Saya pertama kali datang ke Manokwari pada 6 September 2003 untuk penelitian selama 10 hari. Waktu itu Manokwari adalah ibukota dari Provinsi Irian Jaya Barat yang baru terbentuk sesuai UU 45 tahun 1999. Pusat ekonomi Irian Jaya sebelah Barat tetap berada di Sorong yang memang relatif lebih maju secara ekonomi dan sosial. Hanya saja, karena Manokwari dianggap memiliki “hak kesulungan” karena peradaban pertama kali masuk ke tanah Papua lewat Pulau Mansinam pada 5 Februari 1885, ibukota Irjabar berada di Manokwari.
Artinya, Manokwari pada saat itu tak lebih seperti kota-kota kecil lainnya di Irian. Manokwari memiliki bandara kecil yang hanya bisa dilewati pesawat Fokker dari Ujung Pandang. Motor masih bebas melintas di wilayah dan hampir tak ada batas antara pengantar dan pengunjung karena bandara lebih mirip terminal bis dimana semua orang dapat melaju ke ruang tunggu. Frekuensi pesawat yang masih rendah menyebabkan area di bandara yang beraspal bagus dapat digunakan untuk latihan mengendarai motor. Di pinggir landasan, masih banyak sapi berkeliaran.
Walaupun memiliki pelabuhan, ukurannya relatif kecil dan hanya dapat disinggahi kapal kecil dan sedang dengan angkutan yang tidak ramai. Hanya ada beberapa belas kontainer yang berada di pelabuhan yang terlihat dari jalan raya. Pada tiga hari pertama saya menginap di Hotel Mangga yang berada di sebelah pelabuhan sehingga bisa mengamati aktifitas pelabuhan. Tak banyak aktifitas yang dilakukan di sana. Kantor Bea dan Cukai juga kecil, sesuai dengan ukuran dan kapasitas pelabuhan.
Beberapa kantor dan bank masih minim. Bank terbesar tetap BRI dan agak sulit menemukan lokasi ATM Mandiri karena letaknya hanya di sekitar pasar Sanggeng atau Pasar Tingkat sesuai sebutan masyarakat. Hotel terbaik adalah Hotel Mutiara yang letaknya persis di depan Pasar Sanggeng yang runtuh akibat gempa tahun 2009. Restoran terbaik adalah Billi restoran yang ber-AC dan menjual kepiting besar yang didatangkan dari Bintuni. Hampir setiap hari kami makan di restoran Billi karena hampir tak ada alternatif lainnya. Sekitar 5 km naik ke atas, kita hanya menemukan hutan rimba yang tak ada manusia berani ke sana. Hanya Unipa yang menjadi pusat keramaian di luar pusat kota Manokwari. Satu-satunya menara sinyal handphone hanyalah menara Telkomsel di tengah kota. Jika menara ini mati, terputuslah seluruh komunikasi seluler.
Delapan tahun kemudian keadaan sudah jauh berubah. Bandara sedang dibangun dan masih menyisakan pekerjaan konstruksi di sana-sini. Hanya saja, landasan sudah cukup untuk mendarat pesawat Boeing 737-200. Aktifitas bandara mulai ramai dengan beberapa rute ke kota penting di Papua dan Timur Indonesia seperti Ambon, Sorong, Makasar dan Jayapura. Pesawat Susi Air bahkan melayani penerbangan perintis ke Bintuni dan Wondama.
Hotel sudah sangat banyak, salah satunya Billi Hotel yang saya pakai menginap. Perusahaan milik pengusaha Menado ini telah bertranformasi dari restoran kepiting menjadi Hotel empat lantai, Restoran dan Café, Minimarket dan Salon. Kepiting nya tetap saja besar.
Selain Billi, saat ini sudah ada beberapa pusat perbelanjaan modern. Hadi Dept Store dengan KFC nya merupakan salah satu pusat keramaian baru menyaingi pasar Sanggeng. Selain di Hadi, terdapat beberapa pertokoan dengan ukuran yang relative sedang dan ramai pengungjung. Saya sempat ngopi di Cinnamon, yang menyatu dengan pusat perbelanjaan Orchid, beberapa meter dari Billi hotel.
Hampir semua bank besar membuka cabang di Manokwari dengan kantor 2-3 lantai yang cukup megah seperti Mega, Danamon, Panin dls. ATM sudah ditemukan di banyak sudut kota. Hampir semuanya bangunan baru. Di tengah kota, sudah ada Big screen yang memberikan pengumuman-pengumunam seperti yang berada di dekat Malioboro.
Lima kilometer di atas Manokwari, hutan perawan telah digantikan dengan beberapa kompleks perumahan baru. Salah satunya adalah Bumi Marina Asri yang cukup luas. Jalan menuju ke atas sudah diperlebar dan kota semakin meluas. Beberapa jembatan dibangun untuk menghubungkan setiap sudut kabupaten. Jalanan mulus dan ojek dengan helm kuning melintas di setiap sudut kota. Terlihat jelas Manokwari yang tengah menggeliat. Iklan koran yang sewindu lalu dipenuhi iklan panti pijat dengan pemijat dari Jawa Timur dan Menado, berganti menjadi iklan restoran, hotel, alat konstruksi, lowongan pekerjaan dll yang menunjukkan bagaimana ekonomi modern bekerja.
Tetapi di berbagai sudut kota tetap terlihat sama. Di pinggir jalan terdapat lapak kecil yang ditunggui perempuan asli Papua menjual Pinang. Pelintas jalan dapat membeli pinang dengan eceran (1000 per pinang) atau borongan yang disusun dalam beberapa gundukan tempat. Anda tidak boleh mencampur antar gundukan itu dan membuat gundukan tersendiri dengan memilih pinang terbaik. Penjual sudah menyiapkannya untuk anda.
Inilah geliat Otonomi Khusus yang nyata. Manokwari yang bertransformasi dari kota kecil di Papua menjadi Ibukota Provinsi dengan alokasi dana Otsus yang besar. Manokwari mendapatkan berkah dana otsus yang mudah terbaca dari geliat ekonomi yang massive. Munculnya kantor cabang bank yang megah menunjukkan bahwa swasta siap menerima limpahan dana Otsus. Sebagai Ibukota Provinsi, kue yang tadinya dinikmati tunggal di Jayapura kini harus dibagi dengan Manokwari.
Hanya saja, perlu diperhatikan kembali siapa yang sebenarnya menikmati peningkatan ekonomi tersebut? Bisa jadi, walaupun terjadi transformasi ekonomi yang cukup cepat dalam delapan tahun, perlu penelusuran lebih dalam tentang penerima manfaat terbesar dari dana Otsus. Masih banyaknya lapak penjual pinang menunjukkan bagaimana kehidupan masyrakat yang tidak berubah.
Hal ini diperparah dengan irasionalitas kolektif berkaitan dengan harga yang ada di seluruh Papua. Ikan misalnya, dapat dengan mudah dibeli di nelayan di jalan menuju Pantai Bakaro hanya dengan 20-30 ribu atau paling mahal 50 ribu di pasar. Tetapi saat anda makan ikan yang sama di rumah makan, harganya bisa menjadi 100 ribu per ekor, hanya setelah ikan tersebut dibakar. Jadi rata-rata makan di rumah makan di Manokwari sekitar 150 ribu per orang. Keadaan ini merata di seluruh tanah Papua dan menjadi lebih tidak rasional ketika kita menuju di pengunungan tengah.
Irasionalitas harga yang dipadu dengan kebijakan yang tidak tepat hanya akan meletakkan kembali dana Otsus kembali ke sumber-sumber ekonomi di Jawa dan Sulawesi. Mentalitas pejabat publik yang dengan kapasitas teknokrasi rendah yang lebih sering menghabiskan waktu di Jakarta membuat persoalan semakin pelik. Ditambah lagi, kebiasaan masyarakat dan masyarakat adat yang menganggap kantor pemerintahan seperti mesin ATM, yang dapat memberikan sumbangan kepada proposal yang diajukan, tanpa akuntabilitas. Dulu, di setiap pintu dan jendela kantor pemerintah ditempel larangan meminta sumbangan dengan proposal, hal ini sepertinya belum banyak berubah. Hal ini menyebabkan dana Otsus habis untuk belanja konsumtif yang sifatnya jangka pendek.
Apabila pemerintah daerah dan legislatif tidak mampu membuat sumber ekonomi produktif jangka panjang yang memiliki dampak positif kepada seluruh masyarakat Papua, dana otsus hanya dimanfaatkan pendatang yang mengais kesempatan ditengah gelimang rupiah.