Kanker Payudara Ibuku: Registrasi Askes Sarjito

Tulisan ini adalah bagian dari cerita-cerita mendampingi ibu saya yang terkena kanker payudara. Tulisan akan dibagi menjadi beberapa bagian berdasarkan tema-tema yang dipilih. Tema pertama adalah tentang sistem registrasi Askes RS Sardjito Yogyakarta.

Ada revolusi dalam sistem pendaftaran di RS Sardjito dalam empat bulan terakhir. Sayangnya, sistem ini tidak memudahkan konsumen Askes yang ingin berobat, tetapi semakin lama justru semakin merepotkan. Dari dulu, sistem pendaftaran paling banyak dikeluhkan konsumen. Pasien Askes yang sudah sakit, semakin parah secara fisik dan mental menghadapi registrasi di RS Sardjito.

Empat bulan lalu atau setelah lebaran, pasien Askes Sardjito tidak harus menunggu untuk memperoleh nomor antrian. Trik ini tentu saya dapatkan setelah beberapa kali menunggu hingga terasa cepat tua di bangku registrasi Askes. Caranya sederhana, pasien atau keluarga pasien yang sudah datang sejak jam 4 dinihari menumpuk berkas Askes yang terdiri dari Surat Rujukan Puskesmas, Kartu Askes dan Kartu Sardjito yang diklip di depan pintu masuk registrasi. Tidak lupa, selipkan nomor antiran dari kertas manila yang ditulis tangan di dalam klip ini. Selanjutnya, anda pulang satpam akan menumpuknya ke counter. Jika datang setelah loket dibuka, proses yang sama anda lakukan di counter 1 Askes. Anda tinggal datang 2-3 jam kemudian ke loket 6 Askes dan menyebutkan nomor di klip anda. Petugas akan menyerahkan lembaran yang anda bawa ke klinik yang dituju. Tentang antrian di klinik dan lamanya menunggu dokter itu soal lain, tetapi paling tidak, waktu tidak habis menunggu pendaftaran.

Dua bulan lalu, PT Askes membuat perubahan. Perubahannya sebenarnya sederhana, hanya saja dampaknya tidak. PT Askes mengganti nomor antrian kertas manila dengan print out dari computer sehingga pasien ter-record secara digital. Record dibagi menjadi dua, yaitu antrian untuk ke klinik dan antrian untuk ke laboratorium atau terapi. Masing-masing satu computer. Caranya juga mudah, hanya menyorongkan kartu Askes ber-barcode di mesin scan dan nomor antrian akan keluar. Bagi yang kartunya masih lama, anda memasukkan nomor Askes di layar touch screen sensitif. Setelah mendapatkan nomor antrian, anda menaruh berkas dan nomor antrian tersebut di counter 1, seperti antrian kertas manila. Selama dua bulan, PT Askes memberikan dua pekerja yang membantu operasionalisasi dua computer antrian elektronik tersebut. Sejak awal tahun 2011, setiap orang harus melakukan scanning sendiri. Dampak dari sistem ini luar biasa besar, karena implementasi kebijakannya tidak difikirkan.

Pertama, komputer baru buka pada pukul 6.30, padahal antrian sebenarnya telah dimulai pukul 4 dinihari. Akibatnya, pada tahap awal ketika  masih dibantu pekerja, dan bahkan sebelum komputer resmi beroperasi, ratusan pasien sudah menumpuk di depan computer. Mereka tidak bisa hanya sekedar meningalkan berkas dan menempel nomor antrian seperti dulu, karena nomor antrian tidak mereka miliki. Sistem ini menyebabkan pasien harus antri dua kali, antri untuk mendapatkan nomor antrian dan antri untuk mendapatkan berkas registasi.

Kedua, komputer yang disediakan hanya dua unit, tepatnya satu unit untuk terapi dan laboratorium dan satu unit untuk klinik, padahal antrian untuk klinik jauh lebih banyak. Dalam beberapa kesempatan, komputer ini hang dan bermasalah. Jangankan untuk kerusakan software, bahkan mengganti kertas pun membuat pasien tak sabar. Beberapa kali, karena ratusan kerumunan itu, beberapa pasien secara tidak sengaja menekan dan mematikan aliran listrik di belakang mesin yang memang tidak tertancap permanen seperti mesin ATM. Komputer mati dan waktu tunggu menjadi lebih lama. Kalau sudah begini, pasien protes sehingga sering menimbulkan situasi chaotic. Seandainya pasien tidak sakit, bisa saja kerusuhan terjadi.

Ketiga, transfer kartu askes dari manual ke barcode tidak berjalan sempurna. Di kartu lama, terdapat beberapa nomor yang membingungkan pasien, nomor mana yang harus dientri di komputer. Dua orang asisten yang seharusnya bekerja memberikan bantuan dan sosialisasi, terpaksa melakukan sendiri proses barcoding di komputer. Jika tidak, antrian akan semakin banyak. Ini the only choice buat keduanya. Pasien sebenarnya mudah meniru apa yang dilakukan dua orang asisten tersebut, tapi nyatanya tidak.

Keempat, dan ini yang paling serius, hampir 90% dari seluruh pengantre adalah pasien tua yang gagap teknologi. Semua orang tahu kalau semakin tua, semakin kita rentan terhadap penyakit. Dalam istilah teknologi ada dua kategori: yaitu digital native dan digital migrant. Anak-anak ABG sekarang adalah digital native karena mereka hanya mengenal era digital dan sama sekali tak faham tentang mesin ketik. Saya adalah digital migrant, sempat merasakan repotnya mesin ketik, untuk kemudian beralih ke MS Word di Windows atau Pages di Mac. Sayangnya para pengantri itu adalah Analog Native, mereka tidak siap untuk bermigrasi ke era digital. Melihat komputer, apalagi yang touch screen, hanya mereka temukan di Askes Sardjito. Bayangan mereka tentang komputer dan digitalisasi, berbeda dengan bayangan digital migrant dan digital native tentang komputer. Selain itu, sebagai rumah sakit rujukan, banyak dari mereka berasal dari daerah dengan akses teknologi terbatas. Gagap teknologi ini tidak bisa dihapuskan dengan dua bulan melihat staf Askes melakukan barcoding.

Setelah dua bulan asistensi tak  lagi seperti dulu, pasien dituntut untuk melakukan sendiri barcoding. Dampak dari keseluruhan kelemahan implementasi kebijakan itu terlihat begitu nyata. Setiap pagi, bahkan sebelum pintu dibuka, puluhan orang sudah mengular di luar gedung registrasi hingga puluhan meter. Mereka mengantri sambil berdiri di luar ruangan yang rawan hujan. Antrian tersebut seolah tak maju-maju karena harus menunggu Analog Native melakukan transformasi sesaat menjadi Digital Migrant.

Singkatnya, transformasi sistem registrasi Askes Sardjito menambah repot pasien dalam beberapa hal.

Pertama, merepotkan karena menjadikan antrian menjadi dua kali, antrian nomor antrian dan antrian registrasi. Kedua, merepotkan karena pasien menjadi tidak bisa sekedar keluar menunggu registrasi tetapi harus berada di tempat antrian tersebut. Ketiga, merubah sistem antrian dari antrian duduk menjadi antrian berdiri dan dari antrian teduh menjadi antrian rawan hujan.

Solusinya sebenarnya mudah.  Tambah mesin antrian menjadi 5-6 buat untuk klinik ( yang dibagi antara pengguna barcode dan nomor manual) dan 2-3 buah untuk laborat/ terapi dan buka sejak jam 5 pagi. Dua solusi praktis ini dapat mengurangi secara serius derita pasien yang menderita. Tapi saya yakin dua solusi ini tidak mudah dijalankan, alasannya mungkin juga sederhana, belum dianggarkan untuk tahun ini. Inilah salah satu bukti nyata kegagalan kebijakan yang tidak difikirkan mekanisme implementasinya.