga, karena lebih sebagai konsumsi umum, buku-buku best seller tidak selalu istimewa bagi pembaca dengan segmen tertentu. Artinya, setiap pembaca berhak menentukan sendiri setiap buku yang menempati urutan tertinggi kegunaannya (value-nya) sebagai sebuah buku. Walaupun bukan best seller, salah satu buku yang memberikan banyak inspirasi kepada saya adalah buku karangan AS LAKSANA yang berjudul PoDIUM DeTIK. Entah berapa kali sudah buku itu terbaca, mungkin lebih dari 20 kali dan selalu dibawa jika bepergian jauh. Setiap kali membaca buku ini yang biasanya langsung sampai habus, selalu saja ada makna beru yang ditemukan. Buku ini sekarang menjadi satu-satunya buku berbahasa Indonesia di perpustakaan pribadi yang mulai dikumpulkan satu-persatu di Queanbeyan, 16 km dari Canberra, tempat saya tinggal.
Bagaimana buku ini menjadi penting, disamping ribuan yang telah terbaca, berikut kisahnya.
Buku PoDIUM DeTIK Esei dan Perlawanan merupakan kumpulan tulisan AS Laksana di Tabloid Mingguan DeTIK yang kemudian dibredel penguasa Orba pada 21 Juni 1994. Sebelum dibredel, pada kolom PoDIUM yang berada di bagian bawah Tabloid DeTIK, tulisan AS Laksana yang hampir semuanya berbentuk esei memberikan inspirasi terhadap pembaca DeTIK atas peristiwa yang terjadi minggu itu. Artinya, seluruh tulisan dalam PoDIUM DeTIK dihasilkan sebelum Juni 1994. AS Laksana banyak menggunakan metaphor dalam menginspirasi pembaca DeTIK, karena, bahkan dengan metaphor pun, DeTIK akhirnya dibredel. Hampir seluruhnya dari 66 tulisan yang terkumpul dalam 4 Podium menyuarakan Perlawanan terhadap Soeharto dan Rejimnya. Tapi lebih dari itu, setiap pembaca berhak memberikan penafsiran sendiri dari setiap tulisan yang hampir pasti menyertakan pesan moral yang tidak akan pudar seiring waktu. Inilah salah satu alasan buku ini menarik untuk terus dibaca.
PoDIUM DeTIK pertama kali saya baca ketika hari di kelas 3 SMA masih baru, akhir tahun 1996 dari seorang teman yang meminjamnya dari kakaknya. Setelah terbaca sampai tuntas, saya memfotocopy beberapa tulisan dalam buku ini, sehingga lem di bagian ujungnya sedikit terkoyak. Buku ini kemudian terbeli pada 3 Februari 1998 di Shopping Centre Yogyakarta saat semester kedua dan krisis ekonomi berada pada puncak kegilaannya. Itupun secara tidak sengaja dan tinggal satu-satunya. Sejak awal, buku ini memang telah menjadi bagian istimewa. Berpengalaman dengan buku pinjaman sebelumnya yang terkoyak ujungnya, buku ini langsung saya bawa ke tukang Fotocopy, dilepas lemnya, distepler, dan dijilid lagi, persis seperti buku baru lagi dengan bagian dalam yang jauh lebih kuat. Itulah salah satu alasan buku ini tetap awet sampai sekarang. Di Yogyakarta, semuanya bisa dilakukan dan dipesan. Selalu ada tukang servis untuk segala kerusakan dan selalu ada pelayanan untuk setiap permintaan, dengan harga mahasiswa tentu saja.
PoDIUM DeTIK berisi beragam kisah, mulai dari kisah kitap suci, teladan para sufi, wayang, dongeng, kritik social yang semuanya dirangkai dalam Metaphor dan Perlawanan. Pembagian PoDIUM-PoDIUMnya berdasarkan basis metaphor yang digunakan dan bukan berangkat pada isu. PoDIUM pertama misalnya berisi kisah teladan para sufi dan Islam. PoDIUM keempat misalnya berkisah tentang wayang. Menariknya, seperti tulisan Goenawan Mohamad dalam pengantarnya, pembaca dapat datang pada tiap-tiap tulisan dan kembali dengan diri masing-masing. Menariknya lagi, tidak seperti catatan pinggir, di tiap tulisan tidak disertakan tanggal kapan tulisan tersebut dibuat. Hal ini bisa dibaca sebagai kekurangan atau kelebihan. Sebagai kekurangan karena pembaca tidak bisa mereka-reka latar belakang sebuah tulisan, menjadi kelebihan karena memberikan lebih banyak kesempatan untuk mengambil sarinya, hanya berdasar pada tulisan dan bukan fenomena. Walau demikian beberapa latar belakang masih bisa dicari akarnya misalnya pada kisah penjegalan Megawati di PDI, dapat dipahami dari tulisan tentang penjegalan Aswamedha (pelepasan kuda untuk perluasan kekuasaan pada kisah Rama yang dihentikan oleh Kusya dan Tilawa) menjadi Aswamega. Setiap tulisan adalah misteri yang datang pada tiap-tiap pembaca.
Perlawanan dalam buku ini menjadi penting karena buku ini dilahirkan dari kesewenangan penguasa. Pada halaman 5 buku ini, saya sempat menulis 10 tahun lalu, dengan mengutio Albert Camus: “sebuah ‘perlawanan’, meskipun tampak negative, karena tidak menghasilkan apapun, sesungguhnya tetap merupakan sesuatu yang positif, sebab perlawanan menyingkapkan bagian dari kehidupan manusia yang harus selalu dipertahankan”
Saya akan mengutip salah satu tulisan AS Laksana, semoga beliau yang ingin saya temui ini tidak keberatan.
SEEKOR LALAT DAN SANG RAJA
Seekor lalat tiba-tiba mengusik ketenangan seorang raja. Serangga yang biasanya mencari kotoran sebagai tempat hinggap itu, dalam sebuah kesempatan yang istimewa tiba-tiba mendarat di kening baginda. Waktu itu baginda sedang mengumpulkan para punggawanya di balairung istana. Mereka diminta menghadap karena sang raja mulai khawatir: di wilayah kerajaan mereka, ada seorang ulama yang kian masyur dan memiliki banyak pengikut.
Kehadiran lalat di tengah-tengah rapat penting itu tentu saja menjengkelkan sang raja. Tapi setiap kali ditepuk, binatang menyebalkan itu selalu bisa menghindar dan hinggap lagi di bagian tubuh baginda yang lain. Berpindah-pindah ia menempel pada ujung hidung, bibir, dagu, atau terbang mendengung-dengung di sekitar telinga.
“Mengapakah geragan lalat diciptakan?” Suara baginda menggetarkan balairung. Ia mengarahkan pertanyaannya kepada seorang ulama yang juga diundang untuk menghadiri persidangan. Ulama inilah yang kemasyurannya menghawatirkan sang raja.
“Secara sederhana,” sahut sang ulama dengan suara tenang, “Seekor lalat diciptakan untuk meredakan kesombongan angkara murka.”
Raja itu bernama al-Mansur, seorang raja dari dinasty Abbasiyah. Dan sang ulama bernama Ja’far Sadiq Fatimiyah, ilmuwan yang enggan mendekati kekuasaan. Karena itu, ia memang seperti lalat yang tiba-tiba saja bisa menjadi gangguan bagi seorang raja. Ia tidak pernah menghormat kepada raja ketika menghadap baginda pada sebuah pertemuan. Ia menolak kenikmatan-kenikmatan yang ditawarkan istana kepadanya.
Pada masa hidupnya khalifah-khlifah dari dua dinasti, Abbasiyah dan Umayyah, berebut menarik simpatinya. Tapi sang ulama tetap saja menjaga diri dan mempertahankan pendiriannya yang teguh. Ia tidak pernah berusaha meminta kemurahan hati agar disayang para khalifah Abbasiyah dan Umayyah yang memang ingin mendapatkan perhatiannya.
“Satu-satunya permintaan saya kepada baginda, jangan lagi saya diminta hadir di balairung ini.” Ujarnya kepada khalifah al-Masyur ketika untuk kesekian kalinya sang raja menawarkan kemurahannya.
Sang ulama memang memilih di luar tembok istana, seperti seekor lalat yang memilih tempat-tempat kotor dan onggokan sampah. Ia tidak mau menjadi burung piaraan sang raja. Ia menolak menjadi piaraan sang raja yang ditempatkan pada sangkar yang bagus, dan setiap waktu harus bernyanyi untuk menyenang-kan hati baginda.
Ya, ulama itu hanya memilih menjadi lalat. Sesekali ditunjukkannya tempat-tempat kotor di lingkungan kerajaan. Sesekali ia hinggap pada koreng, dan borok-borok kekuasaan. Atau sekedar mengusik ketenangan raja ketika ia mulai terkantuk-kantuk di kursinya.
Seekor lalat memang tidak pernah bisa diatur, bahkan oleh seorang raja besar sekalipun. Seorang raja besar tidak mungkin memerintahkan seekor lalat untuk cuci kaki sebelum nempel di kening, hidung atau dagunya. Raja tidak bisa memaksakan sabdanya kepada seekor lalat untuk hinggap hanya di tempat-tempat yang dia kehendaki.
Maka, ia mamang hanya bisa dibasmi kalau raja merasa terganggu oleh kehadirannya-dengan tepukan tangan atau dengan racun serangga. Dan inilah resiko bagi seekor lalat, seperti yang dicatat sejarah berabad-abad.