Rejowinangun Versus Carrefour

Pada hari Kamis, 26 Juni 2008, api menghanguskan pasar Rejowinangun, pasar kebanggaan penduduk Kota Magelang. Nyaris tak ada yang tersisa dari kebakaran besar tersebut. Dua tahun berlalu dan tidak ada tanda-tanda pembangunan kembali pasar akan segera dilakukan. Sebagai gantinya, hanya 500 meter di sebelah Barat Pasar, Giant supermarket membuka cabang baru, lengkap dengan upaya perluasannya. Posisi Giant ini, berhimpitan dengan tempat penampungan sementara pedagang ex pasar Rejowinangun yang sebagian besar sudah rupuh dimakan usia.

Saat ini, hampir tiga tahun setelah kebakaran tersebut. Belum juga ada pertanda pembangunan pasar Rejowinangun akan dilakukan. Upaya Pemkot, dengan semangat baru hasil Pilkada 2010 melalui kerjasama dengan pihak ketiga, tak pernah bisa mencapai target yang diharapkan. Enam hari setelah peletakan batu pertama tanggal 29 Maret 2011, Walikota mengumumkan pembatalan kerjasama. Batu pertama, sekaligus menjadi batu terakhir.

Ironisnya, tak sampai dua kilometer di sebelah Selatan lokasi Pasar, pembangunan Armada Town Square (AMTOS) sedang dalam kondisi puncak. Setiap hari, warga Magelang bisa melihat progress pembangunan yang cepat. Di dalam AMTOS , rencananya akan dibangun jaringan ritel Perancis, Carrefour. Carrefour merupakan jaringan ritel kedua terbesar di dunia setelah Wal-Mart. Pertanyaan pentingnya, apa yang bisa dibaca dari lambatnya Pemkot membangun Pasar Rejowinangun dan kegesitan swasta membangun “pasar” Carrefour.

Tak Cukup Hanya Niat

Selama ini, logika yang ada di pemerintah daerah selalu sama, hanya pemerintah daerahlah yang mampu menyelesaikan persoalan mendasar rakyat. Pandangan ini sudah lama tergeser dalam kajian New Public Management. Pandangan ini berubah menjadi: pihak swasta akan mencari peluang sekecil apapun untuk mendapatkan laba. Jika pemerintah lamban mencari solusi bagi permasalahan rakyat, swasta akan mencari solusi untuk mengatasi masalah tersebut.

Contoh paling mudah bisa dilihat di Jakarta. Solusi swasta untuk menangani macet yang tak pernah bisa diselesaikan pemerintah adalah membangun super dan mega blok perumahan yang terintegrasi dengan pekerjaaan dan sekolah. Tegoklah BSD City, sebuah kompleks perumahan seluas 6 .000 hektar yang saat ini dihuni lebih dari 100.000 penduduk. Seluruh kebutuhan disediakan, mulai dari sekolah anak sampai universitas, kantor, rekreasi, pasar, olahraga dsb. Penduduk BSD City tak perlu lagi setiap hari mengalami macet Jakarta, karena seluruh kebutuhan harian ada di dalam kompleks.

Kembali ke kasus Pasar Rejowinangun, pihak swasta akan selalu menemukan solusi bagi kondisi yang dialami warga Magelang saat ini yang hadir dalam konteks AMTOS. Salahkah swasta? Belum tentu, karena bisa jadi ia adalah bagian dari solusi permasalahan.

Justru kita harus mengelus dada kepada lambannya pemerintah untuk mendatangkan investor bagi pembangunan pasar yang jumlahnya bisa jadi tak sebesar biaya pembangunan AMTOS. Pemkot Magelang, yang dibayar menggunakan pajak yang dikumpulkan dari sedikit demi sedikit, tak bisa membangun dan mendatangkan investor untuk menghidupkan urat nadi perekonomian rakyat kecil di Kota Magelang dan sekitarnya. Pendeknya, niat baik Pemkot tak cukup. Dibutuhkan komitmen dan kerja yang lebih keras dari yang telah dilakukan selama ini.

Urat Nadi Perekonomian

Perbedaan paling signifikan dari solusi yang ditawarkan oleh swasta dan pemerintah terletak pada keberpihakan. Pembangunan kembali pasar Rejowinangun tentu akan menghidupkan dan mengakselerasi ribuan pedagang pasar. Jika ditambahkan dengan sektor pendukung yang membuat pedagang dapat berjualan, jumlahnya tentu lebih banyak lagi. Mulai dari para petani, perajin dan peternak, kemudian tengkulak dan disetorkan ke pedagang pasar, termasuk proses pengangkutannya.

Ada puluhan ribu orang yang ekonominya bisa terangkat ketika pembangunan pasar segera dilakukan. Walaupun sedikit, geliat ekonomi pasar mampu memutar roda perekonomian di tingkat akar rumput yang dampaknya bisa dirasakan langsung masyarakat.

Hal ini berbanding terbalik dengan solusi swasta yang memaksimalkan profit. Jaringan Carrefour memiliki seluruh prasarana bisnis dari hulu hingga hilir. Seluruh keuntungan yang bisa dibagi oleh rakyat kecil tersebut, tersedot dalam jaringan gurita yang keuntungannya dinikmati segelintir orang. Belum lagi, keuntungan juga tidak memutar di perekonomian di daerah, tetapi tersedot ke para pemodal yang kita tidak pernah tahu dimana.

Solusi untuk permasalahan ini tentu saja berpulang terutama kepada Pemkot Magelang dan warga Kota Magelang. Ibarat balap sepeda, Pemkot Magelang sebenarnya sudah diberi kesempatan untuk start tiga tahun lalu, dua tahun lebih dulu dari swasta. Apa daya, pembalap tak bisa melaju karena bannya bocor, remnya blong dan sederet masalah birokrasi klasik yang tak kunjung tertangani. Akibatnya, saat ini terselip oleh gurita ekonomi baru yang taktis memanfaatkan peluang.

Padahal, begitu konsumen tersedot dalam jebakan konsumerisme, akan sulit untuk kembali berbelanja di pasar Rejowinangun, yang kelak mungkin sudah jadi. Pendeknya, pembangunan pasar Rejowinangun bukan hanya perihal janji kampanye yang hampir selalu ternodai. Pasar adalah urat nadi ekonomi rakyat kecil, yang harus selalu dibela.