Disebabkan lebih karena banyaknya pengunjung web bulan ini yang sedikit lebih dari biasanya, ingin rasanya menulis lagi sebagai bentuk apresiasi terhadap comment yang telah masuk, yang berdasarkan statistic harian, web ini dilihat rata-rata oleh 128 orang dari 26 negara, 40% nya dari Indonesia dengan rata-rata 2000 hits. Hits-hits ini yang membuat saya bersemangat menambah tulisan. No Comment juga tak mengapa, yang penting tulisan saya membawa manfaat. Saya akan menulis tentang HECS, Higher Education Contribution Scheme, ditengah due paper-paper yang mendesak. HECS ini menarik untuk dilihat karena banyak dijadikan lesson drawing Negara lain dan genuine made in Australia. Selain itu, sebagai pengingat artikel yang baru saja saya baca,. Kira-kira berikut ringkasannya.
HECS adalah skema pinjaman Pemerintah Australia untuk Australian Citizens dan Permanent Residents guna melanjutkan pendidikan tinggi setingkat sarjana di Australia. Pendeknya, Pemerintah Australia memberikan bantuan financial kepada Australians yang mau melanjutkan studinya di Universitas bagi mereka yang masih ingin kuliah dan tidak bekerja setelah lulus Year 12 (kira-kira setara lulusan SMA). Kapan hutang untuk kuliah ini dibayar? Tergantung kepada kemampuan financial penghutang setelah lulus dari perguruan tinggi dan kemudian bekerja. HECS hanya dibayarkan setelah penghutang memiliki penghasilan di atas $43.000 per tahun dan diambil berdasarkan proporsionalitas progressif, artinya, semakin tinggi penghasilan, semakin tinggi pula prosentasi pembayaran hutangnya. Bagaimana jika miskin terus dan tidak mampu membayar? Katakanlah, menganggur setelah lulus kuliah.Ya tidak usah membayar. Hutang dibawa mati, walaupun negara dengan penduduk 20 juta jiwa ini sangat sulit mencari penganggur. Bagaimana HECS bisa muncul, apa latar belakangnya?
Setidaknya, Australia melampaui empat fase penting dalam Politik Pendidikan dalam satu abad terakhir. Pertama, Fase jaman Perang dunia sampai dengan tahun 1970. Fase ini ditandai dengan mahalnya biaya pendidikan dan menjadi privilege kaum terbatas, berduit dan laki-laki . Pendidikan tinggi didominasi oleh laki-laki, kelas menengah, yang umumnya kulit putih. Pada waktu itu, orang kuliahan hanya 2.3% dari seluruh populasi penduduk berusia 17-22 tahun. Pendidikan di Universitas waktu itu sangat mentereng dan bergengsi, katakanlah hanya orang yang Sugih Mbegedhu saja yang bisa mengenyamnya. Fase ini diakhiri dengan munculnya pemerintahan baru kaum buruh dengan naiknya Whitlam menjadi Perdana menteri setelah beberapa dekade gagal menguasai kursi Parlemen di Canberra.
Sebagai gebrakan, Whitlam meniadakan fees (SPP) bagi pendidikan tertiary. Artinya pendidikan menjadi gratis. Argumentasinya jelas, selain equity, dimana pendidikan harus terakses semua golongan, yang merasakan manfaat jika seseorang berpendidikan tinggi bukan hanya orang yang bersangkutan, melainkan lingkungan sosial juga. Oleh sebab itu, sudah menjadi kewajiban pemerintah untuk mendanai pendidikan tinggi. Ada Social Benefits jika seseorang memiliki pendidikan yang lebih tinggi. Membaca argument ini, saya langsung teringat film Si Doel Anak Sekolahan-nya Rano Karno yang membuat komunitas Betawi udik di sekelilingnya ikut merasakan manfaat dari Tukang Insinyurnya Doel. Nasib Mandra, tentu terasa lebih menyedihkan jika tidak ada Doel. Ide Whitlam ini membuat Australia meroket menjadi negara keempat teratas di barisan negara maju OECD dilihat dari tingginya tingkat partisipasi di perguruan tinggi di tahun 2000. Prestasi ini jauh meningkat dari tiga terakhir di tahun 1975.
Fase ketiga dimulai dari tahun 1989 ketika Bob Hawke kembali menerapkan fees untuk tertiary education beberapa masa setelah memenangkan pemilu. Walaupun Hawke juga berasal dari partai Buruh, sama dengan Whitlam, ide Hawke berdasarkan pada beberapa kesimpulan: pertama, dibutuhkan dana tambahan baru yang tidak sedikit untuk membuka universitas baru agar akses menjadi lebih merata dan memberikan lebih banyak pilihan program. Dana ini bisa didapatkan antara lain (dengan instan) dari iuran mahasiswa. Kedua, Whitlam, secara politik, justru dipandang menjauh dari konstituennya dengan menghilangkan pembayaran biaya pendidikan tinggi. Dilihat dari kelas sosial, voters sejati partai buruh/Australian Labor Party (ALP) adalah kelas pekerja dan bukan kelas menengah. Mayoritas dari mereka justru mencari pekerjaan secepatnya setelah lulus SMA (Year 12) dan tidak kuliah seperti yang dilakukan oleh kelas menengah yang sejatinya bukan pemilih partai buruh. Pendeknya, penghapusan SPP tidak tepat sasaran dan justru mendukung kelas menengah, dan bukan kelas pekerja.
Untuk itu, Hawke memperkenalkan ide Prof Bruce Chapman tentang HECS dimana remaja bisa kuliah dulu sambil ngutang, yang dibayar belakangan. Pada tahun tersebut, jumlah subsidy HECS untuk setiap discipline ilmu yang dipiilih dipatok sama. Besaran HECS tidak mempertimbangkan kebutuhan nasional atas tenaga ahli di bidang tertentu tetapi lebih berdasarkan keinginan individu per individu. Sehingga tidak ada perbedaan jumlah HECS untuk mahasiswa yang belajar music atau fisika, semuanya dipatok sama/flat.
Fase keempat diawali dari pemerintahan John Howard yang tumbang akhir tahun lalu. Howard memangkas luar biasa dana pemerintah untuk pendidikan tinggi secara signifikan dengan menyisakan hanya 0.6% dari GDP tahun 2004 (mungkin ini salah satu sebab juga tunjangan keluarga untuk ADS dicabut dalam pemerintahan Howard ). Universitas dipaksa untuk mendapatkan dana lain diluar Public Funding yang selama ini tersedia. Universitas kelimpungan. Salah satu cara bertahan adalah dengan menarik sebanyak-banyaknya mahasiswa asing untuk belajar di Australia. Selain membayar SPP, mahasiswa asing juga membelanjakan uangnya di Aussie yang dapat dipandang sebagai hal penting untuk perputaran roda ekonomi nasional. Pendidikan tumbuh menjadi industri subur dengan kontribusi signifikan untuk pertumbuhan ekonomi. Promosi gila-gilaan dilakukan. Di Indonesia muncul banyak sekali agents sekolah di Australia, mulai IDP, Interlink, Studyline, dll yang cabangnya hampir ada di setiap kota besar. Even-even promosinya dilakukan hampir setiap bulan. Ini pula yang menjelaskan mengapa di Melbourne dan Sydney, menemukan orang Indonesia sama mudahnya dengan menemukan Australians. Saat ini tak kurang dari 15.000 mahasiswa Indonesia di Australia. Sebagian besar dari penduduk Indonesia ini privat (membayar sendiri), dan jika semakin lama di Aussie, justru bahasa Indonesia-nya lah yang tambah lancar .
HECS jaman Howard juga dibuat bervariasi berdasarkan pilihan study demi kepentingan nasional. Kedokteran, Law, Economics merupakan jurusan-jurusan dengan skema bantuan HECS paling sedikit. Pilihan individu diarahkan sesuai dengan kepentingan nasional yang diukur dari besaran bantuan pemerintah. Jurusan sepertii Nursing yang merupakan National Priority mendapat sokongan public funding paling besar. Pada fase ini, Universitas juga masuk dalam logika market yang dapat menjadi obyek dari Trade Practices Act. Promosi tentang fasilitas dan kurikulum yang bertentangan dengan kenyataan misalnya, diperlakukan sama dengan produsen snack yang lupa mencantumkan Gluten dalam kemasannnya, atau ditulis Gluten Free tapi ternyata ber-Gluten. (Sampai sekarang saya tidak tahu Gluten itu apa, halal atau tidak dll. Kamus English Advance Collin-pun tak banyak membantu). Aturan untuk universitas sama dengan aturan untuk produsen sabun mandi. Pendidikan adalah jualan, dan jualan, janganlah berdusta, begitulah kira-kira. Slogan-slogan harus benar-benar merepresentasikan materi pengajaran. Janji-janji tidak boleh bohong.
Nah, Perdana Menteri Kevin Rudd ini agak lain, saya belum bisa menentukan dimana dia berpijak dan berpolitik di sektor pendidikan, beberapa kabar menyebutkan dia akan menaikkan lagi kontribusi pemerintah terhadap pendidikan tinggi.
Diluar kebijakan Rudd, setidaknya beberapa catatan tentang HECS bisa digaris bawahi:
Pertama, HECS hanya dapat dilakukan di negara dengan tingkat keakuratan data penghasilan yang sangat tinggi dan orang tidak bisa lari dari pajak. Hampir tidak ada “informal sector”di Australia, semua sektor termonitor negara. Setiap orang yang telah mendapatkan working permit, entah part time (20 jam seminggu) atau full time, akan berusaha untuk membuat Tax File Number (TFN) atau NPWP di Indonesia. TFN didapatkan dengan mendaftar online dan dikirim 5 hari kemudian. TFN tidak wajib, dan ketika tidak memiliki TFN ketika menerima gaji, akan dipotong 46% dari penghasilan. Karena tidak ada yang mau penghasilannya dipotong separuhnya, orang memilih mengikuti sistem. Di Australia, (hampir, setahu saya) seluruh pekerjaan membutuhkan kontrak kerja dan Form TFN untuk diisi, mulai dari Cleaner dengan gaji $19 per jam sampai manager dengan gaji di atas $80.000 per tahun. Memang ada yang mencuri-curi dengan mempekerjakan pekerja ilegal yang bisa digaji lebih murah, tapi resikonya besar sehingga banyak perusahaan memilih memiliki pekerja legal. Semua gaji ditransfer lewat bank. Negara tahu setiap dolar yang dimiliki setiap orang yang berpenghasilan resmi, sekali lagi hampir setiap orang. Efisien di satu sisi, mengerikan di sisi lainnya. Nah setelah berpenghasilan cukup, HECS dibayarkan dengan otomatis memotong penghasilan setiap penghutang HECS dari gajinya setiap dua minggu sekali (fortnight).
Kedua, melalui skema inipun, HECS masih tetap memberikan privilege untuk kelas menengah. HECS tidak mengubah cara pandang kaum miskin muda Australia. Mereka tetap tidak mau kuliah, atau jika mau, prosentasenya sangat sedikit. Bagaimana tidak, mereka dihadapkan pada pilihan kuliah, pusing-pusing empat tahun, kehilangan penghasilan potensialnya selama empat tahun dan berhutang $50.000-$100.000 atau langsung bekerja setelah lulus Year 12 dengan penghasilan tidak kalah berbeda. Seorang tukang listrik atau tukang kayu di Australia lulusan SMA bisa berpenghasilan $100.000 per tahun. Sebagai ilustrasi, di kelas, saya hanya belajar Australian English dari lectures dan tutors, selebihnya berusaha memahami Cina-English, Filipino-English, Cambodian-English, Kenyaan-English, Vanuatu-English, Papua New Guinean-English dan terutama Javanese-English yang akrab di telinga .
Ketiga, HECS hanya mengandalkan pertimbangan ekonomis, hutang-bayar, tanpa melihat aspek social yang didapatkan dari pekerjaan yang dipilih seseorang. Sebagai ilustrasi, dua mahasiswa mendapatkan Skema HECS yang sama ketika kuliah di Faculty of Law. Mahasiswa A bekerja di kantor konsultan hukum ternama dengan gaji luar biasa banyak. Kliennya orang-orang terkenal. Mahasiswa B setelah lulus membantu hak-hak minoritas Aborigin di Aussie, dengan gaji yang, katakan saja, $43.000 setahun (angka ini adalah penghasilan pas-pasan di Australia). Keduanya tetap harus membayar cicilan HECS mereka dan mahasiswa A akan melunasi HECS nya lebih cepat.
Keempat, system Australia saat ini rely to much pada mahasiswa asing seperti saya. Jika jumlahnya berkurang, bisa dipastikan system pendidikan Australia akan runtuh. Nilai dolarnya diharapkan lebih rendah dari dolar Amerika agar tetap menarik untuk mahasiswa asing. Untuk menarik minat kuliah di Australia, setiap tahun, pemerintah Australia memberikan BEASISWA BOOMERANG (baca ADS, APS, Endaevor dan ALA) kepada ratusan orang di negara yang menjadi target politik luar negerinya, terutama negara-negara ASEAN dan Pasifik. Dalam nota bantuan luar negeri, Indonesia akan mencatat Australia telah memberi sekian juta dollar bantuan luar negeri dalam bentuk pendidikan di Australia. Duitnya tidak ke mana-mana, balik lagi ke Australia. Toh saya tetap kursus di IALF dan terbang naik Qantas. Persis seperti boomerang, kembali ke pemiliknya. Penerima beasiswa tetap membelanjakan uang beasiswa di Australia. SPP tetap dibayarkan ke Universitas di Australia, yang sekaligus mendukung system pendidikan tinggi Australia yang rapuh dan bertahan pada mahasiswa asing tetap berdiri. Keuntungan lain dari beasiswa ini adalah promosi pendidikan Australia di negara-negara tersebut.