Freeport bergejolak. Tambang yang diameter galiannya bisa dilihat dari stasiun ruang angkasa tersebut meradang. Freeport mencatat, kerugian akibat aksi mogok karyawan tersebut ditaksir US $ 20 juta per hari. Well well well, luar biasa besar. Mungkin yang dimaksud disini bukan kerugian tetapi opportunity cost yang hilang akibat tambang tidak tergali. Freeport tentu saja cukup sudah kaya raya dengan kontrak untuk tembaga, tetapi menambang emas dan perak. Tempatnya saja namanya Tembagapura bukan Emaspura. Seharusnya jika mengikuti “pura-pura” seperti Japurura, namanya seharusnya Emaspura. Tetapi bukankah kita memang senang berpura-pura? Padahal di Grasberg yang menjadi bagian dari Tembagapura, terdapat cadangan Tembaga ketiga terbesar di dunia dan cadangan Emas TERBESAR di dunia.
Masalah semakin pelik karena tidak ada yang bisa mengutik-utik kontrak freeport yang diperbaharui setahun sebelum Soeharto jatuh, yang menyumbang sangat kecil untuk negara. Janganlah membayangkan ada nasionalisasi perusahaan seperti masa Soekarno dulu, yang mengambil perusahaan dari Belanda untuk di “Indonesiakan” melalui program Bentengnya. Tren sekarang lebih bergerak untuk menjual atau menginternasionalisasikan BUMN milik negara, menjadi BUMSSAK (Badan Usaha Milik Siapa Saja Asal Kaya).
Selain itu, Freeport yang terlanjur kaya ini punya semuanya. Dia membuat sendiri banyak layanan yang selama ini dibayangkan hanya dapat diberikan oleh negara. Freeport membuat sendiri Bandara, Pelabuhan dan pasokan avtur untuk pesawat. Akibatnya, ketika karyawan meminta pasokan avtur untuk maksapai milik Freeport, Airfast, dihentikan, terhenti pulalah pasokan untuk seluruh penerbangan perintis di Papua. Freeport tak mau mengisi avtur untuk maskapai lain, ketika Airfast diboikot. Berhentilah denyut nadi ekonomi dan pemerintahan di provinsi paling terbelakang di Indonesia ini.
Kasus Freeport ini menunjukkan lemahnya tata kelola negara, dihadapkan pada konglomerasi kaya yang bergerak jauh lebih taktis.
PT Freeport menyediakan fasilitas yang seharusnya disediakan negara. Ketika negara gagal, pemerintah tak memiliki posisi tawar. Kegagalan negara tersebut lalu coba diusahakan oleh Freeport. Ini merupakan hukum alam, ketika negara gagal, swasta selalu siap menjadi penyelamat, walau pertimbangan ekonomi menjadi penentu utama.
Oleh karena itu kemudian kita saksikan drama komedi dan pameran ketololan. Polisi yang sudah dibayar US $ 79.1 juta atau 700 milyar, berkomentar di TV dan Radio tak akan membela Freeport. Polisi yang seharusnya didanai negara, dibayar Freeport. Duit centeng ini tentu bisa dilacak dengan jelas. Inilah praktek korupsi paling terbuka yang pernah ditayangkan sejak reformasi. Tetapi tampaknya KPK tak berniat menyelidikinya. KPK tak mau mengulang kisah buruk Cicak-Buaya. Polisi jangan “dimakan” dulu. Posisinya terlalu kuat untuk dikorek-korek. Lebih baik tetap konsentrasi ke DPR dan Eksekutif dan sesekali ke Kejaksaan termasuk beberapa hakim nakal. KPK baru berani memangsa institusi yang esprit de corps nya lemah, misalnya partai politik. Contoh paling mudah didaptkan dari drama Nunun dan Rekening Gendut Perwira Polri. Tak terlacak rimbanya. Untuk itu KPK harus lebih didukung dan dikuatkan agar berani bergerak melawan beberapa anggota Polri yang korup.
Drama ketololan berikutnya adalah polling abal-abal yang mendudukkan Polri sebagai institusi yang paling baik, diantara KPK, Kejaksaan bahkan MK. Padahal, Polri selalu menempati rangking atas lembaga terkorup versi transparansi internasional.
Semakin lama, sepertinya panggung berita kita mempertontonkan ketololan yang kian nyata.