Setiap mahasiswa yang pernah belajar diluar Indonesia pasti pernah merasakan bagaimana kesendirian menjadi masalah yang selalu muncul. Apalagi bagi mereka yang terbiasa tinggal di Jawa yang sejak 2004 dinobatkan Guinness Book World Record sebagai The most populous island in the world tiba-tiba harus beradaptasi dengan “daerah tanpa manusia” seperti Canberra yang toko-toko rata-rata tutup jam 5 sore dan jalanan mulai sangat sepi jam 8 malam, setara dengan jam 3 pagi di Jogja. Selain itu, semangat ngumpul orang Indonesia tidak bisa hilang begitu saja. Inilah sebabnya kisah-kisah perkawanan ketika belajar di luar negeri selalu menjadi kisah yang tidak pernah dilupakan sampai mati. Setelah selesai sekolah, bukan kisah memusingkan menghadapi banyaknya bahan bacaan yang sepertinya mustahil untuk diselesaikan dalam satu semester, tetapi kisah lucu-lucu, remeh-temeh yang selalu memberikan semangat untuk terus belajar sampai jenjang tertinggi. Berikut antara lain kisah Geby, Gita dan Toadhall yang saya tinggali satu setengah bulan terakhir sebelum tinggal off campus di Queanbeyan.
Toadhall adalah asrama favorit mahasiswa ANU. Selain berada di kampus, hall ini juga murah “hanya” $146 per minggu. Ruangannya dibagi dalam 7 blok dari A-G dan terdiri dari empat lantai. Sangat susah berkompetisi untuk masuk ke Toadhall, paling tidak harus mendaftar 6 bulan in advance. Geby adalah senior saya di UGM. Begitu mengenal sosoknya, orang akan langsung paham betapa ramahnya orang ini. Bagaimana tidak, pada hari pertama di Toadhall, bang Geby lebih dulu mencariku dan membantu mengantarkan koper ke F742. Waktu itu, kami hanya sama-sama tahu nama, bukan wajah. Mbak Gita juga demikian, dirinya akan langsung menampakkan sikap ceria begitu orang menyapanya (kalau tidak disapa duluan, karena konon kabarnya mbak Gita rajin menyapa duluan).
Kedua Ph.D student ini datang di Toadhall pada hari yang sama, berikrar untuk tetap bersama, dan anehnya submit Desertasi pada hari yang sama juga. Keduanya pulang ke Indonesia hanya berselisih hari, mas Geby di UGM, mbak Gita di UI. Keduanya juga dianggap senior di Toadhall dan dianggap sebagai bu lurah dan pak lurah. Tidak mengherankan jika pada saat perpisahan, hampir seluruh mahasiswa Indonesia hadir, memberikan hawa pengap dan menggetarkan di Anton Aalbers room. Setahu saya, ini adalah acara paling ramai untuk orang Indonesia, jauh melebihi acara Indonesia lainnya. Ada semacam magnet dari keduanya sehingga banyak sekali yang hadir dan berkontribusi. Mulai dari bakso sampai gule kepala kambing (yang terakhir sangat jarang sekali ditemui, membayangkan cara membikinnya saja sudah pusing 😆 ).
Kita memang sering mengukur sejauh mana respon seseorang tentang orang lain justru pada saat berpisah. Saya masih teringat ketika Prof. Afan Gaffar dan Prof. Riswandha, kedua guru saya yang meninggal beberapa saat lalu. Sejauh mana cakupan politis keduanya di kancah nasional dan internasional dapat dibaca dari banyaknya karangan bunga dan ucapan belangsungkawa yang hadir, yang memaksa satpam UGM “menyeleksi” karangan bunga mana yang paling cocok menghiasi rumah duka, balairung UGM, atau makam. Karangan bunga penting seperti menteri, presiden dan ketua partai tentu saja menempati jalan utama, selebihnya, harus rela berdesakan sampai hampir sulit terbaca. Sebaran relasi politik dan social seseorang terbaca dari sana.
Saya tidak sedang membandingkan perpisahan Mas Geby dan Mbak Gita yang hanya sementara dengan perpisahan selamanya dengan kedua guru saya, tapi dari situ banyak pelajaran yang bisa diambil. Ketika Heri dan beberapa mahasiswa Indonesia yang lain membuat film pendek tentang perjalanan Geby dan Gita selama di Toadhall dan ANU, seandainya tidak malu karena hanya memiliki kisah yang pendek dengan mereka berdua, saya sudah duluan menitikkan air mata (mata yang berkaca-kaca saya bersihkan di toilet). Bagaimana tidak, walaupun film dibuat dengan sangat lucu, atmosfer yang mengitari Anton Aalbers adalah suasana kesedihan. Kesedihan ditinggalkan orang-orang yang selama ini begitu dekat dengan seluruh penghuni Toadhall.
Mendadak, saya merasakan kuatnya atmosfer perkawanan itu. Atmosfer yang dihasilkan dari proses perkawanan bertahun-tahun. Sebuah suasana yang sangat jarang ditemui. Atmosfer yang hampir mirip saya rasakan ketika istri saya menyelesaikan studinya di ISS, Den Haag. Kuatnya perkawanan diantara istri saya dan teman-temannya, membawa saya pada suasana perkawanan yang tiba-tiba harus tercerabut karena selesai studi. Atmosfer ini juga yang membuat ruang Anton Aalbers menjadi begitu ramai. Atmosfer perkawanan yang akan mengendap dalam otak dan hati, yang tak lekang oleh waktu.
Selamat jalan, selamat berkarya….