Ambon: Post Conflict Divided Societies dan Dilema Provinsi Kepulauan

Ambon adalah salah satu daerah yang terletak di wilayah kepulauan. Sebagaimana daerah lain, kapal dan pelabuhan merupakan transportasi penting sebagai pemasok kebutuhan dari luar daerah yang sangat bergantung kepada cuaca dan musim. Apabila musim ombak sedang tinggi, nelayan lokal hanya mengandalkan tangkapan dari sekitar pantai, tak berani melaut terlalu jauh. Ambon memiliki teluk yang tenang dengan bentuk pulau yang melingkar sehingga jarak antara satu bagian pulau dengan bagian pulau yang lain lebih cepat dilalui dengan feri, daripada jalan darat yang memutar.

Selain itu, Ambon baru sepuluh tahun selesai dari konflik horizontal dengan agama sebagai sebab utama (Brown et al, 2005, CGI 2000). Konflik agama ini menyebabkan terjadinya segregasi sosial di masyarakat yang dampaknya masih terasa lekat hingga saat ini. Konflik yang dimulai dari pertikaian di Kota Ambon, menyebar hingga ke seluruh pulau Ambon dan merangsek dan memanaskan kepulauan Maluku hingga ke Maluku Utara.

Saat ini, jejak konflik masih terasa jelas. Setiap orang masih hapal terhadap reruntuhan bangunan yang menjadi ciri di setiap sudut Ambon. Konflik redam salah satunya karena pembagian wilayah yang jelas antara komunitas Islam, Kristen dan wilayah netral. Warga muslim yang tinggal di komunitas Kristen terpakssa atau sukarela pindah ke komunitas Islam dan sebaliknya. Zoning ini jelas mampu meredam dan menghentikan konflik secara signifikan, tetapi belum mengembalikan kondisi kondusif sebagaimana sebelum konflik.
Setting daerah Ambon terkait desentralisasi asimetris dan sistem integritas akan berpijak pada dua kata kunci ini, daerah kepulauan dan masyarakat pasca konflik. Kedua kondisi ini sangat mempengaruhi bagaiamana sistem integritas diterapkan untuk menciptakan pelayanan publik yang lebih baik. Bagian pertama tulisan ini akan menguraikan tentang daerah kepulauan yang akan diikuti oleh post conflict divided societies.

Daya Jangkau Daerah Kepulauan

Ambon adalah ibukota Provinsi Maluku yang terletak di tengah pulau Maluku yang merupakan yang menjadi salah satu dari kepulauan Maluku. Maluku terbentang di bagian Timur Indonesia. Sebelum mekar menjadi dua provinsi di tahun 1999, Provinsi Maluku merupakan provinsi terluas di Indonesia yang membentang 850.000 km persegi (Monk et.al 1997). Provinsi Maluku mekar menjadi Maluku Utara dengan ibukota sementara di Seram sebelum pindah ke Sofifi. Wilayah kedua provinsi ini 90% merupakan wilayah kepulauan yang terdiri lebih dari 1.000 pulau. Terdapat tarik-menarik kepentingan agar ibukota Maluku Utara terkait kesiapan fisik dan politik (JPP 2010).

Dalam kondisi kepulauan yang tersebar dalam kondisi geografis yang luas, komuntias di Ambon menuntut adanya pengelolaan baru terhadap disain pemerintahan agar mampu menjangkau kepentingan masyarakat yang tersebar. Universitas Pattimura, bersama dengan tujuh provinsi kepulauan lainnya sedang mengupayakan terselesaikannya proses pembahasan RUU Daerah Kepulauan yang saat ini didiskusikan di tingkat pusat, walaupun mengalami perkembangan yang lambat. Perkembangan RUU daerah kepulauan………..
RUU Daerah Kepulauan dianggap paling sesuai untuk melaksankaan pemerintahan yang baik dalam karakter geografis yang terpisah oleh laut. Menurut diskusi yang muncul dalam FGD,  Undang Undang yang selama ini diberlakukan di seluuruh Indonesia telah menempatkan Provinsi yang terdiri dari banyak pulau tidak berada pada posisi yang ideal bagi pelayanan publik. Penyusun kebijakan membayangkan provinsi dengan karakter darat sebagai acuan dan mengesampingkan karakter laut seperti di beberapa provinsi, termasuk Maluku.

Paling tidak terdapat tiga isu yang menguat dalam diskusi tentang RUU Daerah Kepulauan yaitu: Pertama, daerah-daerah  kepulauan diperperlakukan berbeda dalam pelaksanaan Undang Undang yang membutuhkan perhatian spesifik berkaitan dengan karakter geografis kepulauan, misalnya berkaitan dengan revenue sharing, alokasi budget dan pengelolaan pemerintahan. Kedua, pelayanan publik harus mempertimbangkan karakter kepulauan dengan memberikan fasilitas mobile dengan pemanfaatan teknologi IT. Ketiga, struktur organisasi pemerintahan di daerah kepulauan idealnya berbeda dengan memprioritaskan unit dibawah Kabupaten. Detail poin ini akan dibahas sebagai berikut.

Sejalan dengan isu dalam RUU Daerah Kepulauan, muncul usulan untuk memperkuat peran kecamatan di Provinsi Maluku. Penguatan peran kecamatan di daerah kepulauan diharapkan mampu memperbaiki pelayanan publik dasar seperti pendidikan dan kesehatan dengan mendekatkan pelayanan ke masyarakat. Daya jangkau instansi teknis di Kabupaten dianggap terlalu jauh, terlalu lambat dan berbiaya besar untuk dapat memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat terutama terkait mobilitas dan responsifitas.
Dalam UU 32/2004, kecamatan merupakan perangkat daerah yang dapat diberikan kewenangan tertentu sesuai dengan keinginan kepala daerah dan kebutuhan daerah. Kewenangan yang diberikan kepada camat memiliki karakteristik yang unik karena kewenangan diberikan dalam konteks kewilayahan dan bukan pada konteks sektoral seperti yang diberikan kepada dinas, badan, kantor dls. Pada transfer kewenangan di instansi teknis, kewenangan yang diberikan berfokus pada sektor tertentu dibawah koordinasi Setda. Pada penyerahan kewenangan kepada kecamatan, perbedaan terletak bukan pada penyerahan urusan sektoral, tetapi pemberian kewenangan koordinatif lintas sektoral. Fungsi kecamatan merupakan coordinator sektoral dalam lingkup kewilayahan sektoral.

Sampai saat ini, pengaturan tentang kecamatan hanya menyerahkan urusan ke kepala daerah dan tidak pada proses koordinatif lintas sektoral. Dari beberapa penelitian yang dilakukan Jurusan Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM di beberapa Kabupaten/Kota misalnya di Kota Yogyakarta, Kota Magelang dan Kabupaten Kutai Kartangara (JPP……., Kurniadi 2011) menunjukkan bahwa penguatan kecamatan adalah sebuah keharusan untuk menjamin pelayanan publik yang lebih baik.  Penguatan tersebut diberikan dengan memberikan beberapa urusan wajib yang standar untuk seluruh kecamatan dan ususan khusus yang memberikan kewenangan lebih beberapa sektor sesuai dengan karakter dan kemampuan kecamatan. Rekomendasi ini diberikan sebagai upaya untuk memperkuat kecamatan di dalam regulasi yang ada saat ini, misalnya di PP 41/2007.

Pada tahap selanjutnya perlu pengaturan yang lebih detail dan spesifik berkaitan dengan pemanfaatan kecamatan di kondisi geografis kepulauan. Hal ini memiliki konsekuensi terhadap daya dukung dan eselonisasi Camat. Camat idealnya memiliki eselon yang berada di atas Kepala Dinas dan dibawah Setda. Untuk daerah kepulauan, Camat dikembalikan fungsinya sebagai kepala wilayah yang memiliki fungsi koordinatif lintas sektoral dalam wilayahnya. Selain pemberian kewenangan di kecamatan, penguatan daya dukung terkait personnel, keuangan dan lainnya mutlak diperlukan. Penguatan Kecamatan ditambah dengan personel dan anggaran untuk kepentingan koordinatif. Selain itu instansi teknis dapat staf-stafnya nya di kecamatan. Konsekuensi selanjutnya, struktur organisasi di kecamatan harus disesuaikan dengan karakter urusan yang menjadi tanggungjawab di wilayahnya. Artinya, kecamatan tidak hanya melakukan fungsi koordinatif yang nyaris sulit dilakukan karena ketiadaan wewenang, tetapi menjadi lebih bergigi dengan  memberikan tanggungjawab sektoral yang menempatkan Camat dalam posisi yang lebih strategis untuk membantu Bupati memimpin urusan sektoral di wilayahnya.

Usulan penguatan kecamatan diharapkan mampu menekan keinginan daerah untuk memekarkan diri menjadi kabupaten baru. Pemekaran kabupaten dapat diredam dengan mendekatkan pemerintahan kepada rakyat. Selama ini, salah satu dalih untuk memerkan Kabupaten adalah untuk mendekatkan pelayanan kepada rakyat. Faktanya, tidak ada perubahan signifikan terhadap pelayanan karena kabupaten baru sibuk dengan pembangunan infratruktur pendukung desentralisasi di daerah baru dan menyisakan sedikit sekali untuk pelayanan kepada masyarakat, Anggaran dibelanjakan untuk pembangunan infrastruktur pemerintah seperti kantor, dinas-dinas, sarana pendukung dan membiayai cycle pergantian politik di daerah. Hanya sisa sedikit yang diberikan untuk pembangungan pendidikan dan kesehatan.

Memperkuat peran kecamatan mampu meredam isu politik pemekaran tetapi sekaligus mampu menghadirkan pelayanan kepada masyarakat. Satu-satunya infratruktur yang perlu dibangun hanyalah kantor kecamatan yang semakin sibuk dengan pemberian berbagai kewenangan sektoral. Hal ini semakin baik apabila kecamatan mampu menggunakan teknologi IT dan jaringan bergerak.
Kondisi Masyarakat Terbelah Pasca Konflik

Ambon merupakan kota yang mencetuskan konflik horizontal terburuk di Indonesia sejak pembantaian anggota PKI tahun 1965-1966. Konflik antara Islam 49,1% dan Kristen 51% agama yang dikombinasikan dengan faktor sejarah, kepemimpinan nasional yang lemah yang terjadi di tengah lemahnya institusi negara membawa dampak yang masih sangat terasa saat ini. Lebih dari 7.000 orang meninggal dan tidak kurang dari 200.000 orang menjadi IDPs.

Konflik 1999-2001 telah menyebabkan masyarakat berada dalam sumbu pendek yang berpotensi untuk terjadi konflik berikutnya. Domisili penduduk yang berbasiskan atas identifikasi agama yang membagi antara wilayah Islam dengan wilayah Kristen telah menciptakan kondisi pasca konflik yang membutuhkan perhatian serius. Konflik terakhir terjadi pada Desember 2011 atau beberapa hari sebelum tim tiba di Ambon dengan beberapa rumah terbakar. Pada bulan September, sempat pula terjadi konflik yang berlangsung dalam beberapa hari. Tentara dengan senjata laras panjang berjaga di beberapa persimpangan yang menjadi lokasi konflik seperti di Batu Merah. Bahkan, mobil yang mogok beberapa ratus meter dari hotel karena ban belakang kiri masuk ke parit, dijaga Tentara. Sebagai upaya agar tingkat kehadiran di FGD tinggi, lokasi FGD juga dipilih di lokasi tengah dimana komunitas Islam dan Kristen dapat datang tanpa merasa berancam. Pada komposisi peserta yang dikoordinir alumni JPP UGM yang berkerja menjadi dosen di Unpatti, komposisi Islam-Kristen diperhatikan lebih serius disamping komposisi standar seperti birokrasi, akademisi, politisi dan NGO.

Konflik telah menyebabkan rusaknya infrastuktuf di Ambon baik secara fisik maupun sosial. Infrastruktur secara fisik sebagian besar sudah dibangun kembali, seiring dengan tuntutan perputaran roda ekonomi yang nyaris kembali seperti sebelum konflik. Kantor pemerintah dan aparat keamanan sudah hampir pulih seluruhnya. Reruntuhan hanya dapat terlihat di rumah yang dulunya dihuni warga dengan agama yang berbeda dengan agama mayoritas dalam lingkungan tersebut. Hanya saja, infratruktur sosial (pela) yang sempat diaktifkan kembali sebagai upaya untuk meminimalisir konflik di masa mendatang sekaligus upaya penyelesaian konflik waktu itu sulit mencapai bentuk seperti yang diharapkan. Pada decade 80-an, masih lazim untuk menyebut Islam dan Kristen dengan bahasa lokal yang diperhalus. Islam menjadi Salam dan Kristen menjadi Sarani, sebagai upaya masyarakat lokal untuk menurunkan potensi konflik. Saat ini, sebutan itu nyaris tidak lagi digunakan, bahkan berubah menjadi Acang (dari Hasan untuk Islam) dan Obet (dari Robert untuk Kristen)

Upaya untuk melakukan restorasi sosial di Ambon jauh lebih sulit dibandingkan dengan infrastruktur fisik. Dalam ruang-ruang publik seperti di kantor pemerintah bahkan di universitas, sekat Islam-Kristen tersebut tidak mudah untuk dihapuskan begitu saja. Masih ada keengganan untuk berbaur kembali mengingat konflik dan hampir semua orang memiliki sanak saudara yang menjadi korban konflik.
Perpecahan masyarakat pasca konflik ini memberikan pengaruh serius terhadap upaya untuk membangun sistem integritas yang terjadi dalam suasana distrust antar kelompok yang tinggi. Pada satu sisi, sistem integritas dapat menjadi salah satu upaya untuk meraih kembali kepercayaan antar kelompok dengan sistem yang disepakati bersama. Namun hal ini mensyaratkan adanya kesepakatan kuat untuk tidak lagi terlibat dalam konflik. Kondisi masyarakat yang walaupun sudah sepakat untuk berdamai, masing-masing kelompok masih menyisakan ingatan terhadap konflik lalu, sehingga begitu mudah untuk meletup. Sehingga yang terjadi bukan upaya membangun sistem integritas yang disepakati bersama tetapi justru berusaha untuk menutupi atau meminimalkan tuntutan terhadap pelanggaran sistem integritas. Upaya untuk menegakkan sistem integritas terhambat oleh upaya memelintirkan kasus menjadi urusan perbedaan agama yang dapat memicu konflik. Bagi masyarakat yang masih rentan, kepentingan bersama mereka adalah terciptanya kondisi yang damai, syukur dibarengi dengan terjaminnya sistem integritas. Tetapi seandainya harus memilih salah satu, mereka tentu akan memilih perdamaian dibanding apapun.

Kondisi pasca konflik, walaupun telah terjadi 11 tahun lalu tetap menorehkan luka yang mendalam dan butuh perlakukan khusus dan spesifik. Dalam FGD terlontar cerita yang menunjukkan potensi kegagalan pelaksanaan program e-KTP oleh pemerintah pusat. Hal ini terjadi karena warga yang menerima undangan harus datang ke Kelurahan yang berada di komunitas yang berbeda dengan komunitas asalnya. Warga takut dan masih merasa terancam melewati komunitas bukan komunitas asalnya. Sedangkan posisi letak kantor administratif misalnya kelurahan tentu saja tidak mengikuti zoning yang dilakukan pasca konflik.

Penanganan masyarakat pasca konflik juga harus dibedakan berdasarkan karakter konflik yang ada. Konflik yang melibatkan agama seperti di Ambon yang berlatar belakang agama tidak dapat diperlakukan sama seperti yang terjadi di Aceh yang menuntut kemerdekaan dari Indonesia. Karakter konflik ini menentukan bagaimana proses integrasi antar elemen yang berkonflik terjadi. Di Ambon, integrasi berlangsung dalam disain penerimaan horizontal berbeda agama. Hal ini berbeda dengan konflik di Aceh yang mengintegrasikan posisi yang tidak setara antara pemerintah pusat dengan eks kombatan menjadi WNI. Proses integrasi konflik horizontal butuh waktu yang panjang, dengan energi besar yang membutuhkan pengaturan pemerintahan yang sensitive terhadap isu konflik.

Referensi
Graham Brown, Christopher Wilson and Suprayoga Hadi 2004, Overcoming Conflict: Peace and Development Analysis in Maluku and North Maluku, Jakarta: UNDP, 2004.
International Crisis Group 2000, Overcoming Murder and Chaos in Maluku, ICG ASIA REPORT No. 10, Jakarta/Brussels: ICG, 2000
K.A. Monk, Y. de Fretes,  Y. and G. Reksodiharjo-Lilley 1997, The Ecology of Indonesia, vol.V: The Ecology of Nusa Tenggara and Maluku, (Singapore: Periplus Editions, 1997).
Kurniadi, Bayu 2011, Pengaturan Kecamatan Pasca Desentralisasi, Laporan Penelitian Kecamatan di Kutai Kartanegara, PSEKP UGM-Kab. Kukar, didapatkan di http://bdardias.staff.ugm.ac.id/download/